Warna biru
dapat membantu mengurangi tekanan psikologis
(Dari paparan Mardhika, 2007)
|
Tajuddin
Noor Ganie
Pada
awal sejarah keberadaannya di tahun 1355-1362, kain sasirangan yang disebut kain langgundi
itu difungsikan sebagai bahan dasar untuk membuat busana harian bagi
segenap warga negara Kerajaan Negara Dipa. Ketika itu kain langgundi diproduksi dalam jumlah banyak oleh banyak pengrajin yang
tinggal di kota Amuntai. Keberadaan para pengrajin kain langgundi dimaksud menjadikan kota Amuntai dikenal luas sebagai
kota industri yang terkemuka di zamannya.
Sejak
tahun 1362, busana berbahan kain langgundi
hanya boleh dikenakan oleh Putri Junjung Buih dan para bangsawan Kerajaan
Negara Dipa saja. Kain langgundi
tidak lagi diproduksi dalam jumlah banyak. Para pengrajin hanya memproduksinya
untuk memenuhi keperluan para bangsawan Kerajaan Negara Dipa saja. Tugas
sebagai pembuat kain langgundi untuk
memenuhi keperluan para bangsawan Kerajaan Negara Dipa ini ditangani oleh
sebuah tim pengrajin yang khusus dibentuk untuk itu.
Para
pengrajin kain langgundi lainnya
tidak berani lagi membuatnya. Selain
takut kualat mereka juga takut melanggar aturan proteksi yang dibuat oleh
aparat Kerajaan Negara Dipa. Namun, alasan lain yang paling logis adalah fakta
bahwa pangsa pasar kain langgundi itu
sendiri sudah tidak menjanjikan lagi. Jumlah bangsawan Kerajaan Negara Dipa
ketika itu masih sedikit. Mereka belum beranak pinak seperti sekarang ini.
Seiring
dengan terjadinya perputaran waktu yang berlangsung selama berabad-abad. Jumlah
anggota keluarga bangsawan Kerajaan Negara Dipa semakin lama semakin bertambah
banyak pula. Ini berarti pangsa pasar kain langgundi
juga ikut menaik secara signifikan. Selain itu, seiring dengan perputaran
waktu juga yang berlangsung selama berabad-abad, kain langgundi juga mengalami diversifikasi fungsi.
Kain
langgundi tidak lagi difungsikan
sebagai bahan dasar pembuatan busana harian bagi para bangsawan Kerajaan Negara
Dipa saja, tetapi juga sudah mulai difungsikan sebagai bahan dasar pembuatan
busana khusus bagi para bangsawan Kerajaan Negara Dipa yang sedang pengidap
suatu penyakit pingitan.
Penyakit
pingitan adalah penyakit yang
diyakini sebagai penyakit yang berasal dari ulah para arwah leluhur nenek
moyang para bangsawan yang konon tinggal di pantheon alam roh (alam barzah). Konon,
menurut keyakinan yang sudah berurat berakar di kalangan etnis Banjar di Kalimantan
Selatan, para arwah leluhur nenek moyang itu secara berkala akan menuntut anak,
cucu, buyut, intah, piat keturunannya untuk mengenakan kain langgundi.
Begitulah,
dalam siklus setiap satu, tiga, lima, dan tujuh tahun anak, cucu, buyut, intah,
piat keturunannya akan jatuh sakit akibat terkena penyakit pingitan. Fauzi (1993), memperkirakan sejak abad ke 14—15 kain langgundi sudah berubah status menjadi
kain yang dikeramatkan. Seiring dengan itu namanya juga berubah menjadi kain pamintan. Kain pamintan artinya kain yang hanya dibuat berdasarkan permintaan dari
anak, cucu, buyut, intah piat para bangsawan yang pengidap penyakit pingitan.
Konon,
diyakini tidak ada obat lain yang mujarab bagi para pengidap penyakit pingitan ini selain dari pada mengenakan
kain pamintan di kepala (ikat kepala,
selendang), di perut (bebat, sabuk), atau bahkan menjadikannya sebagai selimut
tidur (sarung).
- Bebat atau sabuk kain pamintan (bahasa Banjar babat) yang dililitkan di perut dimaksudkan sebagai sarana untuk menyembuhkan penyakit diare, disentri, kolera, dan sebenar jenis penyakit perut lainnya.
- Ikat kepala kain pamintan (bahasa Banjar, laung) yang dililitkan di kepala dimaksudkan sebagai sarana untuk menyembuhkan penyakit kepala sebelah (migrain).
- Sarung kain pamintan (bahasa Banjar, tapih bahalai) dikenakan sebagai selimut untuk mengobati penyakit demam atau gatal-gatal.
- Selendang kain pamintan (bahasa Banjar, kakamban) yang dililitkan di kepala atau disampirkan sebagai penutup kepala dimaksudkan sebagai sarana untuk menyembuhkan penyakit kepala sebelah (migrain).
