Cerpen
Akhmad Zailani
ANGIN malam masih mengalun lembut bersama-sama suara-suara
malam. Keheningan menyambar di segenap lingkungan. Sunyi menusuk-nusuk, makin
menambah sunyilah perasaan wanita tua itu. Dia membuka jendela. Dibiarkannya angin
malam berebutan masuk. Dia ingin bercanda dan bercumbu sepuas-puasnya bersama
malam. Langit di luar kontras sekali dengan ruangan kamarnya yang serba putih.
Wanita tua itu membuang pandangannya ke langit. Nampak mata tua
yang lelah dan kosong. Suasana malam makin membuat larut lamunan wanita tua
itu. Lamunan wanita usia tujuh puluh limaan lebih itu larut bersama angin,
melintas bersama bintang-bintang malam, bersama langit yang hitam.
“Bintang Margono…,” suara batin wanita tua yang rambutnya lebih
banyak warna putih dibandingkan warna hitam yang menghiasi kepalanya itu
kembali berkata-kata sendiri. “Aku merindukanmu saat ini, anakku. Kamu pasti
merindukan ibu bukan? Aku ingin memelukmu, Bintang.”
“Kamu memang anak ibu yang gagah. Kamu masih ingat ketika ikut
berbaris di belakang peleton-peleton infantri. Kamu dengan senapan kayumu, dan
tanpa baju. Kamu juga pernah melempar genteng rumah Mayor Verdomme, bersama
dengan anak-anak sepermainanmu. Kamu menganggap batu-batu itu adalah granat.
Kamu nakal Bintang dan ibu bangga itu.”
“Saya baru saja menggempur markas Belanda, bu,“ katamu waktu
itu. Padahal kamu habis melempari rumah Mayor Verdomme, yang artinya dalam
bahasa Indonesia 'terkutuklah kau'.
Kamu memang bandel, Bintang. Dan itulah yang ibu suka. Kamu juga
masih ingat dengan rengekkanmu yang selalu ingin ikut ayahmu berjuang. Kamu
masih ingat itu, Bintang. “Aku ingin ikut pula mengusir penjajah, yah…,”
katamu. Bintang…Bintang usiamu kan saat itu belumlah tujuh tahun!
Kamu memang gagah seperti ayahmu, Bintang. Ayahmu Sersan Margono
Jaya Poetra adalah pejuang patriot sejati yang gugur di medan pertempuran. Ah,
kenangan itu selalu bermain-main dibenak ibu, Bahri. Kita yang selalu mengungsi
dari desa ke desa atau terkadang ke tengah hutan. Kita yang selalu makan apa
adanya yang bisa dimakan buat mengganjal perut untuk hidup demi
perjuangan. Ibu rindu dengan kenangan itu Bintang. Ibu rindu dengan pekik-pekik
suara merdeka. Dan ibu rindu pada suaramu, Bintang. Suara kecil yang
meneriakkan dengan lantang pekik merdeka. Ah, kenangan-kenangan itu begitu
manis. Begitu indah untuk dikenang kembali. Kenangan ibu ketika pertama kali
bertemu dengan ayahmu pun tak akan pernah bisa ibu lupakan. Kenangan itu telah
terbingkai pada hati ibu, Bintang. Pada pikiran dan ingatan ibu.
Kamu tahu, Bintang? Perkenalan ibu dengan ayahmu di dapur umum.
Ibu bertugas memasak dan menyediakan makanan untuk para pejuang. Dan salah satu
pejuang itu adalah ayahmu. Ah, mata ayahmu bagaikan elang, Bintang. Dia selalu
memperhatikan ibu. Ibu jadi salah tingkah dibuatnya. Ayahmu memang pejuang yang
gagah berani, tak takut mati. Tapi dia takut pada perempuan, Bintang. Dia
sangat pemalu, tapi ibu sangat memakluminya.
Ah, kurasa kamu tak perlu tahu, Bintang. Kalau ayahmu menyatakan
cinta lewat seorang temannya, sebagai penghubung. Ayahmu bukanlah seorang
pengecut. Dia adalah seorang pejuang sejati yang gugur di medan pertempuran.
Dan setelah itu ibu juga menyambut cinta ayahmu. Beberapa bulan kemudian
ayahmu melamar ibu, Bintang. Perkawinan kami dalam suasana perjuangan.
