Siapa yang tak mengenal angka 17 dalam Agustus?
Akan tetapi, selama di alam kemerdekaan ini,
sudahkah bangsa kita hidup sesuai yang telah dicita-citakan para pejuang zaman dulu?
Alam kita misalnya, apakah sungai-sungai kita tetap lestari? Airnya mengalir
jernih dari hulu ke hilir tanpa tercemar limbah apa pun?
Yang tak kalah pentingnya daripada sungai, adalah hutan.
Apakah hutan-hutan kita masih tumbuh dengan subur? Hijau dan sejuk? Burung-burung
beterbangan riang dan satwa lainnya hidup dengan tenang di dalamnya? Sebagai
contoh, sebut saja di Kalimantan. Di pulau yang dikenal juga dengan sebuta
Borneo ini, hutan yang dulu hijau, kini kian gersang saja. Hawa panas ketika
musim kemarau tiba sangat terasa. Begitu pun banjir sering terijadi tatkala
hujan turun.
Lalu
di mana puisi?
Adakah pengaruh positif dari puisi terhadap pembangunan bangsa kita, baik dulu maupun sekarang? Puisi memang tidak langsung mengubah sesuatu atau kumpulan sesuatu menjadi sesuatu wujud yang lain, semisal bahan-bahan material menjadi gedung megah. Namun, dengan puisi, penyair berusaha menggugah jiwa manusia bangkit menuju ke hal-hal positif. Sebut saja para penyair berusaha menggugah kesadaran masyarakat dan pemerintah agar lebih peduli terhadap hutan, seperti tidak membakar hutan, menindak pelaku perburuan satwa liar yang dilindungi, dan melakukan reboisasi.
Dengan itu,
diharapkan hutan-hutan di Indonesia yang kini mengalami krisis akan membaik
sehingga banjir, tanah longsor, dan lainnya akan berkurang. Nah, kembali kepada
alam seperti tersebut di atas, berikut ada enam puisi bertema kepedulian
terhadap hutan. Selamat membaca, mengapresiasi, dan menginterpretasi semuanya!
Hutan di Mataku
Karya Micky Hidayat
sebuah hutan
tak bernama
tak berpeta
tak terbaca
terhampar di anganku
sebuah hutan
tak berpohon
tak berakar
tak berdahan
tak beranting
tak berdaun
terbakar di jantungku
sebuah hutan
menjerit-jerit
melolong-lolong
mengerang-erang
meraung-raung
merintih-rintih
terkapar di lorong jiwaku
sebuah hutan
menjelma jadi api, asap,
bara, dan puing
berserakan di ruang sunyiku
sebuah hutan
adalah luka adalah duka
sebuah hutan
adalah perih adalah pedih
sebuah hutan
menjadi hujan di mataku
menderaskan bencana
berkepanjangan
2005
Hutan yang Hampir Habis
Karya Mohamed Salleh Lamry
Dulu negeriku banyak hutan
di mana tersimpan banyak pokok besar
yang usianya mencapai ratusan tahun.
Ada yang dibuka oleh pemerintah
untuk rancangan pembangunan tanah
bagi petani miskin yang tidak bertanah.
Tapi lebih banyak yang dibuka
oleh pengusaha kaya yang rakus
yang mahu keuntungan segera
tanpa mengira apa akibatnya.
Setelah puluhan tahun berlalu
hutan di negeriku hampir habis
yang tinggal hanya hutan simpan
itu pun ada yang mencurinya
mereka bersekongkol
dengan pegawai negeri yang tidak amanah.
Apabila musim hujan tiba
banjir besar datang melanda
kerana
tidak ada lagi hutan untuk menyerapnya.
Banyak tanaman dan rumah musnah
ramai rakyat
marhaen yang mendapat susah
tapi pengusaha kaya yang tinggal di kota
yang rumah besarnya tersergam megah
tidak menghadapi kerugian apa-apa.
