Pixabay |
M. Iqbal J. Permana
KECAKAPAN BERBAHASA
Mengapa sebagian besar orang Sumatera Selatan (Sumsel) masuk ke dalam poliglot?
Hal ini karena wilayah rural di Sumatera Selatan dihuni dengan masyarakat yang menggunakan berbagai macam bahasa daerah. Ada lebih dari 20 bahasa daerah yang masih digunakan di Sumsel.
Beberapa contohnya adalah, bahasa Palembang, bahasa Komering, bahasa Ogan, bahasa Musi, bahasa Lematang, bahasa Kayu Agung, bahasa Pemulutan, bahasa Pedamaran, bahasa Penesak, bahasa Lingkis, bahasa Besemah, bahasa Enim, bahasa Rambang, bahasa Pegagan, bahasa Kikim, bahasa Rawas, bahasa Cul, bahasa Semendo, bahasa Belide, bahasa Lintang, bahasa Kisam, dan bahasa Gumay.
Keanekaragaman bahasa ini mencerminkan kekayaan budaya dan sejarah Sumatera Selatan. Setiap bahasa memiliki dialek dan variasi yang berbeda-beda. Kadangkala dalam satu kecataman terdapat bahasa daerah yang berbeda. Paling tidak orang Sumsel menguasai 3 bahasa, yakni bahasa daerah asalnya, bahasa Palembang dan bahasa Indonesia.
APA UNTUNGNYA JADI POLIGLOT?
Menjadi poliglot memiliki banyak keuntungan, baik dalam kehidupan pribadi, maupun profesional. Makanya ada tradisi kelakar atau ngobrol di pance.
Kemudahan Komunikasi
Saat bepergian ke daerah lain, kemampuan berbahasa lokal mempermudah komunikasi dan memungkinkan pengalaman yang lebih autentik.
Memperluas Jaringan dan Persahabatan Menguasai bahasa asing memungkinkan interaksi dengan orang-orang dari berbagai negara, membuka peluang untuk menjalin persahabatan internasional dan memperluas jaringan kontak.
Kemampuan Beradaptasi yang Lebih Baik Belajar bahasa baru menunjukkan fleksibilitas dan adaptabilitas yang tinggi, membantu seseorang beradaptasi dengan lebih baik dalam lingkungan yang berbeda
Perbaikan Kemampuan Berpikir
Belajar bahasa baru melatih otak dan meningkatkan kemampuan berpikir analitis serta memori jangka panjang
Bahasa mencerminkan budaya dan cara berpikir masyarakatnya. Menguasai bahasa asing membantu memahami budaya dengan lebih dalam Menguasai bahasa baru memberikan kepercayaan diri yang lebih besar saat berkomunikasi dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda.
TRADISI LISAN DI ATAS RATA RATA.
Sumsel sangat kaya dengan tradisi lisan, dari yang klasik sampai yang populer seperti, tradisi kelakar, tradisi pance (panjang cerite). Dan tradisi ini tercatat dalam sejarah yang kemudian dibukukan dalam bentuk sastra lisan "The Guritan of Radin Suane" yang disusun oleh Wiliam A. Collin yang dituturkan oleh penutur Guritan asli Saman Loear. Akhirnya menjadi karya ilmiah yang dikenal oleh sastra dunia melayu, merupakan bagian kecil dari sequel epik Radin Suane, yang setara dengan karya I Laga Ligo atau Mahabratha.
Tetapi kelemahan literasi lisan orang Sumsel ini sedikit sekali dicatat atau dibukukan secara serius setara karya Collins. Memang itulah kelemahan dari tradisi lisan, dibanding karya yang dibukukan seperti I Laga Ligo dalam tradisi lisan orang Suku Luwu di Sulawesi Selatan. Yang menarik justru dari karya teater rakyat Dulmuluk, justru diadaptasi bukan dari karya tulis aslinya Raja Ali Haji, tetapi justru dari Wan Bakar pedagang arab, yang menuturkannya, karena naskah asli beraksara Arab Melayu Jawi. Sementara orang uluan pada masa itu lebih mengenal huruf ulu atau aksara rencong, atau aksara runcing, atau kaganga daripada huruf Arab berbahasa Melayu Jawi. Selain itu, tradisi lisan lebih populer di uluan seperti, senjang, enjang panjang, andai andai, tangis ayam, guritan, bepu"um, jelihiman, nenggung mato, dan lain-lain.