Friday, September 5, 2025

Militer Cina Kuat, Dananya dari Mana?

 

Sumber: Wikipedia

Baru-baru ini ada parade militer di Cina daratan. Konon, kegiatan tersebut untuk merayakan lepasnya tanah air mereka dari Jepang. Waktu itu tentu masih bernama Republik Cina. Barulah ketika pemberontak Partai Komunis Cina (PKC/CCP) berhasil menjajah di sana, Pemerintah Republik Cina berkantor di Taiwan. Sementara para pemberontak tersebut mendirikan Republik Rakyat Cina (RRC) pada tahun 1949. 

Wah bagaimana kalau seandainya Partai Komunis Indonesia (PKI) dulu berhasil menguasai tanah air kita ya? Kemungkinan Republik Indonesia pindah kantor di Kalimantan atau daerah lainnya yang masih bisa diselamatkan. 

Sejurus dengan perkembangan zaman, RRC yang begitu gila di bawah Presiden Mao, perlahan berubah haluan. Ya, semenjak Deng Xiaoping menjadi pengganti Mao, RRC kian lumer dan maju di bidang ekonomi. Kemajuan ini dibuntuti oleh kemajuan militer mereka. 

Pertanyaannya, apakah hanya dengan bermodalkan perekonomian tersebut, mereka bisa sekuat sekarang? 

Banyak isu yang menyelimuti negeri yang pernah dipimpin banyak kaisar dari berbagai dinasti itu. Mulai dari penjualan organ tubuh para tahanan semisal Falun Dafa, penjualan rambut para tahanan Uighur, penjualan narkoba skala raksasa, hingga pengambilan paksa sumber daya alam dari negara lain yang tunduk kepada RRC. 

Terlepas dari segala isu di atas, hal yang jelas nyata adalah, RRC memiliki dana besar hingga menjadi negara adidaya. Dan, sekali lagi, untuk mewujudkan itu dananya dari mana? 

Apakah hanya mengandalkan kemajuan ekonomi dalam negeri? Atau ada faktor X? Entahlah? 


Sastrawan Versus Pemerintah

Ilustrasi: Pixabay

Wow gila! Judul apaan itu? Setan alas banget tu! Dunia sastra yang cengeng berhadapan dengan dunia pemerintahan? Mimpi kalleeee!!!! 

Sastra, 'kan bentuk kelemahan jiwa? Orang-orang yang putus cinta terlunta-lunta dalam perasaan galau dan mencurahkannya lewat sastra, misalnya, puisi. Bener ga? Mungkin ya, mungkin enggak. 

Okey, serius nih, apakah memang sedemikian lemah dan menjijikkannya sastra itu? Pada masa Belanda berkuasa atas kerajaan-kerajaan dan rakyat masa itu, dunia sastra bergeliat. Saking kuatnya geliat sastrawan dalam menentang penjajahan, sampai-sampai Belanda melabeli karya sastra yang isinya membangkitkan semangat nasionalisme, sebagai bacaan liar. Ya, LIAR!!!! 

Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat tidak membaca karya sastra yang berlabel tersebut. Bacaan-bacaan liar sangat dilarang beredar luas. 

Nah, itu pada masa penjajahan. Bagaimana pada masa pascakemerdekaan?

Kita mengenal W.S Rendra. Sastrawan besar Indonesia ini sangat lantang dalam menyuarakan kritik terhadap pemerintah, khususnya era Orde Baru. Begitu pula dengan Widji Thukul yang sangat berani melawan pemerintahan pak Harto. 

Karena penentangannya itulah hingga kini keberadaan Widji tidak jelas. Kemungkinan dilenyapkan pemerintah masa itu. Oh, entahlah? 

Lantas, bagaimana dengan sastra masa setelahnya? Terutama semenjak Joko Widodo berkuasa? 

Konon, entah benar atau tidak, dunia sastra kekinian tak seberani dulu. Itu katanya. Katanya lho ya?! 

Tapi, kalau diperhatikan secara saksama, memang sih napas sastra kekinian kurang kencang dalam menyuarakan kondisi rakyat, baik lewat puisi, cerpen, novel, maupun lainnya.  Suara sastra jauh di bawah suara-suara para demonstran. Bahkan, dalam hal urun-rembuk terkait isu-isu nasional, paling banter hanya mendiang Radhar Panca Dahana seorang yang dianggap mumpuni memberikan pandangannya di depan publik oleh pihak televisi, contohnya. 

Waaah sayang sekali ya? Semoga ke depan para sastrawan berani bersuara lantang di alam demokrasi ini. 