Ketika Singgah di Kotamu
Karya Iyut Fitra
hampir Magrib aku sampai di kotamu
sebelumnya kulihat hutan sudah menepi, sisa
asap dan petak-petak rapi
kubayangkan seekor burung kepanasan dan yang
lain terbang
dengan sayap terbakar. seolah bau dedaun dan
ranting tinggal cerita
kawanan yang tak punya rumah. arah sungsang
kehilangan sarang
ke mana rimbun itu dibawa?
seperti biasa, malamnya kita duduk di
batanghari
jagung bakar dan segelas air tebu. kata-kataku
mati, puisi di sini hanya barisan
mayat-mayat tak berarti, katamu seolah ingin
membuang semuanya
di seberang, penduduk asal mungkin airmatanya
lebih. mungkin perih
mengalir ke sungai ini
dan juga bertanya, ke mana rimbun itu dibawa?
Jambi, 2010
Hutan Mati
Karya Rissari Yayuk
Kepak elang tak lagi terlihat di ujung kampung
Dia beri kabar kalau mangsanya tinggal
belatung
Pemburu tak lagi tambatkan jebakannya di
lereng gunung
Mereka beri kabar kalau babi hutan dan kijang
tak lagi bisa terkurung
Pencari rotan pun kini tak bisa bawa hasil dalam gulungan
Mereka beri kabar kalau belukar kini semakin hilang
Peracik obat alam kini tak leluasa temukan
dedaunan
Mereka beri kabar kalau kini daun berganti tanah merah
Ya. Tanah merah yang membuat kayu manis
menangis
Aroma daunnya tak mampu semaikan perkampungan
dan pegunungan
Sebab tubuhnya telah diberangus oleh parang
dan mesin raksasa pembunuh
Ya. Tanah merah yang membuat gunung tak
lagi biru
Sebab gaun indahnya telah dikoyak paksa untuk
lahan batu bara tanpa keluh
Ya. Tanah merah yang memberi tanda kalau telah
telan hijaunya alam rimba
Alam yang kini telah berganti dengan lahan
karet dan kelapa sawit
Ke manakah elang kan cari mangsanya
Ke manakah pemburu kan tambatkan jebakannya
Ke mana para pencari rotan kan tambah
gulungannya
Ke mana para peracik obat kan temukan dedaunannya
Ke mana?
Ke mana elang kan mengadu, jikalau kampung
kini diam membisu
Ke mana pemburu kan mengadu, jikalau gunung
kini tak lagi biru
Ke mana pencari rotan kan mengadu, jikalau
belukar tak lagi menghijau
Ke mana peracik obat kan mengadu, jikalau daun
kini sudah tak punya pohon dan ranting
Hutan negeri tak bisa lagi beri janji
Janji pada elang, pemburu, pencari rotan, dan
peracik obat
Janji tuk bisa terus berbagi
Sebab jantungnya mati ditusuk bayonet putra
sendiri dan yang mengaku kerabat!
Kerakap Membatu Musim demi Musim
Karya Setia B Borneo
Menancap di dinding
berbatu
Kerakap musim kemarau
Sekadar mencuri air
Menghisap lumut
berplasenta
Demikianlah bukit-bukit
hutan menyerah pada longsor
Sejuta cengkeram
tercerabut ribuan bolduzer
Mata gergaji dengan geram
memotong nadi
Akar gantungan tinggal
kenangan
Anak-anak dengan tangisan
rintih mengirimkan kabar pilu
Ibunda mereka terkubur
tercerabut menghantam sawah ladang
Ibunda itu bernama Dewi
Sri yang menggenggam setangkai padi
Memberi mereka buah-buah
dan sayur mayur
Siapakah yang salah
Ataukah pada pergantian
musim
Ketika malapateka runtuh
dari atas bukit
Akar kering menutup sumur
tua di lereng perbukitan
Sebab air telah lama
beracun pestisida
Kerakap itu membatu musim
demi musim
Sedang Ibunda Dewi Sri
telah lama menghilang
Terbang jauh bersama asap
dupa dan kematian
Malay 2014
Apa Kabar Hutan
Karya Sulchan MS
Mendengar, rumput-rumput mati
Tanah kering kerontang
Tandus retak berlubang
Mendengar, asap-asap liar meracuni daun
dan ranting terbakar
Hangus rata terkapar
Mendengar, pohon-pohon tumbang
Tunas-tunas terpasung
Gersang tak terhitung
Mendengar, pembalakan liar membabi buta
Merampas, menjarah seenaknya
Tak tersisa, hingga akar-akarnya
Seketika hati pun merintih pedih
Menyaksikan hutanku yang kini merangkak
tertatih
Hilang segala teduh merimbun
Yang dulunya hijau dibasahi embun
Kini rata dengan arang dan sisa asap
Tergeletak, berserak, panas, dan pengap
Apa kabar hutan ?
