“Kun Fayakun” ; Kata, Makna, beserta
Rujukannya
Mahmud
Jauhari Ali *
Saya sedang membongkar
buku ini. Melepaskan sampul depan, punggung buku, dan sampul belakangnya. Lalu
memisah-misahkan lembar demi lembar kertas yang memuat pendahuluan, isi, serta
penutupnya. Mungkin seperti itulah gambaran dalam otak saudara sekalian, jika
saya katakan lagi membongkar sebuah buku; buku apa saja. Padahal tidaklah
demikian adanya. Ini sama halnya dengan kalimat pendek yang berseliweran setiap
kali menjelang hari raya, semisal saat pertengahan bulan Juni lalu; “Kami
sekeluarga mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1439 Hijriah!” Dalam
gambaran di kepala saya, orang-orang itu bersuara lantang mengujarkan kalimat
tersebut. Tetapi tidaklah demikian, bukan?
Mungkin bisa jadi, dengan terbitnya buku Edisi
Revolusi dalam Kritik Sastra, yang berjudul Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia,
Buku Pertama: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia;
Orang-orang juga memiliki gambaran atau bayangan bahwa penulisnya yang bernama
Nurel Javissyarqi ini membongkar sebuah mitos besar dalam dunia susastra
Indonesia, dengan menggunakan alat-alat khusus. Entah berupa apa wujudnya.
Tapi, sungguhkah seorang Nurel benar-benar membongkar mitos itu?
Saya tidak mau tergesa-gesa menjawab
pertanyaan tersebut. Sebab, kalau saya jawab langsung, itu artinya saya tanya
sendiri, saya jawab sendiri. Sangat tidak asyik, ‘kan? Terlebih buku ini
ketebalannya terdiri atas xii + 570 halaman (cetakan kedua yang saya pegang).
Meski begitu, saya beri sedikit bocoran; dengar-dengar isinya menarik, mulai
dari perkara linguistik, agama, sejarah, sampai filsafat. Karena itulah,
agaknya lebih ideal jika saya mengajak saudara sekalian (khusus yang belum
membacanya) berkenan membaca sendiri buku ini. Syukur-syukur akan ada banyak
diskusi antar pembacanya, seperti membahas perkara dekonstruktivisme dan sebagainya.
Kesan Awal
Pertama kali melihat buku Membongkar Mitos
Kesusastraan Indonesia (MMKI), saya langsung pesimis. Begitu pula saat
melihat-lihat secara selintas bagian dalamnya, pun masih merasakan hal yang
sama. Betapa tidak? Selain bukan bacaan pop yang banyak digandrungi masyarakat
baca, buku ini berupa kumpulan esai sastra. Lantas, berapa banyak yang akan
membacanya? Itulah pertanyaan yang sangat sering muncul di kepala saya.
Terlebih jika dikaitkan pasar, dengan kenyataan itu, juga jumlah halamannya
yang lumayan tebal, sehingga harganya tentu tidaklah murah, maka muncul
pertanyaan lainnya; seberapa banyak orang yang akan membeli buku ini? Mungkin,
seandainya buku ini berisi hal seputar teoritis sastra, contoh buku
“Prinsip-Prinsip Kritik Sastra” karya Rachmat Djoko Pradopo, kemungkinan akan
banyak diburu oleh kalangan kampus sastra. Setidak-tidaknya sebagai bahan
kerangka teori, bagi mahasiswa untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah berupa
kerja kritik sastra.
Agak lama saya berpikir, dan satu hal terbesit
di benak saya; “Nurel cukup ‘gila’ juga di dunia ini (dunia sastra maksud
saya).” Kegilaan di sini tentu bukan gila yang sebenarnya, melainkan dalam
makna positif seperti gila kerja dan lainnya. Jujur saja, saya memang selalu
menghargai sikap orang-orang idealis seperti itu. Mereka berlelah-lelah dalam
menulis, tapi hasilnya minim. Bahkan, bisa dibilang tidak ada yang didapatkan
secara materi, atau malah ‘nombok’ biasanya.
Masih ada kisah-kisah gila lainnya dalam dunia
sastra. Untuk melengkapi perihal ini, saya sebutkan lagi. Siapa? Konon, ada
seorang sastrawan senior yang rela menjual tanahnya, hanya demi menerbitkan
buku-buku puisinya secara indie. Yang lebih gilanya, dia membagikan buku-buku
karyanya itu secara cuma-cuma dalam lingkup nasional. Orang tersebut bernama
Arsyad Indradi, yang bergelar Sang ‘Penyair Gila.’ Dan yang bersangkutan bangga
atas gelar tersebut.
