Tajuddin
Noor Ganie
Pada
zaman prasejarah pakaian berfungsi sebagai pelindung tubuh manusia dari
sengatan panas matahari, hawa dingin yang menusuk tulang, gigitan binatang
berbisa, terkena miang yang membuat kulit menjadi gatal-gatal, dan terkena
tusukan duri atau benda-benda tajam lainnya.
Pakaian
manusia pada zaman prasejarah itu dibuat dari bahan-bahan yang relatif
sederhana, tapi proses pembuatannya sangat sulit sehingga harus dibuat dalam
waktu yang relatif lama, seperti kulit kayu, kulit binatang, serat, dedaunan,
dan akar tumbuh-tumbuhan.
Alat
yang dipergunakan untuk membuat pakaian juga sangat sederhana, seperti alat
pemukul yang dibuat dari batu atau kayu dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang
Sulteng menyebut alat ini fuya,
sementara orang Papua menyebutnya capo.
Teknologi
pembuatan pakaian dari bahan kapas sudah mulai dikenal di India sejak 1500 SM. Pembuatan
pakaian dengan bahan kapas inilah yang di kemudian hari melahirkan teknik kria
ikat celup dalam proses pembuatan gambar dengan corak dan warna pada sehelai
kain.
Farid
Abdullah (2003) dalam tulisannya di SKH Kompas
Jakarta memaparkan bahwa teknik kria ikat celup sebenarnya sudah dikenal orang
sejak tahun 906-618 SM.
Penetapan
itu didasarkan pada perkiraan usia atas sejumlah artefak kain sutra di ruang
bawah di banyak tempat di daerah Astana dan Khotan, Shenkiang, Turkistan
Selatan (Kria Ikat Celup dalam Ruang dan Waktu, SKH Kompas Jakarta, 17 Agustus 2003).
Kota
Shenkiang ketika itu berada di bawah kekuasaan Dinasti T’ang. Dari sini, kain
sutra yang sudah diberi gambar dengan corak dan warna yang khas (disebut kain Kokichi) kemudian dijual sebagai barang
ekspor yang berharga mahal ke India, Timur Tengah, dan bahkan sampai ke Italia
melalui jalur sutra yang sudah mulai terbuka ketika itu.
Masih
pada zaman Dinasti Tang, teknik kria ikat celup kain ini menyebar-luas sampai
ke Jepang. Pada masa pemerintahan Nara (794-552 SM) sudah dimulai tradisi
pembuatan kain Yuhata yang teknik
pembuatannya sama dengan teknik
pembuatan kain Kokichi. Yu artinya ikat dan hata atinya kain (Abdullah, 2003:idem). Boleh jadi kain Yuhata inilah yang baru-baru ini diklaim
sebagai kain sasirangan Jepang itu.
Di
India, tepatnya di Ajanta, teknik kria ikat celup kain ini melahirkan tradisi
pembuatan kain Bandana atau Badhana. Berbeda dengan Ko Kichi dan Yuhata yang dibuat dari kain sutra, kain Bandana di India dibuat dari kain katun. Disebut kain Bandana atau Badhana karena orang yang membuatnya adalah para wanita bersuku
bangsa Bandhani.
Konon,
demi memudahkan pekerjaan sebagai pembuat kain Bandana atau Badhani,
para wanita suku Bandhani sengaja
memanjangkan kuku-kuku jari tangannya. Tradisi pembuatan kain Bandana atau Badhana ini sudah dilakukan sejak zaman India purba. Hal ini
terbukti dari adanya lukisan tentang hal ini di goa Ajanta, India.
Selain
di Ajanta, kain sejenis Bandana atau Badhani ini juga diproduksi di Rajastan,
Gujarat, Bombay, Hindustan, Koramandel, Sindh, dan Hyderabat. Bermula dari
kota-kota inilah teknik kria ikat celup kain ini menyebar-luas ke seluruh
kawasan Asia Tengah dan Asia Tenggara.
