SUNGAI.
Apa yang terbayang di benak Anda dengan kata itu? Mungkin air yang mengalir
dari hulu ke hilir, anak-anak yang berenang riang saat sore tiba, para
pemancing mania duduk di tepinya sambil memegang joran, atau mungkin juga yang
lainnya semisal sampah rumah tangga mengapung di permukannya. Dan pernahkah
Anda menuliskan apa yang terbayang di benak masing-masing berkenan dengan
sungai itu? Dalam puisi misalnya? Berikut adalah lima puisi bertema sungai paling
mengharukan.
Sangkan
Paraning Dumadi
Karya Bambang Widiatmoko
(Bekasi)
Setiap kali mengingat aliran sungai
Yang bersumber dari kaki Merapi
Inilah sungai yang penuh misteri
Menyimpan mitos dengan rapi
Sangkan
paraning dumadi
Manunggaling
kawula Gusti.
Batu tak akan habis dicari
Pasir tak akan surut digali
Sebagian menjadi candi
Berkah melimpah letusan Merapi
Menyuburkan tanah kami
Keringat leluhur menjadi saksi.
Jika malam hari terdengar air tersibak
Tak perlu jiwa ikut merebak
Kereta melesat lewat tak beriak
Menjadi pertanda akan datangnya
bencana
Lewat penguasa laut selatan yang bau
dupa
Dan kita pun bersiap tanpa rasa duka.
Yogyakarta tetap setia menjaga sungai
jiwa
Membelah kota dengan segenap rasa
cinta
Mengalir tenang dan kadang
menghanyutkan
Menjadi saksi zaman yang tak bisa
diciutkan
Mengalir di sisi timur istana membawa
harapan
Lalu lurus menuju muara laut selatan.
Kali
Code, 2016
BAMBANG WIDIATMOKO.
Penyair kelahiran Yogyakarta ini memiliki buku kumpulan puisi tunggal Kota Tanpa Bunga (2008), Hikayat Kata (2011), Jalan Tak Berumah (2014). Sajaknya
terhimpun dalam antologi puisi antara lain Negeri
Langit (2014), Negeri
Laut (2015). Kumpulan esainya Kata Ruang (2015). Peneliti tradisi lisan dan anggota
Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Alamat:
Jalan Meranti Raya H 200, Bekasi Timur 17515. Pos-El: bwdwidi@yahoo.com.
_________________________
Aku Ingin Selalu Bisa Berkaca di
Permukaanmu
Karya
Yuditeha (Surakarta)
sejak dipisahkan dari wana dan pelangi
menjauh ke sisi bukit yang penuh
dengan batu terbelah
musim tiba-tiba tersesat kala ingin
pergi ke sana
lupa akan rute dan tanda
karena segala warna hijau telah
menghilang
kau tak lagi terlihat
melingkar-lingkar
dari langit kau tampak tersendat-sendat
terputus-putus seperti garis marka di
tengah jalan
dengan isyarat boleh menyalip
di manakah airmu?
mengapa orang-orang diam saja?
tidakkah mereka rindu untuk membasuh
muka denganmu?
Di manakah mereka akan berkaca?
tidakkah mereka ingin hidup sehat?
aku ingin menghirup udara segar yang
kau alirkan
aku ingin berlari-lari mengelilingimu
di bantaranmu
aku ingin kau tetap menyertai buah
padi muda hingga menguning
aku ingin selalu bisa berkaca di
permukaanmu
terlebih sebelum waktunya bertemu
dengan kekasihku tiba
Yuditeha. Penulis puisi, cerpen, dan novel yang
hobi melukis wajah-wajah dan bernyanyi puisi. Pegiat Komunitas Sastra Alit
Surakarta. Fb: Yuditeha. Laman: yuditeha.wordpress.com.
_________________________
Cisadane
Karya
Novy Noorhayati Syahfida (Tangerang)
mencintai
engkau
pada
musim yang tak mengenal penghujan dan kemarau
tentang
pohon salak yang merimbun
tentang gemerisik daun bambu yang
mengalun
tentang hulu dari selatan yang menawan
di
remang cisadane, seutas kenangan
berjatuhan
berderai
lepas dari deras arus ingatan
melambung
pada gemerlap peh cun di tepi sungai
pada
lentur tarian barongsai
dan
gadis-gadis bergincu merah yang aduhai
bak
lampion menari dengan gemulai
telah
tercatat semua gemuruh
hingga
tiba saatnya airmu meluruh; keruh
Tangerang
Keterangan:
Cisadane adalah nama sungai terpanjang di Tangerang, mengalir dari
selatan dan bermuara di Laut Jawa.
Peh Cun adalah festival mendayung perahu naga yang dirayakan
setiap tahunnya pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek. Pada saat ini
dipercaya bahwa matahari, bulan dan bumi berada pada satu garis orbit.