Orang-orang seperti mereka tidak peduli apakah
akan menerima penghargaan sastra atau tidak, tepuk tangan riuh atau sebaliknya,
pun segala tetek-bengek lainnya. Terpenting, berkarya terus berkarya demi
memartabatkan dan mengagungkan Tuhan. Demikian itulah kesan pertama saya
terhadap buku MMKI beserta penulisnya.
Apa yang Saya Cari?
Beranjak dari sana, mulailah muncul pertanyaan
yang lebih spesifik, sebenarnya ini buku apa? Rasa penasaran itu sejurus dengan
metode SQ3R yang dianjurkan Prof. Francis P. Robinson di tahun 1941 silam. Jadi
begini, sepanjang yang saya tahu, dalam teori membaca sebenarnya ada sebuah
metode bernama SQ3R, selain metode-metode membaca lainnya. Menurut beliau, yang
merupakan seorang guru besar psikologi dari Ohio State University, bahwa
menerapkan metode ini dalam membaca, dimulai dengan survei, bertanya (quetion),
barulah baca (read), lantas recite atau mengutarakan kembali, kemudian yang
terakhir review.
Maka, ibarat sedang ingin mengelilingi sebuah
gedung, saya pun idealnya menyiapkan sejumlah pertanyaan tentang gedung.
Misalkan, berapa jumlah pepintu yang ada, apakah semua jendelanya dalam keadaan
baik, dan sebagainya. Jika saya sekadar berkeliling tanpa bawa bekal
pertanyaan, tentu setelah selesai putaran pertama, hanya mendapatkan rasa
lelah, serta ketidaktahuan belaka. Itulah sebabnya, juga bertanya-tanya seputar
buku ini, agar tidak mendapatkan kebingungan terutama saat membaca. Jadi,
membacanya (setelah bertanya-tanya) ialah mencari jawaban-jawabannya.
Kemudian memperhatikan judul dan melihat
ketebalannya, buku ini tampaknya mengandung isi berupa hasil analisis tentang
hal-hal susastra. Maka, beranjak dari situ saya pun bertanya, semua hal itu,
sastrakah? Atau hanya sebagiannya? Dan data yang Nurel analisis tersebut,
berupa apa?
Menjawab Pertanyaan
Dalam buku MMKI dari awal hingga akhir, Nurel
mengupas paragraf awal sampai paragraf keenam esai karya Dr. Ignas Kleden. Agaknya,
Nurel begitu terobsesi terhadap esai tersebut. Inilah yang kemudian memunculkan
tanda tanya tersendiri.
Idealnya, saya pun harus baca esai tersebut
terlebih dahulu, sebelum masuk ke tahap selanjutnya. “Puisi dan Dekonstruksi:
Perihal Sutardji Calzoum Bachri” adalah judul esai yang dibahas Nurel.
Membacanya, terkhusus pada kata “dekonstruksi,” ingatan saya langsung mendarat
ke sebuah nama besar Derrida. Siapakah dia?
Jacques Derrida, dikenal sebagai filsuf yang
mengusung tema dekonstruksi dalam filsafat postmodern. Hal yang paling saya
ingat dari Derrida dalam dunia bahasa, ialah kritiknya terhadap logosentrisme
dan fonosentrisme. Bagi Derrida sendiri, dekonstruksi merupakan suatu peristiwa
yang tak menunggu pertimbangan, kesadaran, organisasi dari suatu subjek, atau
bahkan modernitas.
Itulah sebabnya, dekonstruksi bukan suatu
analisis dan bukan kritik, bukan suatu metode, bukan aksi maupun operasi.
Lantas dekonstruksi seperti apa yang dimaksud oleh Ignas Kleden di dalam
esainya itu, dan siapa pelakunya? Dua jawaban dari satu kalimat tanya itulah
yang menurut saya inti daripada buku ini. Setelah membaca esai tersebut,
ternyata Nurel menganalisis atau setidak-tidaknya membahas tentang kata dan
tata bahasa, yang berkaitan dengan kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri (SCB).
Sedang data-data analisisnya berupa esai Ignas Kleden, Kredo Puisi SCB, Pidato
Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000 oleh SCB, dan Sambutan SCB pada
Upacara Penyerahan Anugerah Sastra Mastera.