Thursday, September 4, 2025

Tinggalkan Rakyat, Demonstrasi Membumi

Ilustrasi: Pixabay

Judul di atas merupakan kausalitas dalam rantai kehidupan berpolitik yang memegang prinsip demokratis. Negara menjamin hak kebebasan dalam menyampaikan pandangan, ide-ide, dan sebagainya demi kemakmuran rakyat. Tidak boleh ada pembungkaman oleh pemerintah dalam bentuk apa pun. 

Pertanyaan mendasar terkait hal ini adalah, ketika demonstrasi terjadi, apakah pemerintah sudah siap menerima segala masukan dari rakyat? 

Biasanya, jawaban paling sering muncul di lapangan berupa ketidaksiapan. Itulah sebabnya, ada pengerahan aparat besar-besaran sebagai antisipasi jika terjadi kerusuhan. Padahal, seandainya pemerintah yang didemo mau berlapang dada menemui dan menerima segala yang disuarakan para demonstran, tidak akan terjadi kerusuhan. 

Sejatinya, demonstrasi merupakan reaksi atas aksi pemerintah selama menjalankan roda pemerintahan. Ketika kebijakan dinilai menyimpang dari amanah rakyat, maka reaksi tersebut pasti muncul. Dan, tentu saja itu wajar. Bahkan, jauh-jauhari, para leluhur Dayak Ngaju sudah membuat pepatah terkait masalah ini. Tidak percaya? Perhatikan video berikut. 




Tuesday, September 2, 2025

Apakah Adil Anaknya Menderita? Kalimat Ini Viral Berkali-kali

Ilustrasi: Pixabay

Siapa pencetus kalimat itu? Tentu saja Presiden Prabowo. Dalam konteks apa? Korupsi. Ya, Presiden terbaru di Indonesia itu berkomentar terkait perampasan aset dalam rangka pemiskinan koruptor. 

Sebagai pertanyaan pembuka, apakah uang hasil korupsi itu tidak wajib dikembalikan kepada pemilik asal? 

Kalau kita berkenan menggunakan akal, sejatinya uang korupsi itu tidak boleh dimiliki dan digunakan pelaku atau keluarganya. Pada hakikatnya, koruptor adalah maling yang hina. Bisa dikatakan lebih hina daripada kotoran kering atau basah tikus got di mana pun berada. Dengan kata lain, uang curian tidak boleh diberikan kepada istri atau suami dan juga anaknya. Koruptor wajib mengembalikan uang yang dicurinya kepada pemilik yang sah. Lantas siapakah sebenarnya pemilik uang yang dicuri koruptor? 

Pertanyaan terakhir di atas agaknya tak perlu dijawab lantang karena sudah menjadi rahasia bersama. Nah, jadi kesimpulannya adalah, anak dan pasangan hidup koruptor 100% tidak memiliki hak atas hasil curian tersebut. 

Lalu, bagaimana nasib anak pencuri kelas hiu ini? Anak-anak koruptor tentu hidup dari uang halal. Bisa dari tabungan yang bukan hasil korupsi, misalnya. Sehingga, dalam konteks ini, tak ada kaitannya dengan kata "adil". Dan, jelas pertanyaan yang viral berkali-kali itu tidak masuk akal dan secara otomatis BATAL dan GUGUR keabsahannya. 

Sunday, August 31, 2025

Demonstrasi? Kabar Pagar Laut, Ijazah Jokowi, Pemakzulan Gibran, dan Lainnya Bagaimana?

Ilustrasi: Pixabay

Demonstrasi tahun ini terasa beda. Lho, beda bagaimana sih? Bukannya sama saja, yakni dilakukan lebih daripada satu orang? 

Gimana ya cara menjelaskannya???? Jadi gini, suasana demonstrasi mulai terasa ketika Bupati Jawa Tengah menantang masyarakatnya untuk turun di jalan melakukan demonstrasi. Alhasil, Pati "membara" terkait kenaikan pajak bumi dan bangunan di sana. 

Kemudian Puan Maharani pun melakukan hal yang sama. Tantangan segera dikabulkan. Massa berdatangan di Jakarta. Demo terjadi dengan gegap-gempita. 

Lalu, tak mau ketinggalan, beberapa anggota DPR RI turut hanyut dalam arus membangkitkan gelombang massa. Bahkan, terjadi pembiaran tindak kriminal berupa penjarahan aset milik pribadi di rumah para anggota DPR RI tersebut. 

Kita dibuat terheran-heran. Dan, ini peristiwa langka. Besar pula. Yang menjadi pertanyaannya adalah, mengapa bisa demikian mudah? Padahal demo-demo sebelumnya begitu dibatasi. Sebutlah aksi 212. Massa dari luar Jakarta banyak dipersulit masuk ke kota terbesar di Indonesia itu. 