Sangat sederhana sekali. Perkawinan ibu dan ayahmu di antara desingan dan
dentuman peluru dan bom. Dan dalam suasana itulah kamu lahir, Bintang.
Suara-suara peluru dan bom-bom yang dijatuhkan dari pesawat tempur seakan turut
menyambut kehadiranmu, anakku. Suara-suara merdeka bersamaan dengan jeritan
tangismu. Jeritan tangismu nyaring, Bintang. Mengalahkan suara-suara peluru,
suara-suara granat, suara-suara bom. Ayahmu senang sekali. Anak laki-lakinya
telah lahir. Ah, kenangan itu terlalu manis dan tak sangup ibu melupakan itu
semua.
Bintang… anak laki-laki ibu yang gagah, kamu merindukan ibumu
saat ini, bukan? Kamu menyayangi ibumu, bukan? Pertempuran-pertempuran melawan
penjajah terus berlangsung di mana-mana. Berjuang untuk kemerdekaan, bintang.
Untuk kebebasan yang membelenggu diri kita. Tubuh-tubuh tanpa nyawa telah
banyak bergelimpangan. Darah-darah ikut pula mewarnai kemerdekaan. Penjajah
harus diusir kan, Bintang? Penjajah dalam bentuk apapun.
Tangisan-tangisan anak-anak yang kehilangan ayahnya sudah biasa
terdengar dimana-mana. Nyawa-nyawa terasa begitu tak berharga. Penjajah memang
kejam, Bintang. Apakah kamu tahu pertempuran di Surabaya, di Bandung, di
Yogyakarta dan di kota-kota lainnya di Indonesia. Kamu masih ingat itu, Bintang.
Kamu tahu artinya mayat-mayat itu, Bintang? Kamu tahu artinya tulang-tulang dan
darah-darah itu, Bintang? Perang memang kejam, Bintang. Dia bisa
menginjak-injak kepala kita. Memborgol tangan dan kaki kita hingga sulit
bergerak. Hingga kita tak bisa berbuat apa-apa. Dan perang pula yang
menghancurkan harapan-harapan kita. Bintang, anak ibu yang gagah. Ibu ingin
mendekap dan mencium kamu saat ini.
***
BINTANG Margono sedang duduk di kursi dalam ruangan ber-AC. Dia
menyandarkan kepalanya pada sandaran kursinya yang mewah. Dia menghisap kembali
rokoknya. Dan asap kembali mengepul-ngepul. Dia memperbaiki dudukannya,
perutnya yang buncit ikut bergerak dan kedua kakinya kini terletak di atas meja
di hadapannya.
Kini kepalanya pusing. Baru kali ini dia tak bisa tidur.
Biasanya jam-jam begini dia tidak berada lagi di sini, di kantornya. Kepalanya
pusing, dia tersangkut masalah dengan seorang cukong kenalannya. Karena
katebelece! Bintang Margono. Kepala dia pusing tujuh keliling, kini.
Biasanya, sebagai seorang pejabat pemerintahan, Bintang Margono sering
membuat pusing orang. Tapi kini dia pusing, jabatannya terancam. Jabatan,
pangkat dan uang. Hanya itu sekarang yang ada dalam pikirannya. Tidak ibunya.
***
ANGIN malam yang membawa dingin merangkul wanita tua itu. Tapi
dia tak perduli. Matanya yang kosong terus menatap kelangit, seolah-olah
Bintang Margono, anaknya berada di sana. Memang, saat itu lamunannya sedang
bermain-main di sana.
“Bintang, anak ibu yang gagah…,” suaranya kini benar-benar
keluar dari mulutnya.
“Ibu rindu akan semangatmu yang dulu. Ibu rindu pekik merdeka-mu
dulu,” mata wanita yang lelah itu teru menatap ke langit. Hanya di langit ada
cahaya. Malam yang pekat semakin pekat. Angin malam dan suara malam masih
mencumbui dan bercanda dengannya.
“Apa kabarmu, Bintang?” suara wanita tua itu lagi. “Ibu rindu
kamu. Ibu ingin memelukmu. O, ya Bintang. Bagaimana dengan cita-citamu, kamu
ingin menjadi pembela yang lemah, kamu ingin membantu orang kecil? Bagaimana,
Bintang? Apakah cita-citamu kini sudah berhasil?” suara wanita tua itu. Menggumam
dia. Karena kerinduan seorang ibu? “Bintang, anak ibu yang perkasa, kamu
ingat ibumu bukan? Ibu yang melahirkan kamu. Ibu yang mencintai kamu. Oh,
Bintang di mana pun kini kamu berada semoga kamu ingat ibu.”