Menyelami Perihal Kata dan Tata Bahasa yang
Menjadi Bahan Kajian Nurel dalam MMKI
Dalam Kredo Puisi-nya, SCB terang-terangan
menyatakan bahwa kata adalah pengertian itu sendiri. Menurut SCB, “Kata-kata
harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea.” Sebagai wujud
dekonstruksi bahasa dalam hal kata dan tata bahasa, perihal itu terkesan
biasa-biasa saja. Artinya, tidak menimbulkan kehebohan luar biasa di dalam
masyarakat Indonesia. Terbukti, masyakarat luas di negara ini, tidak gaduh
membicarakan kredonya SCB. Bahkan, kalau kita mau bertamasya keluar dari
hiruk-pikuk dunia sastra untuk berada di tempat umum, banyak orang yang tidak
mengetahui kredo puisi itu. Jangankan tahu tentang kredonya, SCB saja belum
tentu diketahui, apalagi dikenal luas oleh penduduk Indonesia. Dan jika
ditanya, siapakah yang mengenal atau setidaknya tahu SCB, maka jawabannya yang
paling banyak, ya orang-orang di dunia sastra itu sendiri. Jika orang di luar
dunia sastra ada yang tahu SCB, jumlahnya tidaklah seberapa. Ceritanya sangat
berbeda, jika SCB seterkenal Rocky Gerung yang merupakan sarjana sastra dari
universitas terkemuka di negara ini. Sosok Rocky begitu familiar di jagat
Indonesia. Kata-katanya banyak dikutip masyarakat. Nah, lalu mengapa seorang
Nurel membahas Kredo Puisi-nya SCB di buku MMKI? Ini pertanyaan baru, yang juga
perlu kita pahami alasannya.
Semakin mencermati pembahasan Nurel dalam
MMKI, masalah yang dipersoalkan sebenarnya tidak sekadar perkara pembebasan
kata dari penjajahan pengertian itu saja. Begitu pula soal tata bahasa. Akan
tetapi, lebih kepada SCB yang mengaitkan kredonya tersebut dengan Surah Yasin
ayat 82, yakni khusus terhadap terjemahan “Kun Fayakun” ala-SCB. Presiden
Penyair Indonesia tersebut di dalam pidatonya pada acara Anugerah Sastra Dewan
Kesenian Riau Tahun 2000 juga menyatakan; “Pada Mulanya Sang Maha Penyair
berucap, ‘Jadi, maka Jadilah!’ Itulah kata yang paling hakiki dari puisi. Kata
adalah makna itu sendiri. Jadi adalah jadi itu sendiri...”
SCB menerjemahkan “Kun Fayakun” dengan “Jadi
maka jadilah!” Terjemahan ini digunakan, demi memperkuat kredonya, bahwa kata
‘jadi’ ya ‘jadi itu sendiri.’ Seperti kata ‘kursi’ ya ‘kursi’ itu sendiri.
Nurel sangat keberatan dengan hal ini. Dari keberatan itulah, saya menangkap
sebuah pemahaman, bahwa Nurel akan berusaha memperlakukan secara spesial,
memulai pembacaan, kajian, juga kritik terhadap teks-teks yang sejalan dengan
pernyataan Sutardji Calzoum Bachri itu. Salah satu teks yang mendapat perlakuan
spesial itu, esainya Dr. Ignas Kleden, yang enam paragrafnya dibahas dalam buku
MMKI.
Memahami Keberatan Nurel
Dalam hal ini, saya juga idealnya mencoba atau
katakanlah berusaha memahami keberatan Nurel di atas. Setidaknya ada tiga sudut
penglihatan yang saya pergunakan:
Pertama, dari sudut pandang teologi. Setiap orang
Islam yang sejati pasti meyakini al-Qur’an sebagai Kitab Suci. Yakni Kitab Suci
yang diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw melalui Malaikat Jibril.
Kitab ini terjaga kemurniannya. Sebagai salah satu yang wajib diimani,
sekaligus menjadi pedoman hidup yang sempurna bagi setiap muslim. Artinya,
tidak perlulah penambahan ataupun pengurangan dalam ayat-ayat-Nya. Segala yang
termaktub di dalamnya secara otomatis diikuti oleh perkembangan ilmu
pengetahuan hingga akhir zaman. Atau pada perkembangan zamanlah, yang
membuktikan kebesaran dan kebenaran kitab suci umat Islam.
Bahkan, untuk dapat menafsirkan ayat-ayatnya
(sebelum mengamalkannya dalam kehidupan), tidak bisa sembarangan. Perlu adanya
pendekatan serta metode yang tepat, seperti metode tafsir oleh para ahli tafsir
al-Qur’an sejak dulu. Seandainya ada yang menggunakan metode lain yang tidak
tepat, tentu malah mengacaukan penafsirannya. Sebut saja metode hermeneutika,
yang bisa dikatakan tidak cocok untuk menerjemahkan dan menafsirkan setiap
ayat-ayat al-Qur’an. Dalam metode yang sebelumnya digunakan menafsirkan Bibel
ini, semua teks diperlakukan dengan cara sama, sehingga jika dipaksakan akan
mendekonstruksi hukum-hukum dalam Islam. Padahal teks-teks di dalam al-Qur’an adalah
kalam Ilahi yang suci, termasuk penghujung ayat 82 Surah Yasin, yakni “...Kun
Fayakun.”