Lalu, pertanyaan selanjutnya, dengan adanya demonstrasi besar kali ini, apakah masih tersiar kabar soal pagar laut, ijazah Jokowi, pemakzulan Gibran, dan kasus lainnya? 

Selain itu, ada pihak yang menuding bahwa ada kasus raksasa yang sedang dijalankan diam-diam. Ya, rakyat terlelap dengan demonstrasi, pihak tertentu beraksi tanpa hambatan. 

Oh, mungkinkah demonstrasi yang menyala kali ini hanyalah pengalihan kasus belaka? Ataukah benar-benar murni dari rakyat? 

Saturday, August 30, 2025

Penjarahan Adalah Hukuman untuk Pelaku Peluka Hati Rakyat

Ilustrasi: Pixabay

Pohon mangga tidak akan tumbuh jika tak ada benih yang ditanam. Kompor hanya akan menjadi pajangan jika tak ada bahan bakarnya. Atau, segala hal hanya diam ketika tak ada sebab. 

Begitu pula penjarahan aset-aset milik beberapa tokoh politik di negeri kita. Sebutlah televisi mahal, contohnya. Di luar itu, ada pula pengerusakan aset lainnya semisal mobil mewah. Wow ini di luar dugaan. Ada yang bilang kalau rakyat sudah marah, maka susah diademkan.

Perkataan itu benar adanya. Setelah tokoh-tokoh politik tersebut memantik amarah rakyat, terjadilah hal-hal di luar kebiasaan. Tentu saja itu sejatinya menjadi pelajaran bagi siapa pun yang melukai hati rakyat, yakni akan menerima hukuman di lapangan. Hukuman ini jelas tidak bisa ditawar-tawar dengan uang sogokan sebesar apa pun. 

Dalam hal ini para politisi harus ingat betul bahwa mereka bisa hadir sebagai orang besar karena rakyat. Mulai dari pemilu, hingga upah mereka, baik yang di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Semua uang yang mereka dapatkan lebih banyak dari pajak, sebagian kecil lainnya dari pendapatan negara di luar pajak. 

Maka, sudah menjadi kewajiban bagi mereka untuk fokus pada pelayanan rakyat. Bukan malah "berseberangan" seperti yang mereka pertontonkan selama ini. Kimi, amarah rakyat sudah sangat besar sebagai akibat dari tindakan yang berseberangan itu. Dan, penjarahan aset di rumah beberapa tokoh politik hanyalah satu contoh bentuk hukuman tersebut.  

Prabowo Batal ke Cina, Soeharto di Mesir

 

Ilustrasi: Pixabay
Apa hubungan keduanya? Jika dari sisi manusianya, sudah jelas. Mereka berdua pernah jadi menantu dan mertua meski kandas di tengah jalan. Lantas bagaimana dari sisi lain? Terkait jabatan, misalnya? Ya, keduanya adalah presiden meski beda masa. 

Soeharto merupakan presiden kedua Indonesia dalam masa jabatan selama 32 tahun. Prabowo pun memegang jabatan itu sejak tahun kemarin. 

Persamaan lainnya? Keduanya menghadapi gelombang demonstrasi besar yang mengguncang perpolitikan tanah air. Ketika tahun 1998, Presiden Soeharto bisa dikatakan berhadapan dengan rakyat Indonesia. Situasi saat itu sungguh rumit dan kacau. Di tengah arus panas bulan Mei tahun tersebut, jenderal bintang lima itu nekat ke Mesir menghadiri KTT G-15 dan berencana bertemu Presiden Mesir, Husni Mubarak. 

Dan, saat kembali di tanah air, 15 Mei 1998, gelombang massa mencapai puncaknya. Akhirnya tanggal 21 pada bulan dan tahun yang sama, Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia. 

Lalu, bagaimana dengan Prabowo Subianto? Apakah Presiden Indonesia yang baru sekali ini takut mengalami nasib serupa dengan mantan mertuanya itu? 

Bisa jadi ketika Prabowo pulang dari Republik Rakyat Cina, kerusuhan di tanah air sedang mengalami fase paling genting. Kemudian, beberapa hari setelahnya Prabowo Subianto terpaksa mundur dari jabatannya. 

Ketakutan tersebut ada benarnya. Sejarah tidak boleh dilupakan begitu saja. Sejarah adalah guru yang harus digugu. Maka hal yang sangat masuk akal bahwa untuk menghindari hal terburuk dalam kepemimpinannya, mantan Danjen Kopassus itu pun membatalkan kunjungannya di Cina Daratan.