Bagaimana jika nanti anak cucu bertanya
tentangmu
Tentang sejuk rindangmu dan aneka jenis
pohonmu
Tentang hijau rimbun daunmu dan subur tanahmu
Tentang rumah satwa berlindung dan istana
burung-burung
Tentang nasib berpuluh ribu nyawa darimu
mereka bergantung
Apa hanya mampu terdiam bisu
Menyaksikan nasibmu tak lagi sehijau dulu
Menyimpan cerita kelam tentang kebinasaan
hutan
Dari muramnya sejarah peradaban
Apa kabar hutan?
Kau kah itu,
Yang kini sedang menjerit bagai diiris
sembilu
Kudus, 27 Juni 2016
Biodata Para Penyair
Micky Hidayat lahir di Banjarmasin, 4 Mei 1959. Mulai
bergiat menulis sajak sejak tahun 1978. Di samping sajak, ia juga menulis esai
sastra, ulasan/kritik sastra dan teater, reportase seni, resensi, artikel
masalah sosial, politik, dan gerakan mahasiswa, di sejumlah media cetak daerah
dan nasional antara lain, Pelita, Republika, dan Majalah Horison, serta di beberapa Jurnal
Sastra. Kumpulan sajak tunggalnya Meditasi Rindu (Tahura Media, Banjarmasin,
2008, dan Penerbit Bukupop, Jakarta, 2009). Pembicaraan atas sajak-sajaknya
terhimpun dalam buku Memikirkan
Sajak-sajak Micky Hidayat (Pustaka Puitika, Yogyakarta, 2016).
Sajak-sajaknya juga diterbitkan dalam antologi bersama di berbagai event/forum
dan festival sastra lokal dan nasional. Ia juga menjadi editor beberapa buku
antologi sastra karya sastrawan Kalimantan Selatan. Mengikuti berbagai forum
sastra dan pembacaan puisi di Kalimantan Selatan dan berbagai daerah di tanah
air.
Mohamed
Salleh Lamry, orang keturunan Banjar dari
Malaysia, lahir di Selangor pada tahun 1942. Pernah menjadi dosen Universiti
Kebangsaan Malaysia (UKM), pada tahun
1978-2003. Pernah menulis sajak, cerita pendek, dan novel
pada tahun 1960-an. Kini ia menulis sajak lagi, setelah tidak menulis
selama kira-kira 40 tahun. Alamat untuk dihubungi: ms.lamry@gmail.com.
Iyut Fitra lahir di Payakumbuh 16 Februari. Karya-karyanya dalam bentuk puisi
dan cerpen telah diterbitkan di berbagai media di Indonesia, Malaysia, dan
Brunei Darussalam. Beberapa kali menjadi pemenang dalam lomba cipta puisi
seperti, pemenang lomba cipta puisi Sanggar
Minum Kopi Bali dan pemenang lomba cipta puisi 100 tahun Bung Hatta. Selain itu, ia juga mendapatkan ANUGRAH
SASTRA dari Balai Bahasa Padang sebagai pegiat yang telah berjasa membina dunia
sastra dan penulisan kreatif di Sumatra Barat. Beberapakali juga diundang ke
even-even nasional dan internasional antara lain, Mimbar Penyair Abad 21 di Jakarta, Pertemuan Penyair 8 Kota di Jakarta,
dan Pertemuan Sastrawan Nusantara di
Johor Bahru Malaysia. Karya-karyanya yang sudah terbit Musim Retak, Dongeng-dongeng Tua, Beri Aku Malam (Kumpulan Puisi),
Orang-orang Berpayung Hitam (Kumpulan Cerpen). Kini aktif di Komunitas Seni
INTRO Payakumbuh.