Dan sebagaimana yang dipahami bersama, “Kun
Fayakun” mengandung dua hal yang seirama. Hal yang satu berlanjut pada perihal
kedua. Kata “Jadilah” merupakan kata perintah dari Allah swt atas segala
sesuatu. Selanjutnya, “maka Jadilah sesuatu itu,” merupakan proses yang semula
belum jadi, wujud atau ada. Dalam hal ini bisa kita pahami sejatinya “Jadilah,”
bukanlah ‘jadi itu sendiri.’ Melainkan sejalan dari perintah “Jadilah,” yang
selanjutnya menjadikan ada atau wujud. Beranjak dari sini, saya dapat memahami
mengapa Nurel begitu keberatan terhadap pernyataan SCB bahwa Jadi adalah Jadi
itu sendiri.
Saya pikir bukan hanya Nurel yang keberatan
seperti itu. Jikalau hal ini diketahui masyarakat luas, tidak menutup
kemungkinan akan berpotensi ada banyak kaum muslim yang keberatan terhadap
terjemahan SCB tersebut. Terlebih, digunakan untuk menguatkan kredo puisinya.
Kedua, dari sudut pandang linguistik. Dalam hal ini
saya tidak bermaksud membuat karya sastra termasuk puisi menjadi “pretel,”
dengan melucutinya lewat analisis linguistik. Melainkan hanya berusaha untuk
dapat memahami keberatan Nurel dalam bukunya.
Suka atau tidak, sebagai manusia tentu kita
tidak pernah bisa lepas dari bahasa, baik bahasa verbal, maupun nonverbal.
Bahkan dalam mimpi pun ada bahasa. Lalu semisal ditanya, apakah sebenarnya
bahasa; mungkin sebagian orang akan menjawab, bahwa bahasa itu alat komunikasi.
Dengan bahasa, kita dapat berkomunikasi antar sesama manusia. Misalnya saya dan
saudara atau saudara dengan orang lain, secara lisan atau tulisan. Tanpa
bahasa, sudah dipastikan akan susah menjalin hubungan apapun, termasuk perihal
kelangsungan hidup manusia. Maka, tak ada yang salah dengan jawaban bahwa
bahasa adalah alat komunikasi.
Akan tetapi, pertanyaan tadi ialah apakah
bahasa, dan bukan apa fungsi bahasa. Pertanyaan itu menuntut jawaban berupa
pengertian yang hakiki dari bahasa, ‘kan? Atau katakanlah berupa hakikat bahasa
itu sendiri. Sedangkan alat komunikasi hanyalah salah satu fungsi dari bahasa.
Kalau kita cermati secara seksama, bahasa
‘dalam hal ini adalah verbal,’ tersusun dari bunyi-bunyi. Maka, bunyi-bunyi itu
ada yang membedakan makna kata, atau dalam istilah fonologi disebut fonem, dan
ada juga yang tidak; dinamakan alafon (variasi bunyi saja). Perhatikan kata
“paku” dan “baku.” Kata pertama memiliki susunan fonem /p/, /a/, /k/, dan /u/.
Lantas susunan fonem dalam kata kedua berupa /b/, /a/, /k/, dan /u/. Adakah
terlihat perbedaan keduanya? Ada, yakni dalam hal bunyi /p/ dan /b/, juga dalam
hal makna. Perbedaan dua fonem atau bunyi itulah yang menyebabkan perbedaan
makna kedua kata tersebut.
Dari dua contoh di atas, kita sudah tahu bahwa
bahasa itu berupa susunan yang bersistem atau beraturan. Kata “paku” misalnya,
memiliki susunan fonem yang beraturan. Bayangkan kalau tidak beraturan, seperti
“kupa” atau “kapu,” apakah memiliki makna dan fungsi? Jawabannya tidak. Begitu
pun dalam tataran sintaksis, semisal kalimat “Budi memakan pisang.” Kalimat itu
bersistem. Mulai dari “Budi, memakan,” lalu disusul kata “pisang.” Coba jika
tidak bersistem; “Memakan Budi pisang” atau “Pisang memakan Budi,” tentu akan
menimbulkan kekacauan makna gramatikal.