Wanita tua itu masih di situ, di depan jendela yang menganga.
Tak ingin sedikit pun dia beranjak dari situ. Tak ada tanda-tanda untuk
beranjak. Padahal angin malam bukanlah sahabat yang baik.
***
BINTANG Margono kembali menyulut rokoknya. Padahal di situ
jelas-jelas ada tulisan, Dilarang Merokok.
Tapi dia tak perduli, karena dia pimpinan kantor itu. Sehabis mengembuskan asap
rokoknya, Bintang Margono tersenyum sendiri. Lalu dia mengangkat telepon.
Mengapa harus pusing-pusing semuanya bisa diatur, pikirnya. Dia masih punya
taring dan cakar. Dia masih menggunakan itu, mengapa harus pusing, pikirnya.
Bukankah masih banyak kenalan-kenalannya. Sehabis menelepon, Bintang Margono
kembali meletakkan horn telepon. Dia ingin pulang. Dia ingin tidur bersama istrinya.
Yang cantik malam ini. Dia tidak ingin ke rumah Marsa Wulandari, sekretarisnya
yang aduhai itu. Biarlah besok saja. Dia ingin mulai besok semuanya berjalan
normal kembali. Menyulap uang kantor dan bercinta dengan Marsa Wulandari.
Sementara itu tak jauh dari rumahnya yang mewah ada lapangan tenis
di samping rumah. Ada kolam renang di belakang rumah. Juga rumah-rumah yang
lain. Di tambah dengan tiga mobil dan isi rumah yang wah! Sekitar tiga ratus
meter dari rumahnya, seorang wanita tua masih melamun sendiri di depan jendela
yang masih menganga. Terkadang dia tersenyum-senyum sendiri atau
sebentar-sebentar dia menangis sendiri. Hampir tiap malam (kalau tidak ada
suster rumah sakit jiwa itu) dia melamun di depan jendela itu. Di benaknya dia
ingin (berharap) suatu saat sang anak, Bintang Margono, segera menjemputnya.
“Lho kok Ibu Pertiwi belum tidur?” seorang suster cukup manis
mengagetkan dan membuyarkan lamunan wanita tua itu. “Ibu Pertiwi!” suster itu
Nampak marah, tapi hanya sebentar, lalu katanya, “Sersan Mayor Ibu
Pertiwi Margono!” suster itu menegakkan badannya dengan sikap siap.
Dan wanita tua itu lalu berbalik dengan sikap siap pula.
“Sersan diharap tidur!” suara suster itu tegas.
“Siap! Merdeka!” wanita tua itu lalu pergi. “Merdeka!”
***
H. Akhmad Zailani.
Kelahiran Samarinda (Kaltim), 24 Pebruari.
Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Samarinda ini pernah
bekerja di sejumlah koran harian lokal dan nasional. Di sela-sela kegiatannya, membuat sejumlah buku. Di antaranya, Wajah Parlemen Samarinda, Melawan Banjir di Kota Air, Bintang di Tengah Ladang (booklet), H Achmad Amins Membenahi Samarinda. Bersama
wartawan daerah dan koresponden media nasional, tulisannya dimuat di buku
berjudul Gubernur
Datang? Bawa Uang Nggak?. Sejumlah cerpennya juga dimuat di
berbagai Koran, termasuk di Koran Harian Utusan Borneo, Sabah Malaysia..
Puisinya terhimpun dalam antologi puisi SINAR SIDDIQ yang diterbitkan sempena
Mahrajan Persuratan dan Kesenian Islam Nusantara 2012 di Membakut Sabah pada 8—11 Februari 2012.
