Mahmud Jauhari Ali
Ada berapa bahasa di dunia ini sejak zaman Nabi Adam as
hingga sekarang?
Saya pikir jika pertanyaan itu ditujukan kepada manusia, tak
ada yang bisa menjawabnya dengan benar. Pada masa ini saja, masih belum ada kepastian
ada berapa bahasa di Indonesia. Tapi, untunglah pertanyan itu tidak harus
dijawab meski salah sekalipun.
Mungkin akan lebih ideal jika kita menyoal bahasa-bahasa yang nyaris punah. Dan perkara yang terakhir ini bukan hanya persoalan yang menjadi bahan pemikiran orang-orang di negara Indonesia. Konon di pulau yang dipercayai sebagai tempat induknya bahasa-bahasa Austronesia, yakni Taiwan , bahasa-bahasa yang nyaris punah sedang mendapatkan perhatian serius oleh pihak pemerintah setempat. Lalu, bagaimana di negara kita?
Mau tidak mau. Suka tidak suka. Satu hal yang perlu dicatat bahwa Indonesia memiliki bahasa daerah dengan jumlah ratusan. Setidaknya itu yang dikatakan para ahli leksikostatistik dan dialektometri. Sebut saja Mahsun yang merupakan seorang guru besar linguistik yang bergelut dalam pemetaan bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Kita mungkin patut bangga atas jumlah yang bisa disebut fantastis tersebut. Meski demikian, kita juga tidak boleh melupakan satu fakta yang tak terbantahkan berkaitan dengan hal itu. Apa? Bahwa, tak semua bahasa daerah aman.
Saya menggunakan kata “aman” dalam arti kelestariannya
terjaga. Lantas berapa yang tidak aman?
Saya rasa dari sisi jumlah kita kesampingkan dulu. Sebab, hal terpenting ialah
apa dan bagaimana sikap kita terhadap kasus itu. Ada baiknya juga kita perlu
merenung sejenak, bagaimana kalau yang nyaris itu menjelma kepunahan? Akankah
negara kita masih disebut sebagai pemelihara bahasa? Baik, sampai di sini saya
pikir arah tulisan ini sudah jelas. Tertuju pada pelestarian bahasa-bahasa
secara adil dengan memperhatikan skala prioritas sesuai kondisi empiris yang apa
adanya.
Kepunahan. Jika dikaitkan dengan bahasa, cenderung kepada
masyarakat pendukungnya. Dalam hal ini tentu tidak lain adalah para pengguna
bahasa bersangkutan. Ada kasus menarik yang mungkin perlu diketengahkan di
sini. Sebut saja bahasa Abal. Kita boleh bertanya, apa yang terjadi dengan
bahasa itu? Di ujung Kalimantan Selatan, tepatnya di Kabupaten Tabalong dulunya
ada sebuah kerajaan bernama Abal. Nama itu sekaligus juga menjadi sebutan
masyarakat setempat dan bahasa yang mereka gunakan. Saya sengaja tidak
menuliskan dua kata, yakni “hingga sekarang” di ujung kalimat terakhir tadi.
Satu alasan saya, bahasa itu sudah tidak dipakai secara luas di sana.
Masyarakat Abal sebenarnya adalah orang-orang dari salah
satu suku Dayak yang faktanya masih ada dengan segala ragam kehidupan mereka. Ya,
benar, bahwa mereka masih lestari. Realitas yang memperihatinkan terletak pada
bahasanya. Menurut cerita langsung dari salah seorang dari mereka, dulu bahasa
Abal digunakan sebagai bahasa perantara di lingkungan Kerajaan Abal. Seiring
perkembangan zaman, orang-orang Dayak Abal memeluk agama Islam. Entah atas
alasan apa, setelah mereka menjadi muslim, semua kebudayaan Abal termasuk
bahasa, mereka tinggalkan. Sebagai gantinya, mereka menggunakan bahasa Banjar, yakni
sebuah bahasa yang dipakai di wilayah Kesultanan
Banjar. Padahal, Islam tidak pernah memperkarakan bahasa apa pun. Tidak ada
larangan dalam hal penggunaan bahasa mana saja di dalam ajaran agama ini.
Alhasil, hanya dua orang yang masih bisa menggunakan bahasa Abal. Mereka itu
pun sudah renta. Bisa kita bayangkan kalau mereka sudah tiada di dunia ini, apa
yang akan terjadi.
Itu hanyalah satu contoh bahasa yang nyaris punah di Pulau
Kalimantan. Apa dan bagaimana sikap kita dalam hal ini? Apakah tidak peduli?
Ah, saya rasa yang paling mudah adalah berdoa agar bahasa-bahasa yang ada
tidak punah. Itu benar. Doa adalah ibadah. Karena, memang diawali dengan doa,
kemudian usaha. Nah, usaha inilah yang akan coba saya bahas.
Ada ragam usaha yang mungkin dilakukan dalam hal tersebut di
atas. Dari pemikiran-pemikiran para ahli, lahirlah berbagai-bagai solusi yang dikupas
di kampus-kampus atau di seminar-seminar kebahasaan. Kita patut menyambut
gembira atas semuanya. Setidak-tidaknya,
ada upaya penyelamatan bahasa meski hanya sebatas kosakata yang dimuat dalam
kamus bahasa tertentu. Mengenai kamus, memang terkesan sederhana. Terdiri atas
susunan kata-kata atau ungkapan disertai makna masing-masingnya. Akan tetapi,
kamus dapat menjadi upaya terakhir yang
bisa dilakukan untuk mendokumentasikan bahasa menjelang kepunahannya.