Rissari Yayuk,
lahir di Kandangan, 4 Juni 1976. Selain gemar menulis puisi, juga aktif
meniliti di bawah komando pemimpin Balai Bahasa Kalimantan Selatan. Dapat di
temui di Herlina B/24 Kuin Utara Banjarmasin.
Setia
Budhi nama pena Setia B Borneo. Lahir
di Marabahan, Barito Kuala, 1 Januari 1965. Ia melanjutkan
studi dengan mengambil spesialisasi Anthropology di Universiti Kebangsaan Malaysia dan
lulus Ph.D. tahun 2011. Selain mengajar di Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin dan Banjarbaru, ia aktif dalam berbagai seminar nasional dan
internasional. Tahun 1998 bersama beberapa tokoh Kalimantan Selatan mendirikan Center for Regional Development
Studies –CRDS untuk kajian
opini publik dan pembangunan. Sampai tahun 2000 aktif dalam membangun jejaring
sosial dan pemerintahan dan adat pada lima kawasan Kabupaten DAS Barito. Dalam
lima belas tahun terakhir ia menekuni bidang Anthropology, selain melakukan penelitian, ia juga
melakukan pengembangan masyarakat berbasis kearifan lokal. Tahun 2004 bersama
Tim Jurnalis Kompas melakukan ekspedisi Anthropology Sungai Barito—Mulle Schawanner–Sungai Mahakam. Sejak tahun
1980-an aktif bersama penyair mengisi acara Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan
Seni RRI Banjarmasin, asuhan Hijaz Yamani. Mengikuti pertemuan Sastrawan di Kalimantan
Selatan. Menulis Puisi dan Cerita Pendek untuk Banjarmasin Post, Media
Kalimantan, dan Radar Banjarmasin.
Kumpulan Cerpen Gadis Dayak terbit di
Banjarbaru tahun 2005. Tahun 2012 menulis naskah monolog Tanah Ayungku. Akhir tahun 2014 menerbitkan antologi puisi Tanah Semenanjung dan Kumpulan Cerpen Nyanyian Balian. Tahun 2015 dengan Antologi Cerpen Rumah Hutan bersama Penerbit Pustaka
Banua.
Sulchan
MS
lahir di Kudus, Jateng, 30 Oktober 1987 dan tinggal di kota yang sama. Menulis
puisi dan naskah drama. Aktif membina kelompok teater pelajar (teater pelangi)
di Kudus sejak 2008. Karya puisinya banyak tergabung dalam antologi puisi
bersama antara lain, Memo Anti Terorisme
(MAT) bersama 250 penyair Indonesia (Penerbir Forum Sastra Surakarta, 2016), Bahtera Nelayan bersama bersama 100
penulis Nusantara (Penerbit Genom, 2016), Hijrah
ke Jalan-MU bersama 117 penulis Nusantara (Penerbit Nahima Press, 2016 ), Senyuman (Penerbit Hikari Publisher,
2016 ), Kata Kasih untuk Ibu (
Penerbit Uwais, 2016 ), dan Arus Puisi
Sungai (Penerbit Tuas Media, 2016). Akun facebook: Mangir Chan, pos-el: mangir.mangirchan@gmail.com,
& nomor ponsel: 085865503040.
1 comments:
Terima kasih kerana memuat sajak saya seperti di atas. Sebenarnya kerana masalah komunikasi, s sehingga kini saya masih belum melihat dan
memiliki buku antologi sajak yang memuatkan sajak saya itu.
Post a Comment