Lelaki yang mulai menulis sejak
SD ini pernah menjuarai lomba di bidang kepenulisannya. Di antaranya (tahun
1990-an) Juara 1 Lomba Menulis Resensi Buku yang diselenggarakan Perpustakaan
Kaltim, Juara 1 Lomba Penulisan Cerpen Daerah Kalimantan Timur yang
diselenggarakan Dharma Wanita Kaltim, Juara 2 karya tulis populer yang
diselenggarakan VICO Balikpapan, Juara II karya tulis BKKBN Kabupaten Kutai dan
Juara II Lomba Penulisan Puisi Lingkungan Hidup yang diselenggarakan AMPI
Kaltim. Selain itu, cerpen Akhmad Zailani juga terhimpun dalam antologi cerpen jurnalis Kaltim, PARA
LELAKI dan Kalimantan Timur dalam
Cerpen Indonesia (editor Korrie Layun Rampan).
Pengalaman organisasi;
Koordinator Divisi Komunikasi Publik DPC Partai Demokrat Kota Samarinda periode
2011—2015, Salah satu inisiator
pembentukan DPW Partai Amanat Nasional (PAN) Kaltim – (tahun 1999), Badan
Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia (1993), Asosisiasi Kontraktor Seluruh
Indonesia (AKSI) Kaltim – (2000 — 2002), Aliansi Jurnalis Indonesia
(AJI) – mengikuti Work Shop AJI di Jakarta (1999—2001), Direktur Lembaga
Informasi Kerakyatan (LINK) – (2001—sekarang), Ketua Umum FORKKOT
(Forum Kepedulian Kota) Kalimantan Timur (2009—sekarang), Wakil Ketua Bidang
Komunikasi dan Informasi Ormas Nasional Demokrat (Nasdem) Samarinda – (2011 — 2015), Wakil Ketua DPD Partai
Amanat Nasional Indonesia Kota Samarinda (2011 — 2015), Ikatan Penerbit
Indonesia (IKAPI) dengan penerbit Sultan Kaltim Utama
(anggota Ikapi) – (2010—2012),
Sejak
kelas VI SD menulis puisi dan cerita anak-anak di Majalah Kuncung dan Bobo. Saat
SMP kelas 3 hingga kuliah, beberapa cerpennya pernah dimuat di Majalah Kawanku,
majalah HAI, Aneka dan Anita
Cemerlang, Koran manutung, Kaltim
Post dan Koran Suara Kaltim (alm).
Tahun
1996 —1997 bekerja sebagai koresponden Majalah FAKTA Surabaya. Tahun 1997—2001 – wartawan Suara Kaltim. Tahun 2000—2001 – wartawan tabloid-harian Harian Kutai Baru. Tahun 2001—2005 – redaktur
Koran harian Poskota Kaltim.Tahun
2003 – redaktur pelaksana Koran harian Kaltim Times. Tahun 2004- redaktur
pelaksana Koran Harian Matahari Kaltim,Tahun
2001—2007 – pemimpin umum/pemimpin redaksi tabloid Pemkot Samarinda “ Habar
Samarinda” Tahun 2005—2006 – pemimpin
umum/pemimpin redaksi majalah Metro. Tahun 2005 – pemimpin umum/pemimpin redaksi
tabloid Qolbu,Tahun 2006- pemimpin umum/pemimpin redaksi majalah Qalam. Tahun 2006 — 2007 – pemimpin
umum/pemimpin redaksi majalah Suara
Rakyat, antara tahun 2004 — 2008 menjadi pemimpin umum/pemimpin redaksi Tabloid
Suara Hati, Tabloid Rakyat (Kaltim) Merdeka, Tabloid Info (media sosialisasi Dispenda
Samarinda), media center Amins-Jaang periode 2000—2005 dan media center
Amins-Jaang 2005—2010, direktur media center Jaang-Nusyirwan periode 2010—2015,
konsultan media pasangan Calon Bupati Kabupaten Nunukan H Gusti
Aseng-Asmah Gani 2000-2005 Pilkada Nunukan, konsultan media Cabub Naswin Datu
Norbeck 2000—2005 Pilkada Berau. Hj Asmah Gani sekarang terpilih sebagai Wakil
Bupati Nunukan periode 2011—2015 bersama Bupati M Basri.
Menulis
puisi, cerpen dan cerita bersambung. Di antara cerita bersambung dimuat di
Koran Harian Suara Kaltim,
yaitu Ah (1999), Opera Pak Karto (1999) dan cerita silat
politik Dinasti Su Hat Su (cerita
tentang keadaan politik tahun 1998). Salah satu tulisannya, Mengungkap Bisnis Sampingan
TNI-Polri, termasuk tulisan terbaik menurut penilaian National
Democratic Institute (NDI) – tahun 1999.