Dalam
perkembangan lebih lanjut, bentuk fisik kain pamintan tidak lagi sebatas ikat kepala, selendang, bebat, sabuk,
dan sarung saja. Tetapi sudah pula dibuat dalam bentuk kain lembaran yang siap
untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan busana harian yang bersifat diapan
atau profan. Pada zaman dahulu kala kain pamintan
diberi warna sesuai dengan tujuan pembuatannya, yakni sebagai sarana
pelengkap dalam terapi pengobatan suatu jenis penyakit tertentu yang diderita
oleh seseorang.
- Kain pamintan warna kuning dibuat sebagai sarana untuk mengobati penyakit kuning (bahasa Banjar kana wisa).
- Kain pamintan warna merah dibuat sebagai sarana untuk mengobati penyakit migrain (sakit kepala sebelah) atau penyakit imsonia (penyakit sulit tidur).
- Kain pamintan warna hijau dibuat sebagai sarana untuk mengobati penyakit stroke (lumpuh).
- Kain pamintan warna hitam dibuat sebagai sarana untuk mengobati penyakit demam dan kulit gatal-gatal.
- Kain pamintan warna ungu dibuat sebagai sarana untuk mengobati penyakit diare, disentri, dan kolera.
- Kain pamintan warna cokelat dibuat sebagai sarana untuk menyembuhkan penyakit kejiwaan (stress).
Pemanfaatan
warna-warni tertentu sebagai sarana pengobatan ternyata bukanlah omong kosong. Hasil
penelitian mutakhir menunjukkan bahwa warna-warni tertentu dapat dipergunakan
sebagai sarana untuk menyembuhkan suatu jenis penyakit tertentu yang diderita
oleh seseorang.
Mengenai
hal ini ada baiknya dikutipkan paparan Mardhika (2007) tentang potensi
warna-warni tertentu sebagai sarana penyembuhan penyakit dimaksud.
- Merah, warna ini dapat membantu mengurangi sakit kepala, karena warna ini mampu meningkatkan peredaran adrenalin di dalam tubuh. Jika sakit kepala letakanlah kain lembab berwarna merah di atas mata.
- Biru, warna ini dapat membantu mengurangi tekanan psikologis. Jika mengalami tekanan psikologis maka fokuskanlah pandangan mata ke arah segala sesuatu yang berwarna biru.
- Merah jambu, warna ini dapat membantu mengurangi penyakit sulit tidur (insomnia), karena warna ini mampu menampilkan suasana santai dan romantik.
- Hijau, warna ini dapat membantu mengurangi rasa letih, karena warna ini mampu menciptakan suasana harmoni dalam tubuh manusia.
Penggunaan
kain dengan corak dan warna gambar tertentu sebagai penangkal datangnya suatu
jenis penyakit pingitan, atau sebagai
sarana terapi pengobatan alternatif atas suatu jenis penyakit pingitan yang diyakini berasal dari alam
gaib, ternyata bukanlah gejala sosial yang khas etnis Banjar di Kalsel saja.
Kepercayaan
supertitious semacam ini sudah menjadi gejala sosial yang bersifat universal di
seantero kepulauan nusantara. Menurut laporan Halimi (2007), wanita Jawa yang
tinggal di kota Probolinggo sengaja memakai batik bercorak Tulak Watu pada saat menjalani upacara adat tingkeben usia tujuh bulan masa hamil anaknya yang pertama. Tujuannya
agar dirinya dan anak pertama yang dikandungnya tidak diganggu oleh roh jahat.
Di
Tanah Batak, seorang wanita yang sedang hamil tua menerima pemberian ulos ni tondi dari orang tuanya. Pemberian
ulos yang dipakai dengan cara diselendangkan itu dimaksudkan sebagai tanda
simbolik bahwa orang tua yang bersangkutan telah memindahkan semua kekuatan
magis yang ada padanya kepada anaknya yang sedang hamil tua itu. Tujuannya agar
anaknya itu mampu menghadapi segala marabahaya yang siapa tahu bakal menimpanya
pada masa-masa kritis di saat kehamilannya itu (Halimi, 2007).
Kain
ikat ganda yang disebut geringsing di
Bali diyakini dapat menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pemakainya. Berkaitan
dengan keyakinan itulah, kain geringsing juga
dikenakan oleh seorang gadis yang sedang menjalani upacara potong gigi. Tujuannya
agar anak gadis yang bersangkutan tidak merasakan sakit yang berarti ketika
giginya dipotong (Halimi, 2007).