Di
Asia Tenggara, kain ikat celup dikenal sebagai kain pelangi. Para pembuatnya
antara lain suku bangsa Moon (Thailand), dan suku bangsa Cham (Kamboja). Teknik
kria ikat celup mulai dikenal di tanah air kita sejak ditemukannya teknologi
pembuatan kain tenun pada masa Neolitikum sekitar 3.000 tahun yang lalu. Hal
ini dibuktikan dengan ditemukannya benda-benda prasejarah berupa alat tenun dan
alat tera di situs-situs purbakala seperti Gilimanuk, Melolo, Sumba Timur,
Gunung Wingko, dan Yogyakarta (Halimi, 2007). Bukti lain, gambar manusia dan
bahkan kera pada relief-relief di Candi Borobodur dan Candi Prambanan sudah
digambarkan sebagai makhluk hidup yang mengenakan pakaian yang terbuat dari
kain.
Cerita
rakyat Dayang Sumbi dan Sangkuriang tak pelak lagi juga merupakan bukti yang
berkaitan dengan adanya kegiatan pembuatan kain di Tanah Pasundan pada zaman
dahulu kala (Halimi, 2007).
Selain
itu, pada sejumlah prasasti Jawa kuno juga ada dituliskan sejumlah istilah yang
berkaitan erat dengan kegiatan pembuatan kain tenun, seperti
1.
Istilah kalambi yang artinya baju pada Prasasti
Karang Tengah (847 M),
2.
Istilah makapas artinya pedagang kapas pada
Prasasti Singosari (929 M)
3.
Istilah makapas artinya pedagang kapas pada
Prasasti Cane (1021 M)
4.
Istilah pawdikan yang artinya penenun pada
Prasasti Baru (1034)
(Halimi,
2007).
Merujuk
kepada paparan yang ada di dalam Hikayat
Banjar (selesai ditulis tahun 1728), kain sasirangan sudah dikenal orang sejak tahun 1355. Ketika itu kain sasirangan disebut kain langgundi, yakni kain tenun berwana
kuning. Namun, sudah barang tentu kain langgundi
yang dibuat pada kurun-kurun waktu dimaksud (tahun 1355) sudah tidak
mungkin ditemukan lagi artefaknya.
Menurut
laporan Wulan (2006), kain sasirangan
yang paling tua berusia sekitar 300 tahun. Kain sasirangan ini dimiliki oleh Ibu Ida Fitriah Kusuma salah seorang
warga kota Banjarmasin.
Ketika
Empu Jatmika berkuasa sebagai raja di raja di Kerajaan Negara Dipa pada tahun
1355-1362. Kain langgundi merupakan
kain yang digunakan secara luas sebagai bahan untuk membuat busana harian oleh
segenap warga negara Kerajaan Negara Dipa. Hikayat Banjar memaparkan secara
tersirat bahwa di kawasan yang sekarang ini dikenal sebagai pusat kota Amuntai
banyak berdiam para pengrajin kain langgundi.
Keterampilan membuat kain langgundi
ketika itu tidak hanya dikuasai oleh para wanita yang sudah tua saja, tetapi
juga dikuasai oleh para wanita yang masih gadis belia. Paparan ini menyiratkan
bahwa kain langgundi ketika itu
memiliki pangsa pasar yang besar. Jika tidak, maka sudah barang tentu tidak
akan banyak warga negara Kerajaan Negara Dipa yang menekuninya sebagai
pekerjaan utama.
Bukti
bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para pembuat kain langgundi adalah paparan tentang
keberhasilan Lambung Mangkurat memenuhi permintaan Putri Junjung Buih sebagai
syarat kesediaannya untuk dijadikan raja putri di Kerajaan Negara Dipa. Menurut
Hikayat Banjar, Putri Junjung Buih ketika itu (1362) meminta Lambung Mangkurat
membuatkan sebuah mahligai megah yang harus selesai dikerjakan dalam tempo satu
hari oleh 40 orang tukang pria yang masih perjaka.
Selain
itu, Putri Junjung Buih juga meminta Lambung Mangkurat membuatkan sehelai kain langgundi yang harus selesai ditenun dan
dihiasi dalam tempo satu hari oleh 40 orang wanita yang masih perawan.
Kata Putri Tunjung Buih :
“Aku tiada mau diam di dalam candi itu, karana
bakas barhala. Sida manyuruh maambil batung batulis di gunung Batu Piring itu
ampat kayu itu akan tihangnya. Buatkan aku mahligai tampatku diam. Jadikan
sahari ini jua itu.