Lantas bagaimana bunyi-bunyi yang bersistem
itu muncul? Bahkan, ada banyak ragam bahasa di dunia. Pertanyaan ini berkaitan
dengan benda-benda atau acuan lainnya. Sebut kata “topi.” Kata itu muncul
sebagai simbol dari benda yang dilambangkannya. Sebelum ada benda acuannya,
kata tersebut belum ada. Artinya, ada yang melambangkan dan ada yang
dilambangkan, yakni bahasa sebagai lambang atau simbol dari benda-benda dan
acuan lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat seorang filsuf Jerman pada akhir
abad ke-19, bernama Meinong. Lebih kurang dia mengatakan, bahwa setiap tutur
yang bermakna di dalam kalimat tentulah mempunyai referen (acuan). Kalau tidak,
maka tutur itu tidak akan bermakna, sehingga tentulah istilah itu ada benda
acuannya. Beranjak dari sana, kita paham bahwa ada kata, tentu ada acuannya
(referennya). Dan kita bisa bertanya-tanya; apa hubungan antar keduanya? Apakah
hubungan secara langsung atau sebaliknya?
Menjawabnya, kita kembali ke kata “topi.” Kata
tersebut sama sekali tidak memiliki hubungan langsung dengan acuannya. Untuk
membuktikannnya, marilah kita pikirkan, apakah acuannya berbunyi, semisal
“topi” atau setidaknya mirip dengan bunyi itu? Atau mungkin ada hal lainnya
yang menyerupai bunyi “topi?” sama sekali tidak ada. Maka, kata “topi”
diberikan sebagai nama acuannya itu bersifat mana suka (arbitrer), serta
konvensional oleh masyakarat. Hubungan antar keduanya tersebut tidak secara
langsung, yakni dihubungkan oleh makna. Apa maknanya? Topi bermakna “tudung
kepala,” yang acuannya benda sesuai maknanya. Tanpa adanya makna, tidak akan
terhubung antara kata dan acuannya.
Dengan memperhatian uraian di atas, kita dapat
mengetahui maknawi hakikat bahasa, yakni sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer
dan konvensional. Melalui hakikat itu, maka dapat memahami keberatan Nurel
terhadap Kredo Puisi SCB. Nurel keberatan bahwa kata adalah kata itu sendiri.
Ketiga, dari sudut padang sosial. Bahasa merupakan
sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer juga konvensional. Maka, dengan
sistem itulah manusia dapat saling berkomunikasi satu sama lainnya. Tentu,
selama masyarakat yang bersangkutan memiliki kesatuan ide yang disepakati.
Masyarakat Indonesia misalnya, mereka dapat berkomunikasi satu sama lain, dengan
menggunakan bahasa yang telah disepakati bersama, yakni bahasa Indonesia.
Artinya, masyakarat di negara ini menyepakati setiap kata beserta makna dan
rujukannya masing-masing. Sebut saja kata “topi” pada contoh di atas, merupakan
kesepakatan umum masyakarat Indonesia.
Konsekuensi logis dari realitas tersebut
sangat jelas, bahwa satu kata dalam bahasa Indonesia yang saya dan saudara
gunakan, akan dipahami oleh semua masyarakat bahasa di negara ini. Itulah
sebabnya, kita tidak bisa melepaskan kata dari maknanya. Kalau pun SCB
menyatakan bahwa “kata” harus dibebaskan dari beban makna, hal itu hanya
berlaku bagi dirinya sendiri. Mengapa? Dikarena, setiap kata sudah dipahami
maknanya oleh seluruh masyarakat bahasa Indonesia. Jadi, saya pikir kesia-siaan
belakalah SCB dalam usahanya pembebasan kata dari makna.
Kemudian, meski pun dalam hal puisi dikenal
ada istilah “licentia poetica,” idealnya juga tidak serta-merta membebaskan
kata dari maknanya. Mengapa? Sebab disadari atau tidak, dampaknya bisa fatal.
Mungkin bagian ini terkesan ‘lebay,’ tapi bagaimana jadinya, jika kata-kata
tabu yang dibebaskan dari maknanya, lalu digunakan sesuka hati. Apa efeknya?
Orang-orang yang sudah memahami maknanya tentu akan merasa jijik, malu, atau
malah bisa saja marah. Bahkan dalam hukum kausalitas, ada kemungkinan jadi
penyebab orang mengkhayalkan sesuatu yang tidak pantas. Terlebih lagi, ini
mengkhawatirkan sekali, jika yang membaca itu anak-anak di bawah umur. Sangat
disayangkan isi pesan yang bagus, tetapi disampaikan dengan diksi yang makna
denotasinya kurang pas. Sedang dari realitas empiris, masyakarat bahasa pada
umumnya lebih mengedepankan unsur objektivitas daripada konvensi bahasa itu
sendiri. Misalnya kata “paku” dimaknai secara objektif, sesuai makna denotasinya
dalam tataran semantik.
