Tuesday, November 11, 2025

Pahlawan Nasional Soeharto, Pengalihan Isu?

Ilustrasi: Pixabay

Sebuah fakta dalam realitas yang nyata berbunyi bahwa hampir semua pihak membicarakan gelar nasional yang dianugerahkan kepada orang nomor satu era Orde Baru tersebut 

Itu tak bisa dibantah. Tak ada dalil mana pun yang bisa membatalkannya. Nah di dalamnya ada penolakan, ada pengiyaan. Publik dibuat heboh. Dan, hal ini melahirkan fakta baru berupa tertutupnya isu dari kasus-kasus lainnya semisal pagar laut yang kehilangan daya dengungnya. 

Pertanyaannya, apakah semua ini bergerak secara alami? Ataukah memang sudah dikonsep sejak awal oleh pihak yang berkepentingan untuk menutupi kasus-kasus besar di Indonesia? 

Ah, tampaknya sangatlah berat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Perlu waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit untuk menemukan kebenarannya. Maka, terlepas dari apakah alami ataukah rekadaya semata, terpenting adalah adanya penanganan kasus-kasus lain secara maksimal. 

Sebutlah kasus tata Niaga timah Rp300 trilyun, tata kelola minyak Pertamina  Rp193,7 trilyun, kasus BLBI Rp138 trilyun, kasus Duta Palma Rp78 trilyun, kasus pengadaan pesawat di Garuda Indonesia, kasus pagar laut yang telah menjadi beton, kasus kereta cepat Whoosh Jakarta-Bandung, kasus ijazah palsu Jokowi dan Gibran, kasus emas ilegal oleh perusahaan China daratan, dan lainnya. 

Jika memang menginginkan Indonesia emas, semua kasus besar di negeri ini harus tuntas diatasi secara baik dan benar. 


Friday, November 7, 2025

Buah Catur Kedua Tuan Xi

Ilustrasi: Pixabay

Siapa yang pertama? Agaknya pertanyaan itu yang muncul setelah membaca judul di atas. Ya, jika ada yang kedua, pastilah ada pendahulunya. 

Sebelum menjawab pertanyaan itu, sebaiknya perlu diketahui dulu siapakah Tuan Xi itu. Dia merupakan seorang pemimpin dari sebuah negara purba bernama Republik Utara Raya. Letaknya tak jauh dari pulau kecil yang sangat fenomenal dan dikenal juga sebagai Pulau Bunun pada masa tersebut. 

Ambisi pria bertubuh tinggi besar ini sungguh di luar pikiran sehat. Segala cara untuk menguasai dunia dilakukannya meski harus membunuh banyak manusia.  Nah, salah satu negara yang hendak ditundukkannya adalah Republik Serikat Selatan. 

Negara incarannya itu berpenduduk padat. Dari sisi ekonomi, kepadatannya saja sudah dapat memenuhi kantong ekonomi Tuan Xi. Dan, yang paling menggiurkan terletak pada sumber daya alamnya yang melimpah ruah. 

Maka, diutuslah seorang agen intelijen lapangan senior kepercayaan Tuan Xi ke negara incarannya dengan segera. Setibanya di sana, pria bernama Jaman Lidi yang ahli memata-matai ini bergegas menghubungi intel pengkhianat bernama Hand Panjang. Mereka menjalankan misi penguasaan dengan menempatkan buah catur pertama sebagai presiden sah di negara incaran. Ini guna  menguasai negara tersebut oleh Tuan Xi tanpa menggunakan kekuatan militernya. 

Selama sepuluh tahun, segala yang diinginkan Tuan Xi dari negara yang telah dikuasainya secara diam-diam itu terwujud. Mulai dari pengerukan sumber daya alam hingga pemiskinan rakyat jajahan. Sungguh akal yang sangat cerdas. Dia tinggal menyuruh buah caturnya begini dan begitu sesuai keinginannya dan semua dapat diwujudkan dengan luar biasa. 

Meskipun demikian, dia belum bisa terang-terangan menyatakan bahwa negara incarannya sudah di bawah kekuasaannya. Pasalnya, masih ada tokoh dan masyarakat yang kritis di sana. Itulah sebabnya, Tuan Xi masih mengikuti agenda politik yang ada, seperti adanya pemilihan presiden lewat jalur resmi. 

Lantaran jabatan presiden di negara incarannya hanya boleh diemban selama dua periode (lima tahun pertama dan lima tahun kedua), maka perlu buah catur berikutnya atau yang kedua Tuan Xi. 

Singkat cerita, yang kedua pun jadi presiden boneka. Semua bisa dikendalikan dan dia berharap di periode ini dirinya benar-benar dapat menguasai negara tersebut sepenuhnya. 

Jika tokoh dan rakyat protes, cara memberangusnya sangat mudah, yakni tembak di tempat. Beres! 

Begitulah legenda Tuan Xi terkait buah catur keduanya di negara yang dia incar. 