Maka aku suruh parbuatkan tapih kuning, panjangnya
tujuh hasta, libarnya tujuh kilan, buatkan jadi sahari ini jua akan tudungku
naik ka mahligai itu. Anak dara ampat puluh yang mambuatnya itu, jangan orang
yang sudah balaki.”
Sudah itu hari pun siang, sahut Lambung Mangkurat
:
“Baiklah tuanku.”
(Ras,
1968 : Baris 725-735, Hikajat Bandjar)
Terjemahan
bebas
Kata Putri Tunjung Buih :
“Aku tidak mau bertempat tinggal di dalam candi
yang sudah ada, karena candi itu pernah dijadikan sebagai tempat meletakkan
patung yang diberhalakan.
Aku memerintahkan engkau menebang empat batang
pohon betung bertulis yang tumbuh di Gunung Batu Piring.
Lalu dirikanlah buatku sebuah mahligai tempatku
bertahta. Mahliugai itu harus selesai dibangun dalam tempo satu hari oleh 40
orang tukang laki-laki yang kesemuanya masih perjaka.
Selain itu, buatkan pula sehelai kain berwarna
kuning yang panjangnya tujuh hasta dan lebarnya tujuh kilan. Kain itu harus selesai
ditenun dalam tempo satu hari oleh 40 orang penenun wanita yang kesemuanya
masih perawan.
Aku akan menjadikan kain itu sebagai penutup
tubuhku ketika naik ke darat menuju ke mahligai.
Setelah itu hari pun siang. Lambung Mangkurat
menyahut titah itu dengan takzimnya:
“Baiklah tuanku.”
(Ras,
1968 : Baris 725-735, Hikajat Bandjar)
Semua
permintaan Putri Junjung Buih itu dapat dipenuhi dengan mudah oleh Lambung
Mangkurat. Paparan ini menyiratkan bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak
berdiam para tukang pria yang masih perjaka, dan para penenun wanita yang masih
perawan. Jika tidak, maka sudah barang tentu Lambung Mangkurat tidak akan mampu
memenuhi semua permintaan Putri Junjung Buih.
Agaknya
perlu dijelaskan bahwa sesuai dengan situasi dan kondisi zamannya, para tukang
(pandai kayu) dan penenun (pandai benang) ketika itu menempati posisi yang
sangat terhormat dalam stratifikasi sosial di Kerajaan Negara Dipa. Posisi
mereka sama terhormatnya dengan para empu penempa besi (pandai besi), yakni
termasuk dalam strata kaum teknorat yang cerdik pandai.
Keberadaan
pandai besi, pandai kayu, dan pandai benang dalam jumlah yang relatif banyak di
Kerajaan Negara Dipa merupakan bukti implikatif yang menunjukkan statusnya
sebagai kerajaan dengan kemampuan teknologi yang relatif tinggi.
Pada
hari yang telah disepakati, naiklah Putri Junjung Buih ke alam manusia
meninggalkan alam gaib yang menjadi tempat persemayamannya selama ini yakni
suatu tempat yang terletak di kedalaman Sungai Tabalong. Ketika itulah warga negara
Kerajaan Negara Dipa melihat Putri Junjung Buih tampil dengan anggunnya.
Pakaian kebesaran yang dikenakannya ketika itu tidak lain adalah kain langgundi warna kuning hasil tenunan 40
orang penenun wanita yang masih perawan.
Sejak
itu, warga negara Kerajaan Negara Dipa tidak berani lagi mengenakan kain langgundi. Mereka khawatir akan kualat
karena terkena tulah Putri Junjung Buih yang sejak itu menjadi raja putri
junjungan mereka. Akibatnya, para pengrajin kain langgundi tidak lagi membuatnya secara massal dalam jumlah banyak.
Mereka hanya membuat kain langgundi sekadar
untuk memenuhi keperluan sandang bagi kalangan bangsawan saja.
Sehubungan
dengan itu, maka di kemudian hari dikenal istilah lain yang digunakan untuk
menyebut kain langgundi, yakni kain pamintan. Bahasa Banjar artinya kain
yang dibuat hanya berdasarkan atas permintaan saja.
Sumber gambar: koleksi pribadi
0 comments:
Post a Comment