Itulah sebabnya, jangan heran jika puisi yang
banyak mengandung metafora, personifikasi, atau majas lainnya, akan susah,
bahkan tidak dapat dipahami sebagian masyarakat luas. Dalam hal ini dapat kita
mengerti, masyarakat akan bingung dengan ketidaksesuaian antara kata tertentu
(yang didasarkan pada makna denotasinya), dan kata-kata lainnya. Akibat
lainnya, mereka tidak dapat menikmati puisi dari segi maknanya. Lantas, bagi
masyarakat yang mempertimbangkan adanya makna konotasi yang berkaitan dengan
nilai budaya serta lainnya dibalik makna denotasinya itu, sehingga didapatlah
interpretasi dari puisi yang mereka baca, hal terakhir ini pun menunjukkan
bahwa kata tidak dapat dibebaskan dari maknanya. Ada makna baru yang merupakan
hasil dari interpretasi mereka. Dengan ungkapan lain, dari sisi semiologi, ada
penafsiran yang melahirkan makna-makna lain dari simbol bahasa. Sampai di sini,
saya pun bisa memahami keberatan Nurel dalam bukunya, terhadap Kredo Puisi-nya
SCB.
Sebenarnya, masih bisa kita pergunakan
sudut-sudut pandang lain untuk dapat memahami keberatan Nurel. Karena, Kredo
Puisi SCB terkait perihal bahasa; semisal kata, makna, dan rujukannya.
Sedangkan bahasa pada dasarnya terkait dalam segala hal, termasuk juga
ilmu-ilmu yang mempelajari hal-hal tersebut. Dapat kita katakan pula, secara
keilmuan ada interdisipliner antara linguistik dan ilmu lainnya. Ada
neurolinguistik, ekolinguistik, dan banyak lagi. Bahkan, dalam penghitungan
dialektometri untuk mengetahui sejauh mana perbedaan bahasa satu dan lainnya,
juga memperhatikan kaitan kata, makna, serta rujukannya. Begitu pula
penghitungan leksikostatistik untuk mengetahui presentase persamaan
bahasa-bahasa yang diperbandingkan juga memperhatikan ketiganya itu.
Apa yang Saya Dapatkan?
Kalau ditanya demikian, jawaban saya lebih
daripada satu. Ya, memang ada hal-hal yang saya dapatkan dari MMKI ini. Hal
yang paling kentara ialah perkara “kata” yang dipersoalkan Nurel dalam esainya
Ignas Kleden. Sebut saja kata “menerobos” yang dinilai oleh Nurel tidaklah
tepat digunakan di dalam esai tersebut. Bagi Nurel, penggunaan kata itu
merupakan upaya Ignas untuk meyakinkan pembaca, bahwa kata “membebaskan” (dari
Kredo Puisi-nya SCB) sama dengan kata “menerobos.” Di lihat dari sisi mana pun,
kita akan membenarkan bahwa kedua kata itu memiliki makna yang berbeda. Contah,
dapat kita perhatikan perbedaan makna keduanya di atas mengganti kata
“menerobos” dengan kata “membebaskan,” sebagai konstituen di dalam kalimat
berikut ini:
Seekor burung menerobos sangkarnya.
Seekor burung membebaskan sangkarnya.
Dari dua contoh kalimat di atas, jelas
perbedaan makna kedua “kata” tersebut. Kalimat pertama dapat dimaknai, bahwa
ada seekor burung mendobrak atau menembus sangkarnya. Sedangkan kalimat kedua,
bisa dimaknai adanya seekor burung yang melepaskan sangkarnya dari suatu
kungkungan (mungkin lepas dari ruangan yang pengap). Dengan perbedaan makna
itu, kata “menerobos” tidak bisa digunakan untuk mewakili atau menggantikan
kata “membebaskan.” Jadi, substitusi tidak berlaku dalam hal ini.
Kemudian perihal alibi. Nurel secara panjang
lebar mengulas kata “alibi.” Kata itu terdapat di dalam kalimat SCB “Puisi
adalah alibi kata-kata.” yang dikutip Ignas Kleden dalam paragraf kedua
esainya. Lagi-lagi Nurel Javissyarqi tidak sependapat dengan Sutardji Calzoum
Bachri mengenai hal itu. Jikalau puisi adalah alibi kata-kata, berarti ketika
kata-kata sudah ada dalam puisi, bebaslah dari beban makna. Maka, penyair pun
bebas dari tanggung jawab atas diksi yang digunakan dalam puisinya. Dengan
demikian, akan menjadi masalah di masyarakat, seandainya segala kata yang
termasuk kata-kata tabu digunakan penyair sebebas-bebasnya.