Sunday, November 2, 2025

Empat Sastrawan Bertemu di Sebuah Warung

Empat sastrawan bertemu di sebuah warung (Sumber foto: Rosyidi Ariadi) 

Agaknya sebuah pertanyaan awal segera muncul, "Siapa mereka?" Dan, pertanyaan berikutnya yang berpotensi menyembul adalah, "Di warung mana?"

Baiklah, saya akan bercerita sedikit. Sekitar dua hari lalu, seorang teman yang juga sastrawan mengirimi saya pesan via whatsapp. Ya, sebuah pesan yang menurut saya lumayan singkat dan padat. Begini tulisnya, "Bersama H. Fahmi Wahid, Zulfaisal Putra, dan Gt Ardiansyah di salah satu warung di Jl Temenggung Tilung sebelah Menteng 20 Palangka Raya Kalimantan Tengah."

Teman saya itu bernama Rosyidi Ariyadi yang dikenal sebagai penyair Isen Mulang (pantang mundur) asal Palangkaraya.

Nah, pertanyaan lainnya yang akan mengudara ialah, ada apa di Palangkaraya sehingga mereka melakukan pertemuan di kota cantik itu?

Konon, pada akhir oktober hingga awal november tahun ini ada sebuah perhelatan akbar di sana yang melibatkan banyak sastrawan dari berbagai kota di Indonesia dan negara-negara serumpun.

Wow! Sungguh luar biasa dan ketika itulah otomatis menjadi waktu yang tepat sebagai sebuah kesempatan emas bagi keempatnya bertemu. Agar pertemuan terasa hangat dalam suasana keakraban, dipilihlah sebuah warung yang jauh dari hiruk pikuk kesibukan pusat kota.

Dalam foto terlihat dari kiri H. Fahmi Wahid, Rosyidi Ariyadi, Zulfasal Putera, dan Gusti Ardiansyah. 


Friday, October 31, 2025

Konten Sastra Dikalahkan Wajah Cantik!

Ilustrasi: Pixabay

Aw! Benarkah demikian? Konten sastra berupa puisi, misalnya, tak berkutik di hadapan wajah cantik di media sosial? 

Hmm... Serius? Sepanjang pengamatan di lapangan dalam jaringan, konten-konten sastra jarang yang mencapai ribuan, apalagi ratusan ribu. Ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan  konten berupa foto dan video yang menampilkan wajah cantik. 

Wajah-wajah cantik selalu saja mendapatkan tempat istimewa di hati pengguna media sosial, khususnya kaum Adam yang normal. Media sosial di sini contohnya adalah Facebook Pro. 

Rata-rata akun yang menampilkan konten wajah cantik memiliki pengikut yang banyak. Ya, kebanyakan ratusan ribu pengikut aktif. Sementara sastrawan terkenal sekalipun yang menampilkan konten puisi atau karya sastra lainnya, tidaklah seramai itu. 

Pertanyaannya, bagaimana caranya agar konten sastra bisa menembus angka ratusan ribu penonton? Apakah harus dipadukan antara sastra dan wajah cantik? 

Menjawab pertanyaan di atas, mungkin bisa berupa penggambaran dalam deskripsi yang sejelas-jelasnya tentang tokoh berwajah cantik dalam sebuah karya sastra. Atau bisa juga wanita berwajah cantik menjadi pembaca puisi agar banyak yang menonton. 

Jujur saja sebenarnya hal ini sungguh menggelikan. Betapa tidak? Sastra yang adiluhung dikait-kaitkan dengan media sosial, terlebih wajah cantik. Meskipun begitu, dalam menjaga eksistensi sastra, agaknya memang perlu dipikirkan terkait solusi yang paling ideal berkenaan dengan kenyataan di lapangan tersebut. 

Lalu apa solusinya? Yang jelas, idealnya dunia sastra tidak anti terhadap kecanggihan teknologi termasuk media sosial. Lalu tentu saja mengemas konten sastra yang seelegan mungkin. 

Nah, di bagian terakhir di atas bisa berupa alih wahana berupa bpodcast, video musikalisasi puisi yang apik, atau pembuatan film pendek yang diangkat dari karya sastra, dan lainnya. 

Kalaupun hendak memasukkan wajah cantik, bisa saja pembawa acara podcast, pembaca puisi, dan pemeran utama film pendeknya adalah wanita cantik. Waaaaah! 


Thursday, October 30, 2025

Mengapa Penghargaan Sastra?

Ilustrasi: Pixabay

Mungkin terasa aneh jika pertanyaannya demikian. Dengan kata lain, penghargaan sastra kok malah dipertanyakan seperti itu? Ya, kita ulang pertanyaannya, "Mengapa penghargaan sastra?

Tapi, ini hal yang wajar. Mengapa penghargaan sastra? Mengapa bukan yang lain? Sebutlah misalnya uang hari tua untuk sastrawan lanjut usia. Benar, masa tua sastrawan tidaklah sama dengan masa tua pengusaha atau orang-orang yang berdompet tebal. Sastrawan sejak awal memang sederhana dan kian tua akan semakin sederhana. 