Pada
masa sekarang ini di berbagai kota di Kalsel masih ada segelintir orang yang
menekuni profesi sebagai juru sembuh penyakit pingitan ini. Salah seorang
di antaranya adalah warga kota Banjarmasin yang akrab dipanggil dengan nama
nenek Jumantan (72 tahun). Keahlian sebagai juru sembuh penyakit pingitan dengan terapi kain pamintan ini diwarisinya secara turun
temurun dari generasi ke generasi.
Menurut
penuturan nenek Jumantan, para pasien penyakit pingitan yang datang berobat kepadanya tidak lain adalah
orang-orang yang masih mempunyai hubungan pertalian darah dengan nenek moyang
mereka yang dulu tinggal di Amuntai, Alabio, Kalua, dan Margasari (Wulan,
2006). Perlu dijelaskan, kota-kota yang disebut nenek Jumantan adalah kota-kota
yang dulunya menjadi pusat pemukiman penduduk yang terbilang padat pada
masa-masa jayanya Kerajaan Negara Dipa. Patut diduga, nenek moyang para pasien
nenek Jumantan tersebut tidak lain adalah anak, cucu, buyut, intah, piat dari
40 orang wanita perawan yang dulu berjasa membantu Lambung Mangkurat membuatkan
kain langgundi yang diminta oleh
Putri Junjung Buih.
Sesuai
dengan asal-usul geneologisnya sebagai bangsawan berdarah biru, maka sekali
waktu dalam siklus tertentu (1,3,5,atau 7 tahun) mereka akan terkena virus
penyakit pingitan. Proses
penyembuhan penyakit pingitan yang diderita oleh kaum
bangsawan berbeda dengan proses penyembuhan penyakit biasa yang diderita rakyat
jelata. Proses penyembuhan penyakit biasa yang diderita oleh rakyat jelata
dapat dilakukan dengan cara-cara yang sangat sederhana. Sekadar meminum air
putih yang sudah diberi mantra-mantra atau do’a-do’a oleh para juru sembuhnya.
Sementara
itu, proses penyembuhan penyakit pingitan
yang diderita oleh kaum bangsawan relatif lebih rumit. Penyakit pingitan yang mereka derita baru dapat
disembuhkan setelah mereka mengenakan kain pamintan
dengan motif dan warna tertentu sesuai dengan jenis penyakit pingitan yang mereka derita. Kerumitan
dalam hal proses penyembuhan penyakit pingitan
semacam ini sudah barang tentu menuntut biaya pengobatan yang relatif
mahal.
Harga
kain pamintan yang relatif mahal
sudah barang tentu tidak terjangkau oleh rakyat jelata yang hidupnya masih
pas-pasan. Jangankan membeli kain pamintan,
membeli bahan makanan untuk keperluan hidup sehari-hari saja mereka sudah
kelimpungan. Untunglah, sekarang ini ada program asuransi kesehatan untuk
rakyat miskin (askeskin). Sehingga mereka dapat berobat secara gratis di
puskesmas milik pemerintah.
Ternyata,
tidak sembarang orang boleh menekuni profesi sebagai pembuat kain pamintan. Profesi ini hanya boleh
ditekuni oleh mereka yang berdarah bangsawan atau keturunan pembuat kain pamintan saja. Menurut keterangan nenek
Antung Kacil, siapa saja yang tidak berdarah bangsawan atau bukan keturunan
pembuat kain pamintan, akan kualat
jika nekad menekuni profesi sebagai pembuat kain pamintan. Lebih-lebih jika kain pamintan itu dibuat dengan tujuan sebagai sarana untuk mengobati
suatu penyakit yang diderita oleh pasien yang sedang dirawatnya. Tulah yang bakal menimpanya sangatlah
menakutkan, yakni mengalami kebutaan dan kelumpuhan (terkena penyakit stroke)
(bahasa Banjar, mata picak tangan
tengkong).
Perubahan
nama dari kain pamintan menjadi kain sasirangan berkaitan erat dengan tujuan
pembuatannya yang tidak lagi diapan (sakral), tetapi propan (nonsakral). Kain pamintan dibuat atas dasar permintaan
dari orang-orang yang sedang mengidap suatu penyakit pingitan.
Sementara
itu, kain sasirangan dibuat tidak
berdasarkan pesanan orang dan tidak pula dibuat dengan tujuan untuk dijadikan
sebagai sarana pengobatan penyakit pingitan.
Pemakaian istilah sasirangan mulai
menggejala sejak adanya keterbukaan dalam hal produksi kain sasirangan. Para pihak yang memproduksi kain sasirangan tidak lagi diproteksi
berdasarkan garis keturunan yang bersifat nepotisme seperti yang terjadi pada
zaman dahulu kala.