Di Kalimantan Selatan sendiri, ada kamus yang memuat kosakata
yang disusun dan diterbitkan Balai Bahasa Kalimantan Selatan. Sebut saja ada kamus Indonesia-Banjar Dialek Kuala,
Kamus Bahasa Banjar Dialek
Hulu-Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia-Dayak Deah (Deyah), dan Kamus Dwibahasa Indonesia-Dayak Halong.
Berikut akan saya paparkan secara singkat kamus-kamus tersebut.
Kamus Indonesia-Banjar Dialek Kuala
Kamus ini disusun dalam waktu yang relatif lama, yakni sejak
2001—2008 dengan beberapa kali pergantian tim penyusunnya dan diterbitkan pada
tahun 2008. Di dalamnya memuat 9.075 lema bahasa Indonesia-bahasa Banjar dialek
kuala disertai contoh penggunaan kosakatanya. Adapun pemimpin redaksinya adalah
Muhammad Mugeni dengan redaksi pelaksana yang terdiri atas Muhammad Mugeni,
Yuliati Puspita Sari, Yuti Mahrita, Rissari Yayuk, dkk. Mereka berlatar
pendidikan bahasa. Di samping itu, ada salah seorangnya, yakni Yuliati Puspita
Sari yang telah mendapatkan pelatihan leksikografi awal dan lanjutan di Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta.
Kamus Bahasa Banjar Dialek Hulu-Indonesia
Berbeda dari kamus kamus Indonesia-Banjar Dialek Kuala, kamus ini disusun lumayan singkat, antara
2007—2008. Selain bersumber dari data-data yang berhasil dikumpulkan di
lapangan, penyusunannya juga bersumber dari kamus bahasa Banjar yang sudah ada,
yakni Kamus Bahasa Banjar-Indonesia Edisi
III yang disusun oleh Abdul Djebar Hapip. Sedang pemimpin redaksi kamus ini adalah Muhammad
Mugeni dan redaksi pelaksana terdiri atas Musdalipah, Siti Akbari, Jahdiah,
dkk.
Kamus Bahasa
Indonesia-Dayak Deah (Deyah)
Ada dua versi penyebutan nama suku Dayak ini, yakni Deah dan
Deyah. Khusus di Kalimantan Selatan, penutur asli bahasa ini mendiami lima buah
desa utama di Kabupaten Tabalong, yakni Desa Kinarum, Pangelak, Kaong, Bilas,
dan Mangkupom. Selebihnya mendiami wilayah Kalimantan Tengah, khususnya di
Kabupaten Barito Timur. Kamus ini memuat
sekitar 4.744 entri yang terdiri atas 3.106 lema dan 1.638 sublema. Ketua penyusunan kamus ini adalah Yuiati
Puspita Sari dengan anggota Musdalipah, Wahdanie Rakhman, dkk. Adapun tahun terbit
kamus ini berangka 2013.
Kamus Dwibahasa
Indonesia-Dayak Halong
Suku Dayak Halong merupakan salah satu Suku Dayak yang
bermukim di berbagai desa dalam wilayah Kabupaten
Balangan (Pegunungan Meratus-nya), Kalimantan Selatan. Kamus ini terbit tahun 2017 dengan memuat 3.458
lema dan 3.036 sublema. Tim penyusunnya terdiri atas Yuliati Puspita Sari, Musdalipah, dkk.
Selain kamus-kamus yang memuat kosakata di atas, di
Kalimantan Selatan juga ada kamus-kamus yang memuat ungkapan. Sebut saja Kamus Pamali Banjar, Kamus Mitos Banjar, dan Kamus Peribahasa Banjar yang ketiganya
disusun oleh Tajuddin Noor Ganie. Bahkan,
ada satu lagi kamus yang jarang ada di dunia, yakni Kamus Mimpi Urang Banjar yang juga disusun olehnya.
Memperhatikan realitas kebahasaan yang demikian adanya,
secara jujur saya merasa prihatin sembari berharap ada upaya yang lebih baik
lagi daripada yang sudah dilakukan. Di samping itu semua, ada yang tak bisa
kita abaikan. Apakah itu? Pencegahan. Kata orang bijak, mencegah lebih baik
daripada mengatasi. Upaya pencegahan ke arah kepunahan tentu lebih baik dan
bijak daripada mengatasi masalah kepunahan bahasa. Hal sederhana yang dapat
kita lakukan dalam pencegahan ini ialah menggunakan bahasa Indonesia, daerah,
dan mungkin asing secara baik, benar, dan santun. Ini merupakan bentuk nyata
pemertahanan bahasa mana pun di dunia.
Sebagai penutup, saya ingin mengatakan satu hal. Bahwa kita semua perlu
mengambil pelajaran dari kasus bahasa Abal seperti tersebut di atas. Karena
ditinggalkan penuturnya, maka eksitensi bahasa tersebut sedang dalam keadaan
yang sangat memperihatinkan. Tentu kita
tidak menginginkan hal serupa terjadi pada bahasa kita, ‘kan?
Sumber foto: koleksi pribadi
Sumber foto: koleksi pribadi
0 comments:
Post a Comment