Novy Noorhayati Syahfida
lahir di Jakarta pada tanggal 12 November. Alumni Fakultas Ekonomi dengan
Program Studi Manajemen dari Universitas Pasundan Bandung ini mulai menulis
puisi sejak usia 11 tahun. Puisi-puisinya telah dipublikasikan di beberapa
media cetak seperti Pikiran Rakyat, Suara
Pembaruan, Sulbar Pos, Lampung Post, Haluan (Padang), Koran Madura, Harian
Cakrawala (Makassar), Solopos, Posmetro Jambi, Fajar Sumatra, Tanjungpinang
Pos, Majalah Islam Annida, Jurnal Puisi, Buletin "Raja Kadal",
Majalah Sastra "Aksara", Buletin
“Jejak”, Majalah Budaya “Sagang” dan Buletin
“Mantra”.
Puisi-puisinya juga terangkum dalam lebih dari 70 buku
antologi bersama. Namanya juga tercantum dalam Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia (Kosa Kata Kita,
2012). Tiga buku kumpulan puisi tunggalnya yang berjudul Atas Nama Cinta (Shell-Jagat Tempurung,
2012), Kuukir Senja dari Balik
Jendela (Oase Qalbu, 2013) dan Labirin
(Metabook, 2015) telah terbit. Saat ini bekerja di sebuah perusahaan
kontraktor di Jakarta.
_________________________
Dongeng
Kali Mati
Karya
Mukti Sutarman Espe (Kudus)
engkaulah kali mati itu
tak mengalir ke mana-mana
berhulu di langit bermuara di bumi
tak ada alir apalagi ricik apalagi riak apalagi ombak
dari tepi ke tepi permukaan sedatar cermin
dalam dan hening berkelindan memendam dingin
tiada alur alir
hanya hujan sesekali memberi kelimpahan air
hanya alun sesekali dikirim angin semilir
yang sesudah deras
dan sepoinya terperam
dayanya kau bagikan kepada ikan
kepada udang
kepada siput
kepada lumut
kapada segala yang terpaksa tinggal di lendut
engkaulah kali mati itu
mengada sebab musim yang keliru
sebab pohon hayat menjelma jadi
debu
sebab banjir bandang tiba salah waktu
tetapi kodrat kali tetaplah sebagai kali
sungguhpun hanya sedikit berarti
dharmamu kepada bumi adalah mengairi
hingga leladang bertanah pecah berubah basah
kebun-kebun tak kehilangan warna daun
persawahan kembali berlumpur gembur
karangkitri bermakna indah bagi petani utun
dharmamu
menjadikan bumi
lebih memberi
setenggat pengabdian yang harus kau jalani
Kudus, 2016.
Mukti Sutarman Espe lahir di Semarang. Alumnus IKIP PGRI Semarang (sekarang
UPGRIS) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Karya puisinya tersiar
di Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Suara Karya, Republika, Suara Merdeka, Solo Pos, Kedaulatan Rakyat,
dan belasan buku antologi puisi bersama. Di antaranya, Antologi Puisi Jawa
Tengah, Jentera Perkasa, Mahaduka Aceh, Hijau Kelon&Puisi, Jogya
5,9 Skala Richter, dan Negeri Laut.
Buku puisi tunggalnya adalah Bersiap Menjadi Dongeng. Tinggal di
Kudus, Jawa Tengah.
_________________________
Nyanyian Sungai
Karya
Ariadi Rasidi (Temanggung)
Berawal dari kaki gunung rimba perawan
melewati kelokan demi kelokan
sungaiku mengalir
meliuk-liuk dari hulu ke hilir
Batang-batang padi senang
ikan-ikan menari-menari riang
bersama dendang air sungai yang datang
harapan petani jadi mengawang-awang
Gemercik air melahirkan simfoni
terus mengalir menderas menuju samudera biru
sesekali menerpa batu-batu
memberi berkah makhluk Ilahi.
Temanggung, 2016
Ariadi Rasidi lahir di Purwokerto pada tanggal 15 April 1959. Menulis puisi sejak tahun 1980-an. Puisi-puisinya
terdokumentasi di beberapa antologi puisi bersama di antaranya, Menoreh 2 (1995), Menoreh 3 (1996), Progo 1, Tangan-tangan Tengadah (2015), Progo
2 (2008), JenteraTerkesa (1993 ), Progo
3 (2015), antologi puisi penyair Jawa
Tengah (2011), Antologi Puisi Tifa
Nusantara 2 (2015), dll.
Tahun 2015 mendirikan komunitas Sastra
bernama KSS3G (Keluarga Studi Sastra Temanggung). Bertempat tinggal di Dusun
Kampung RT 01/RW 1 Desa/Kec. Kaloran, Temanggung, 56282. Pos-El: ardiras53@gmail.com.
Sumber tulisan: buku antologi Arus Puisi Sungai
Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)
0 comments:
Post a Comment