Ceritanya
konon bermula sejak tahun 1981, ketika itu Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan
datang bertandang ke rumah nenek Antung Kacil, seorang juru sembuh yang
menjadikan kain pamintan sebagai
sarana pelengkap terapi pengobatannya. Mereka sengaja bertandang untuk meminta
kesediaan nenek Antung Kacil mengajarkan kiat-kiat membuat kain pamintan. Pada mulanya Antung Kacil
tidak bersedia mengajarkan kiat-kiat membuat kain pamintan. Beliau khawatir, Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan akan
terkena tulah mata picak tangan tengkong.
Tanpa
maksud menantang bahaya, Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan menyatakan siap
menanggung tulah itu. Mereka yakin tidak akan kualat terkena tulah itu karena
tujuan mereka belajar membuat kain pamintan
kepada Antung Kacil semata-mata didasari dengan niat tulus. Mereka ingin ikut
serta berperan aktif dalam upaya melestarikan salah satu kekayaan budaya milik
bersama etnis Banjar yang ketika itu sedang terancam kepunahan.
Entah
bagaimana proses negoisasinya, hati Antung Kacil akhirnya luluh juga. Apalagi
setelah mengetahui bahwa di dalam tubuh Ida Fitriah Kusuma juga mengalir darah
bangsawan. Setelah cukup lama menimba ilmu kepada Antung Kacil, Ida Fitriah
Kusuma dan kawan-kawan akhirnya mampu membuat kain pamintan secara mandiri.
Mengingat
latar belakang pembuatannya tidak lagi didasari oleh permintaan, maka nama kain
pamintan dirasa sudah kurang begitu
tepat lagi. Nama baru yang dinilai lebih pas adalah kain sasirangan. Pada tanggal 24 Juli 1982, Ida Firiah Kusuma sudah
berani mengajarkan ilmu yang baru dikuasainya kepada ibu-ibu warga kota
Banjarmasin yang berminat. Selepas pelatihan itu, yakni tanggal 10 Agustus
1982, mereka membentuk Kelompok Kerja Pembuat Kain Sasirangan Banawati (Wulan, 2006).
Kain
sasirangan produksi mereka mulai
diperkenalkan kepada khalayak ramai pada tanggal 27 Desember 1982. Ketika itu
mereka menggelar peragaan busana kain sasirangan
di Hotel Febiola Banjarmasin. Sambutannya sungguh luar biasa. Sejak itu
kain sasirangan mulai dikenal luas
oleh segenap anggota masyarakat di Kalsel.
Bak
gayung bersambut, kata berjawab, Gubernur Kalsel Ir. HM Said kemudian
mengeluarkan kebijakan mewajibkan para PNS mengenakan baju berbahan kain sasirangan pada setiap hari Jum’at
(1985). Tidak hanya itu, para calon jemaah haji Kalsel juga diwajibkan
mengenakan baju berbahan kain sasirangan pada
saat upacara pelepasan keberangkatan mereka di Aula Asrama Haji Landasan Ulin
Banjarbaru.
Tahun
1987, kain sasirangan dipamerkan di
Departemen Perindustrian Jakarta. Ketika itu Prayudi, seorang perancang busana
terkemuka, didaulat untuk merancang busana dari bahan kain sasirangan. Warna asli kain sasirangan
yang didominasi warna gelap mulai diberi tambahan warna terang yang lebih
beragam untuk lebih menarik minat para pembeli (Baldi, 1993).
Masih
dalam rangka lebih memperkenalkan kain sasirangan
kepada khalayak ramai di luar daerah Kalsel, pihak pemerintah daerah
berinisiatif memberikan cinderamata kain sasirangan
berkualitas istimewa kepada para pejabat tinggi sipil dan militer yang
berkunjung ke daerah kalsel. Tidak kurang dari Bapak KH Abdurrahman Wahid
almarhum, Presiden Republik Indonesia masa bakti 2000-2003, tercatat sebagai
tokoh nasional yang gemar mengenakan baju berbahan kain sasirangan.
Semakin
lama, kain sasirangan semakin dikenal
luas, hal ini merangsang para pengrajin untuk lebih giat lagi memproduksinya. Menurut
catatan Baldi Fauzi (1993), pada tahun 1993 saja sudah tercatat 68 unit usaha
pembuat kain sasirangan di kota
Banjarmasin. Usaha kecil ini melibatkan tenaga kerja sebanyak 700 orang. Omset
penjualan kain sasirangan ketika itu
mencapai Rp. 98 juta per tahun (Kain Sasirangan,
untuk Bergaya dan Penolak Bala, SKH Kompas
Jakarta, 15 Agustus 1993).
Ini
berarti, sejak tahun 1985 fungsi kain sasirangan
sudah kembali menjadi kain propan yang berfungsi umum sebagai sarana untuk
memenuhi kebutuhan jasmani seluruh warga
negara sebagaimana yang dulu berlaku sebelum tahun 1355. Tidak lagi berfungsi
khusus sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan rohani para pengidap penyakit pingitan saja.
Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)
0 comments:
Post a Comment