Mahmud Jauhari Ali
Secara administratif, Kalimantan
Selatan terletak di bagian tenggara Pulau Kalimantan dengan batas-batas, yakni
sebelah utara dengan Kalimantan Timur, sebelah selatan dengan Laut Jawa, sebelah
timur dengan Selat Makasar, dan sebelah barat dengan Kalimantan Tengah (Sam’ani
dkk, 2005:7).
Provinsi ini mayoritas
didiami oleh masyarakat dari suku Banjar. Hal inilah salah satu penyebab bahasa
yang dipakai masyarakat sini pada umumnya juga bahasa Banjar. Memang kita
temukan pula pemakaian bahasa-bahasa lain di daerah ini, seperti bahasa
Bakumpai, bahasa Dusun Deyah, bahasa Ma’anyan, dan bahasa-bahasa Dayak lainnya
di sepanjang Pegunungan Meratus, tetapi pemakaian bahasa-bahasa tersebut
dipakai dalam kelompok masing-masing suku yang bersangkutan saja.
Sebagai contoh, bahasa
Bakumpai dipakai oleh masyarakat suku Bakumpai atau bahasa Ma’anyan dipakai
dalam masyarakat suku Ma’anyan. Berbeda dengan bahasa-bahasa tersebut, bahasa
Banjar merupakan bahasa perantara (lingua pranca) di Provinsi yang
dikenal dengan julukan Bumi Lambung Mangkurat ini. Semua suku yang ada di sini
dapat menggunakan bahasa Banjar. Dengan demikian, masyarakat dari suku Banjar
tidak harus menguasai bahasa dari suku lain jika ingin berkomunikasi dengan
masyarakat dari suku lain tersebut. Misalnya, masyarakat Suku Banjar tidak
perlu menguasai bahasa Bakumpai jika ingin berkomunikasi dengan masyarakat Suku
Bakumpai. Sebab, orang-orang Bakumpai akan menggunaan bahasa Banjar jika mereka
berkomunikasi dengan orang-orang Banjar.
Sebagaimana suku
lainnya, masyarakat Banjar memiliki khazanah sastra yang sudah hidup dan
berkembang sejak dahulu. Media yang digunakan dalam sastra lisan ini juga
menggunakan bahasa Banjar yang terdiri atas puisi, prosa fiksi, dan teater
tradisional. Bentuk puisi dapat berupa mantra, syair, dan pantun. Khusus mantra,
terbagi dalam empat jenis, yakni mantra Banjar jenis tatamba, mantra Banjar
jenis tatulak, mantra Banjar jenis pinunduk, dan mantra Banjar jenis pitua. Sedang
bentuk prosa fiksi dapat berupa mite, legenda, dan dongeng. Contoh bentuk prosa
fiksi yang dapat kita temukan adalah hikayat Lambung Mangkurat. Dan,
salah satu jenis teater tradisonal di Provinsi Kalimatan Selatan yang sampai
hari ini masih dipentaskan, walaupun tingkat frekuensi pementasannya mulai
berkurang adalah mamanda.
Mamanda merupakan salah
satu teater tradisional di Indonesia yang berasal dari Kalimantan Selatan.
Teater tradisional ini dapat kita sebut sebagai salah satu sastra daerah
yang setingkat dengan sastra daerah sejenis di daerah lainnya seperti lenong di
daerah Jakarta dan ketoprak di daerah Jawa. Bahasa yang digunakan
para tokoh dalam pementasan mamanda adalah bahasa Banjar yang hidup dan
berkembang, baik di daerah pesisir, maupun di daerah pedalaman.
Disadari atau tidak, pementasan
mamanda sebenarnya bermanfaat untuk mempertahankan eksistensi pemakaian bahasa
Banjar yang dewasa ini mulai mendapatkan pengaruh luar. Pengaruh yang saya
maksud ialah pemakaian bahasa gaul, bahasa Indonesia, dan bahasa asing di masyarakat
Banjar sendiri. Kita bisa saksikan dan dengarkan betapa bangga sebagian orang
tua menggunakan bahasa Indonesia kepada anak-anak mereka. Padahal mereka orang
asli Banjar dan sedang berkomunikasi di Kalimantan Selatan. Wilayah mereka
sendiri.
