Oleh Teguh Winarsho
AS
BERJALAN tertatih-tatih menerobos gelap malam, perempuan hamil
itu terengah kehabisan nafas. Tapi ia terus melangkah sebab rumah itu sudah
semakin dekat. Ia bisa melihat kerlip lampu teras rumah itu seperti
kunang-kunang. Juga pagar bambu di seling pohon perdu. Selain itu, rasa sakit
di perutnya sudah tak tertahan, mual, mulas. Ini adalah kehamilan pertama sejak
dua tahun menikah dan ia tak mau melahirkan di tengah jalan, disergap dingin.
Ia harus cepat-cepat menemui Bidan Salwa, perempuan penghuni rumah itu,
satu-satunya bidan di kampung.
Sempoyongan perempuan hamil itu saat menapakkan kaki menaiki
undakan teras. Tapi rumah bidan Salwa tampak sepi seperti tidak berpenghuni.
Diketuknya pintu dengan tangan gemetar lantaran menahan mual di perutnya. Tapi
hingga ketukan kelima, tidak ada jawaban dari dalam. Perempuan itu kian cemas
menggigit bibir, mengusap-usap perutnya yang tampak besar dalam bayangan lampu
neon. Menggelembung seperti tumbuh balon. Ke mana bidan Salwa pergi? Kenapa
selarut ini belum pulang? Perempuan itu bertanya-tanya dalam hati. Pertanyaan
yang membuat perasaannya tak enak.
Lelah berdiri, perempuan hamil itu duduk di bangku teras,
mengatur nafasnya yang masih terengah. Angin malam yang dingin tiba-tiba meniup
kantuk, kelopak matanya perlahan memejam, tertidur di atas bangku panjang.
Sangat lelap tidurnya hingga tak terusik oleh denging nyamuk-nyamuk nakal
berebut menggigit sekujur tubuhnya. Juga saat sebuah bayangan putih berkelebat
di jalan depan, membuka pintu pagar, menghampiri. Dia adalah bidan Salwa,
perempuan cantik, masih muda.
Tersentak perempuan hamil itu, menggosok-gosok mata, seperti
baru mendapat mimpi buruk ketika bidan Salwa mengguncang bahunya pelan. Sejuta
gugup menyelinap di dadanya manakala bersitatap dengan bidan Salwa yang telah
berdiri anggun di depannya. Juga rasa kagum aneh. Bahkan di bawah cahaya lampu
muram, kecantikan bidan Salwa tampak nyata. Sempurna. Berhadapan dengan bidan
Salwa, perempuan itu merasa menjadi seorang buruk rupa.
“Sudah lama menunggu, Masita?” Lembut tatapan bidan Salwa
membuat Masita, perempuan hamil itu, kembali gugup membetulkan duduk. Ia telah
melupakan rasa sakit di perutnya. Tapi sesuatu lain tiba-tiba bergolak di
dadanya. Terus bergolak seperti debur ombak. Tapi sekuat tenaga Masita berusaha
meredamnya. Masita tak ingin bidan Salwa membaca perasaannya yang gelisah.
“Ayo, masuklah…” suara bidan Salwa terdengar keras di lengang
malam sembari membimbing lengan Masita masuk ke dalam rumah. Masita merasakan
betapa lembut tangan bidan Salwa. Betapa harum tubuhnya. Kulitnya kuning
langsat seolah menguar cahaya. Tidak seperti miliknya yang kasar tidak terawat.
“Apa yang kamu rasakan Masita?” tanya bidan Salwa usai Masita
berbaring di atas ranjang ruang periksa.
“Perutku sakit sekali. Apakah aku akan melahirkan?” Suara Masita
lirih.
Bidan Salwa tersenyum, memeriksa denyut nadi Masita.
Mengusap-usap perut Masita. Menepuk-nepuknya pelan. Lalu: “Tidak malam ini,
Masita. Mungkin empat atau lima hari lagi. Kau hanya terlalu capek dan banyak
pikiran. Sebaiknya kau istirahat yang cukup…” Bidan Salwa beranjak mengambil
botol kecil dari almari, menumpahkan isinya, —berupa pil-pil warna merah jambu,
dibungkus plastik lalu diberikan pada Masita. “Ini hanya vitamin. Minumlah
setiap habis makan.”
Gemetar tangan Masita menerima bungkusan itu. Secara tiba-tiba
telinga kirinya berdenging seperti isyarat buruk. Lagi, sesuatu bergolak di
dada Masita, kali ini sangat kuat, menghentak. Malam kian mencekam di benak
Masita. Ruang periksa itu tiba-tiba terasa panas. Gerah. Tak ada kipas angin.
Yang ada hanya gunting, pisau bedah, jarum suntik dan botol-botol putih
berderet di dalam lemari kaca. Benarkah pil-pil itu vitamin? Bukan racun
mematikan? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di batok kepala Masita
seperti baling-baling pesawat.
“Kau datang sendirian, Masita. Pasti suamimu tidak di rumah.”
Sambil lalu bidan Salwa mengucapkan kata-kata itu, —sambil memberesi
kertas-kertas yang berserak di atas meja, namun cukup membuat Masita gelisah.
Wajah Masita tiba-tiba bersemu merah. Teringat sejak sore tadi
suaminya memang pergi meninggalkan rumah. Dan bidan Salwa? Kenapa pada saat
bersamaan bidan Salwa juga pergi meninggalkan rumahnya? Ke mana? Darah Masita
kembali berdesir. Jantungnya nyeri seperti tertusuk duri. Benarkah…
***
LELAKI itu, suami Masita, cuma tertawa sewaktu Masita
mengutarakan niatnya membuang pil-pil pemberian bidan Salwa. Masita yakin bahwa
pil-pil itu bukan vitamin melainkan racun yang akan membunuh dirinya dan bayi
di dalam perutnya. Masita tak mau mati konyol usai menelan pil-pil itu.