Bayangan saja saat tangan sastrawan tua tak bisa lagi digunakan untuk menulis, mata juga sudah mengalami penurunan fungsi, dan sebagainya-sebagainya yang membuatnya lelah serta tak berdaya, maka uluran dana segar sungguh nikmat yang luar biasa baginya. 

Di lain pihak, ketika karya-karya sastra berupa naskah buku belum diterbitkan, rasanya sangat ideal seandainya ada bantuan untuk menerbitkan dan menjualnya hingga menghasilkan uang. 

Penghargaan sastra tentu membanggakan, namun bantuan secara berkelanjutan lebih besar manfaatnya bagi sastrawan. 


Wednesday, October 29, 2025

Sastra Itu Murni, Jangan Dikotori

Ilustrasi: Pixabay
Sastra ya sastra. Tidak ada unsur culas untuk menjadi yang paling hebat di dalamnya. Menulislah untuk mencerahkan masyarakat luas. Bukan malah ingin menjadikan sastra sebagai jalan agar lebih segala-galanya dalam kehidupan nyata. 

Kalimat-kalimat di atas tentu saja ditulis bukan tanpa alasan. Ya, ada saja orang yang memiliki banyak modal berupa uang memuluskan jalan menjadikan dirinya sendiri sebagai pesohor sastra. Harapan pertamanya ya dikenal publik, disanjung-sanjung, dan menjadi yang terdepan. 

Agaknya yang demikian itu sudah melampaui batas, apalagi jika ada tujuan inti di baliknya. Sebutlah dengan menjadi pigur sastra terkenal, seseorang tersebut mudah menularkan paham tertentu kepada khalayak ramai. Sebutlah liberalisme, misalnya. 

Poin terakhir di atas sungguh kenyataan pahit yang harus dicegah. Lalu bagaimana cara mencegahnya? 

Pastinya kita tolak cara-cara dia mendapatkan kepopuleran lewat sastra. Sebutlah ketika orang itu menokohkan dirinya sebagai pelopor genre baru dalam sastra, maka kita tolak dengan keras ketokohan yang dipaksakannya tersebut. Begitu juga dengan segala langkah dia menuju kepopuleran karbitan, wajib kita tolak dengan cara yang santun. 

Nah, lalu bagaimana dengan masyarakat yang sudah tersihir oleh kemegahan sosoknya? 

Buatlah pencerahan lewat tulisan dan sebagainya kepada publik tentang tokoh-tokoh sastra yang sebenarnya. Tokoh-tokoh yang memang berkarya sastra dengan jujur dan yang loyalitas serta dedikasinya terbukti apa adanya, buka ada apanya. 


Saturday, October 25, 2025

Sediakan Tempat Tidur di Setiap Ruang Kerja

Ilustrasi: Pixabay

Ini bukan fiksi. Bukan pula komedi. Mungkin bagi banyak orang "kedengarannya" aneh. Atau bisa jadi unik dan menarik untuk ditelisik. 

Bagaimana bisa ada tempat tidur di setiap ruang kerja? Bukankah ruang kerja disediakan untuk bekerja? Bukan untuk tidur! 

Ah, itu pertanyaan-pertanyaan dari pemikiran kuno. Ya, pemikiran zaman dengan otak yang beku. Apa-apa dimaknai secara sempit dan primitif. Itulah mengapa dinamakan otak "batu" yang dibawa jalan-jalan di era kekinian. 

Lantas, apakah maksudnya kita bekerja dalam mimpi? Tentu saja tidak. Jika bekerja dalam mimpi, agaknya itu melampaui kemajuan teknologi saat ini. Waaah jadi membayangkan teknologi masa depan. Akankah ada alat yang memungkinkan kita bekerja dalam mimpi? 

Lupakan itu! Masa depan tak ada yang tahu. Peramal sekalipun hanya bisa memprediksi semata. Keakuratannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dari pengalaman di lapangan lah yang menjadi bahan pemikiran untuk ke depan. 

Dan, semoga hari besok akan lebih baik lagi. Nah, agar itu terwujud, alangkah baiknya kualitas hidup pun diperbaiki. Kebiasaan sehari-hari idealnya diperhatikan. Contohnya waktu tidur. Di dunia kesehatan, ada prinsip jika kita mengantuk, maka obat terbaik adalah tidur. Jangan memaksakan diri untuk selalu dalam keadaan terbangun saat mengantuk. 

Tidur adalah istirahat terbaik. Di sinilah letak pentingnya tidur untuk tubuh kita. Saat mata sudah tidak bisa ditoleransi lagi, kewajiban kita adalah tidur. Lepaskan segala aktivitas kerja. Lalu bersegeralah menuju tempat tidur yang disediakan di ruang kerja masing-masing. 

Setelah terbangun, tubuh akan segar dan mulailah kembali bekerja dengan kondisi yang prima. Hasil kerja pun tentu akan lebih memuaskan daripada saat dikerjakan dengan kondisi tubuh yang lelah. 

Sekali lagi ingat baik-baik, tidurlah untuk kondisi tubuh prima agar kualitas kerja dapat maksimal dan mendapatkan hasil gemilang.