Sementara itu, kita
ketahui bersama pula bahwa bahasa Banjar adalah salah satu bahasa daerah yang
harus kita lestarikan eksistensinya. Bahkan, dalam penjelasan pasal 36 UUD 1945
yang menyebutkan bahwa “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”, tercantum dengan
tegas, “Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh
rakyatnya dengan baik-baik, bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara
juga oleh negara” dan “Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan
Indonesia yang hidup”
Adapun istilah mamanda
pada teater mamanda di Kalimantan Selatan itu sendiri ditengarai berasal dari
kata paman. Kata ini merupakan kata sapaan dalam sistem kekerabatan
masyarakat Banjar yang merujuk pada pengertian saudara laki-laki dari ayah atau
ibu. Kata ini direkatkan dengan morfem -nda sebagai sebuah
sugesti kekerabatan atau keakraban dengan orang yang disapa dengan sapaan ini,
sehingga terbentuklah kata pamanda, mamanda, ayahanda yang
mengisyarakatkan keakraban dengan kata sapaan dasar yang dirujuknya. (Jarkasi,
2002:20).
Kata sapaan pamanda
dalam dialog antara mangkubumi kepada wajir saat cerita mamanda dipentaskan
akhirnya sangat dikenal di kalangan masyarakat Banjar. Karena itulah, setiap pementasan teater ini selalu
dikenal masyarakat Banjar dengan nama bamanda atau mamanda.
Masyarakat Banjar tidak menyebut teater ini pamanda karena
kata tersebut lebih merujuk pada kata sapaan saja yang tidak cocok untuk nama
sebuah bentuk seni pementasan. Lama-kelamaan
masyarakat Banjar hanya menyebutnya dengan mamanda dan bukan bamanda
karena afiks ba- dalam kata bamanda lebih
merujuk pada kata kerja.
Sejak dahulu hingga
sekarang bahasa yang sering sekali dipakai dalam pementasan mamanda adalah
bahasa Banjar. Memang ada juga mamanda yang dipentaskan di televisi dengan
menggunakan bahasa Indonesia, tetapi ceritanya menjadi kurang hidup. Hal
ini karena bahasa Banjar merupakan bagian dari budaya Banjar sehingga pemakaian
bahasa Indonesia dalam mamanda kurang dapat memunculkan nuansa dan nilai rasa
budaya Banjar. Kekakuan itu juga disebabkan oleh para pemeran lakon dalam
mamanda yang terbiasa menggunakan bahasa Banjar menjadi kurang lancar dalam
berimprovisasi jika menggunakan bahasa Indonesia, meskipun para pemerannya
menguasai bahasa Indonesia.
Di samping itu
pengunaan bahasa Indonesia dalam pementasan mamanda kurang dapat melestarikan
pemakaian bahasa Banjar. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa hubungan antara
sastra dan bahasa tertentu sangatlah erat dan hubungan keduanya dapat kita
katakan sebagai simbiosis mutualisme (hubungan yang saling
menguntungkan). Hal ini berlaku juga dengan hubungan mamanda dan bahasa Banjar.
untuk lebih jelasnya perhatikan penjelasan saya berikut ini.
Dalam kaitannya dengan
mamanda, bahasa Banjar menjadi unsur penting yang digunakan pemeran mamanda
untuk berkomunikasi dengan dirinya atau pemeran lainnya. Dengan kata lain,
pementasan mamanda memerlukan bahasa Banjar. Di sisi lain dalam mamanda,
bahasa Banjar menjadi unsur yang langsung disentuh masyarakat penonton. Kita
sebagai masyarakat penonton langsung mendengarkan bahasa Banjar dalam
pementasan mamanda. Jika bahasa Banjar adalah bahasa yang digunakan para
pemeran pementasan mamanda, berarti dengan mendengarkan bahasa Banjar dalam
pementasan tersebut masyarakat penonton pun menggunakan bahasa Banjar
secara reseptif. Dengan demikian, bahasa Banjar yang digunakan para pemeran dan
masyarakat penonton dalam pementasan mamanda akan bertambah lestari. Dengan
kata lain kehidupan bahasa Banjar akan bertambah lestari dengan adanya
pementasan mamanda. Jadi, mamanda dan bahasa Banjar saling memerlukan dan
hubungan keduanya saling menguntungkan.
Meskipun demikian, dewasa
ini pementasan mamanda mulai jarang digelar dalam masyarakat Banjar di
Kalimantan Selatan terutama di Kota Banjarmasin. Masyarakat Banjar di
Kalimantan Selatan lebih sering disuguhi tontonan lain seperti, sinetron, acara
dangdut, dan konser music pop. Tontonan-tontonan lain ini lebih diminati sebagian
besar masyarakat Banjar daripada mamanda. Karena itulah, pada saat ini jarang
sekali misalnya dalam acara pesta perkawinan ditampilkan pementasan
mamanda. Sebagian besar masyarakat Banjar modern lebih menyenangi acara dangdut
di pesta perkawinan tersebut. Jika ada acara dangdutan seperti itu, sebagian
besar masyarakat Banjar terutama para pemuda di sekitarnya sangat antusias ikut
bergoyang hingga acaranya selesai.
Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)
0 comments:
Post a Comment