Selanjutnya, saya juga mendapatkan pengetahuan
dari Nurel melalui bukunya. Khusus tentang ini terlalu panjang jika saya
kisahkan ulang. Sebab, Nurel kadang juga bercerita dalam bukunya, atau dari
kekisah itulah ada pengetahuan yang dia tuliskan. Selebihnya, saya mendapati
semangat menulis esai ini, meski hasilnya tentu jauh dari yang diharapkan. MMKI
seperti saya sebutkan di bagian awal, merupakan buku yang bisa dikatakan proyek
idealis. Artinya, ini buku secara jujur saya katakan ada kemungkinan susah lakunya
di pasaran. Dan semangat Nurel menuliskannya, menjadikan motivasi tersendiri
bagi saya dalam menuliskan esai ini.
Simpulan
MMKI merupakan sebuah buku yang berisi
kumpulan esai karya Nurel Javissyarqi. Esai-esainya berisi kajian terhadap enam
paragraf awal dari esai Dr. Ignas Kleden tentang Kredo Puisi Sutardji Calzoum
Bachri. Yang setiap paragraf dari esai Ignas itu dikaji secara mendalam
olehnya. Dan inti dari kajian tersebut mengenai perihal SCB yang membebaskan
kata dari makna.
Dalam kajiannya, Nurel melengkapi dengan hal
lainnya, semisal fakta sejarah, agama, sampai filsafat. Khusus dalam persoalan
agama, dia melengkapinya dengan ayat-ayat al-Qur’an. Sebuah keyakinan bagi
orang-orang Islam yang tidak agnostik. Itulah sebabnya, membaca buku MMKI perlu
tenaga lebih untuk dapat bersabar, sehingga tidak terburu-buru meninggalkannya.
Dengan kata lain, perlu waktu-waktu yang cukup dalam pembacanya.
Akhirnya saya pun berharap, terlepas dari
kelebihan dan kekurangannya, MMKI menjadi salah satu buku yang layak untuk
dibaca sekaligus didiskusikan oleh masyarakat Indonesia. Entah dia praktisi
susastra, akademisi sastra, linguis, atau lainnya. Semoga, apa yang telah saya
tuliskan ini menggenapi manfaat, amin. Wassalam…
Banjarmasin 18/8/2018
*) Mahmud Jauhari Ali (MJA) lahir di
Banjarmasin, 15 Januari 1982. Tulisan-tulisanya pernah dimuat surat kabar
harian, majalah, tabloid, jurnal ilmiah, dan beberapa laman kebahasaan juga
kesastraan. Laman pribadinya www.mahmud-bahasasastra.blogspot.com Laman itu pula yang
mengantarnya jadi Juara II Tingkat Nasional dalam Lomba Blog Kebahasaan dan
Kesastraan, yang diselenggarkan Pusat Bahasa (Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa), Jakarta dan Balai Bahasa Bandung tahun 2009. Buku-buku karangan
tunggalnya yang telah terbit adalah; Lingkar Kata, Kupu-Kupu Kuning, Demi
Pernikahan Adik, Menanti Tamu Lebaran, Bulan di Padang Lalang, Imanku
Tertelungkup di Kakinya, Lelaki Lebah, Selia, Cinta di Tepi Geumho, Kudekap
Hatinya di Bawah Langit Seoul, Galaupolitan, Sebait Cinta di Bawah Langit
Kairo, My Love Is A White Hacker, Cinta di Tepi Gaza, The Sweetest Heart, A
True Love in Baghdad, The Miracle of Love, My Restaurant, My Love, and My
Future, Pahari, Dear Coboy Junior: Wait Me in Your Concert, Dear Coboy Junior
(2): I Will Always Support You, Teror Tengah Malam, Ganteng-Ganteng Setan,
Pacar ke-13, 13 Kisah Horor di Asrama, dan 13 Kisah Horor Malam Jumat Kliwon.
Pernah juga sebagai editor dalam kumpulan cerpen “Senja di Teluk Wondama,” yang
memuat 11 cerpen pilihan bertema bahasa dari seluruh Indonesia.
Salah satu hasil kerjanya sejak 2006 bersama
para pakar leksikostatistik dan dialektometri telah dijadikan sebuah Peta
Bahasa resmi di Indonesia tahun 2008. Karya-karyanya dimuat dalam beberapa
antologi bersama: Di Merah Fajar Esok Pagi (Komunitas Sastra Indonesia Cab.