Mestinya usai sarapan, ia menelan sebutir. Tapi memandang pun ia enggan.
“Percayalah, kau tidak akan mati oleh pil-pil itu,” kata lelaki
itu di antara derai tawanya yang renyah.
“Hari ini mungkin tidak. Tapi bagaimana jika besok pagi?”
“Kau jangan mengada-ada, Masita. Bidan Salwa perempuan
baik-baik. Untuk apa membunuhmu?” lanjut lelaki itu berusaha menghentikan
tawanya, tapi gagal.
Masita terdiam. Sadar dan menyesal telah mengutarakan niatnya
pada lelaki itu. Mestinya ia langsung membuang pil-pil itu ke bak sampah. Atau
menghanyutkan di selokan depan rumah. Muncul kekecewaan di hati Masita pada
lelaki itu yang diam-diam mengagumi bidan Salwa. Ah, mungkin tidak sekadar
kagum saja, sebab di antara keduanya dulu semasa sekolah pernah terjalin
hubungan asmara. Hanya karena orangtua bidan Salwa tak merestui hubungan itu,
maka kisah kasih itu tidak berlanjut. Tapi kini orangtua bidan Salwa sudah
tiada. Segalanya bisa terjadi.
Dan, benarkah kasak-kusuk itu? Benarkah lelaki itu kini menjalin
hubungan khusus dengan bidan Salwa? Sejauh mana hubungan mereka? Memang, kadang
sulit dipercaya omongan orang-orang kampung yang cuma iseng, kurang kerjaan.
Tapi kenyataan lelaki itu mengagumi bidan Salwa, sering membuat Masita
ketakutan. Resah. Gelisah. Benarkah.
“Kukira kau sudah terhasut omongan orang-orang kampung.” Lelaki
itu memecah sunyi. “Lagi pula siapa nanti yang akan membantu persalinanmu jika
bukan bidan Salwa? Percayalah aku tak ada hubungan apa-apa dengannya.”
“Tapi kau mengaguminya.” Sesak dada Masita mengucapkan kata-kata
itu.
“Sebatas kagum, apa salahnya? Aku juga kagum padamu. Kau
perempuan cantik yang tabah.”
Masita kembali terdiam. Di benaknya membersit sebuah kesadaran.
Ya, tak ada salahnya seseorang mengagumi seseorang lain. Hanya sebatas kagum
saja apa salahnya? Batin Masita teringat dirinya juga mengagumi ketampanan
Armando kekasih Betty La Fea dalam serial telenovela. Ah… Dan sewaktu lelaki
itu beranjak pergi, perlahan-lahan Masita mengeluarkan sebutir pil dari
bungkusan plastik lalu menelannya.
***
SUDAH hampir satu jam bidan Salwa gelisah di kamarnya. Apalagi
ketika sayup-sayup terdengar gema alunan ayat suci, menyusup gendang
telinganya. Perasaannya kian hancur. Lebur. Seandainya ia bisa memutar waktu
beberapa jam ke belakang, ia berharap peristiwa menyakitkan itu tidak terjadi.
Tapi ia tak bisa melakukan itu, sebab waktu terus melaju. Kini tinggal
penyesalan yang dalam. Mungkin sia-sia. Masih terbayang jelas di benak bidan
Salwa peristiwa Subuh tadi, sewaktu membantu persalinan Masita. Meski telah
berusaha sekuat tenaga, tapi ia hanya berhasil mengeluarkan bayi laki-laki
montok dari rahim Masita. Sedang nyawa Masita tidak selamat lantaran pendarahan
hebat.
Baru pertama kali ini ia merasa gagal menjalankan tugasnya. Ia
sangat terpukul. Merasa berdosa. Sungguh pengalaman yang menyakitkan. Lebih
menyakitkan lagi karena perempuan malang itu adalah Masita. Teringat bidan
Salwa bagaimana tatapan orang-orang yang pagi tadi membawa pulang jenazah
Masita. Begitu muak, penuh kebencian, membuat dirinya seperti makhluk paling
celaka di dunia. Justru lelaki itu, suami Masita, dalam dukanya yang dalam
hanya menunduk tanpa kata-kata.
Kini di kamarnya yang serba putih, bidan Salwa gelisah, bingung,
apakah akan berangkat melayat atau tetap tinggal di rumah. Berkali-kali ia
melirik arloji di tangannya. Berkali-kali mengusap cairan bening di sudut
matanya. Hingga entah, tiba-tiba ada sebuah kekuatan gaib menggerakkan kedua
kakinya menghampiri pintu depan. Memutar gagang pintu, lalu dengan langkah
tegar berjalan keluar menyusuri jalan kampung yang lengang di bawah terik
matahari siang memanggang….
(cerita utk: ama, aw, oscr, swa) Kulonprogo,
2002
Dapat dibaca pula di http://sastra-indonesia.com/2010/10/bidan-salwa/
Teguh Winarsho AS lahir di
Kulonprogo, Wates, Yogyakarta, 27 Desember 1973. Banyak menulis cerpen, puisi,
esai, dan novel. Karya-karyanya tersebar di berbagai media massa seperti, Harian Kompas, Koran Tempo, Republika, Majalah Horison, dan Annida. Karya-karyanya juga terkumpul dalam antologi Kepak Merpati (1996), Tamansari (1998), Aceh Mendesah dalam Napasku (1999), Embun Tajjali (2000), Waktu Nayla (2003).
Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)
0 comments:
Post a Comment