Kertak Hanyar), Risalah Penyair Gila (antologi esai bersama Ahmadun Yosi
Herfanda, dkk), Doa Pelangi di Tahun Emas (antologi puisi Aruh Sastra 2009 bersama
Arsyad Indradi, dkk), Menyampir Bumi Leluhur (antologi puisi Aruh Sastra 2010),
Menjaring Cakrawala (antologi puisi bersama Isbedy Stiawan ZS, dkk), Kalimantan
dalam Puisi Indonesia (antologi puisi Dialog Sastra Se-Borneo -Indonesia,
Malaysia, dan Brunei Darussalam bersama Korrie Layun Rampan), Akulah Musi
(antologi puisi Pertemuan Penyair Nusantara V 2011 -Indonesia, Malaysia, Brunei
Darussalam, Singapura, dan Thailand), Seloka Bisu Batu Benawa (antologi puisi
Aruh Sastra 2011), Beranda Rumah Cinta (antologi puisi bersama Dimas Arika
Mihardja, dkk), Tuah Tara No Ate (antologi sastra Temu Sastrawan Indonesia IV,
Ternate 2011), Suara 5 Negara (antologi puisi bersama perwakilan penyair lima
negara di Asia Tenggara), Sungai Kenangan (antologi puisi Aruh Sastra
Kalimantan Selatan 2012), dan Sauk Seloko (antologi puisi Pertemuan Penyair
Nusantara VI 2012 -Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan
Thailand).
Makalahnya berjudul “Bahasa Indonesia, Film
Nasional, dan Generasi Bangsa” dimuat di majalah Nawala, Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Jakarta 2008. Pada tanggal 16-18 Mei 2008, menjadi pemakalah
dalam Seminar Bahasa Nasional di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ia
diundang oleh pihak Universiti Malaysia Sarawak untuk menjadi pembentang /
pemakalah dalam Konferensi Antar universiti Se-Borneo IV, tahun 2008
(makalahnya bertitel “Peranan Mamanda terhadap Eksistensi Bahasa Banjar”). Dan
dalam Kongres Bahasa tahun 2008, makalahnya berjudul “Mantra Banjar: Bukti
Orang Banjar Mahir Bersastra Sejak Dahulu.” Makalah itu juga diterima dalam
Persidangan Seni Kebangsaan tahun 2009 di Universiti Malaysia Sabah, kemudian
dimuat dalam Jurnal Meta Sastra, Bandung.
Sebagian karyanya dijadikan bahan penelitian
dan skripsi: Konsistensi Keimanan Tokoh Utama pada Novel Sebait Cinta di Bawah
Langit Kairo Karya Mahmud Jauhari Ali dengan Novel Bumi Cinta Karya
Habiburrahman El Shirazy, Suatu Kajian Bandingan (Beta Puspa Sari, FKIP,
Universitas Bengkulu), Religiusitas Tokoh Utama dalam Novel Sebait Cinta di
Bawah Langit Kairo Karya Mahmud Jauhari Ali Suatu Tinjauan dari Sudut Pandang
Psikologi Agama (Ireb Intan Putri, Hasnul Fikri, dan Dainur Putri, Jurnal FKIP,
Universitas Bung Hatta), Konsep The 7 Islamic Daily Habits dalam Novel Pahari
Karya Mahmud Jauhari Ali (Nailiya Nikmah, Jurnal FKIP, Universitas Negeri
Borneo, Tarakan), Analisis Kajian Semiotik dalam Novel Sebait Cinta Di Bawah
Langit Kairo Karya Mahmud Jauhari Ali (Mawaddah Warohmah Azhari, FKIP,
Universitas Islam Riau), Analisis Psikologis Tokoh dalam Novel Sebait Cinta di
Bawah Langit Kairo Karya Mahmud Jauhari Ali (Hendra Jayadi, STKIP PGRI
Banjarmasin), Kajian Etnografi Terhadap Novel Sepasang Matahari Karya Mahmud
Jauhari Ali (Rahmayana, STKIP PGRI Banjarmasin), Kritik Sastra Feminis dalam Novel
Cinta di Tepi Gaza Karya Mahmud Jauhari Ali (Jonika, STKIP PGRI Banjarmasin),
Nilai-nilai Moral pada Novel Sebait Cinta di Bawah Langit Kairo Karya Mahmud
Jauhari Ali (Izzatul Yazidah, STKIP PGRI Banjarmasin), Warna Lokal Kalimantan
dalam Novel Lelaki Lebah Karya Mahmud Jauhari Ali (Julia Ellysa, STKIP PGRI
Banjarmasin), Nilai Moral dalam Kumpulan Cerpen Imanku Tertelungkup di Kakinya
Karya Mahmud Jauhari Ali (Yuli Annisa, STKIP PGRI Banjarmasin), Analisis
Konflik Tokoh dalam Novel Sebait Cinta di Bawah Langit Kairo Karya Mahmud
Jauhari Ali (Rina Wulandari, FKIP, Universitas Islam Riau), dll….
0 comments:
Post a Comment