Oleh Tajuddin Noor Ganie
Pada zaman dahulu kala di kaki
Pegunungan Maratus,
tepatnya di Desa Haratai, hiduplah seorang pemuda bernama Awi Tadung (22 tahun)
yang bertugas sebagai petugas pemelihara keamanan lingkungan.
Awi Tadung
orangnya sakti mandraguna sehingga tidak ada orang jahat yang berani mengganggu
keamanan lingkungan di Desa Haratai.
Penjahat yang nekat berbuat jahat di wilayah yang menjadi tanggung-jawabnya itu
akan dihajar tanpa ampun oleh Awi Tadung.
Nama asli Awi
Tadung adalah Awirusan. Nama atau lebih tepatnya gelar Awi Tadung diberikan
orang kepadanya karena Awirusan memiliki seekor ular yang selalu melilit di
pergelangan tangan kirinya.
Ular dimaksud warnanya hitam legam dan merupakan jenis ular berbisa yang
terkenal paling ganas. Di
kalangan warga setempat, ular jenis ini disebut dengan nama tadung mura (ular
kobra jenis naja). Tapi
yang lebih unik lagi ular yang melilit di tangan kiri Awi Tadung ini bukanlah
ular biasa, tapi adalah ular buntung (ular yang tidak mempunyai ekor).
Ular buntung ini
sangat setia kepada Awi Tadung.
Konon, ular buntung dimaksud akan langsung bereaksi keras jika mendengar Awi
Tadung bertengkar dengan orang lain.
Setiap kali mendengar Awi Tadung bertengkar dengan orang lain, maka hampir bisa
dipastikan lawan bertengkar Awi Tadung itu akan tewas secara mengenaskan.
Tubuh korbannya
akan berwarna hitam legam dan dipenuhi dengan bekas gigitan ular
berbisa. Memang, setiap
kali bertengkar dengan orang lain, Awi Tadung selalu memerintahkan ular
buntungnya untuk membinasakan musuhnya itu.
Tugas mematuk musuh Awi Tadung itu dikerjakan oleh ular buntung pada malam
hari, yakni ketika yang bersangkutan tertidur lelap di rumahnya.
Suatu hal yang
mengerikan, pembunuhan atas musuh Awi Tadung dimaksud tidak hanya dilakukan
oleh ular buntung itu sendiri, tetapi dilakukannya bersama-sama dengan puluhan
ekor ular lainnya. Terkesan
dengan keganasan ular buntung peliharaan Awi Tadung dalam membunuh
musuh-musuhnya itulah, maka Pan Mapaun selaku Damang atau
kepala adat di desa Haratai menugaskan Awi Tadung dan ular buntung sebagai
petugas pemelihara keamanan lingkungan di Desa Haratai.
Tugas tersebut dijalankan dengan baik oleh ular buntung dan kawan-kawannya
sesama ular yang tinggal di Hutan Rumbia di dekat rumah Awi Tadung.
Sudah tidak terbilang lagi berapa
jumlah orang jahat yang tewas dipatuk ular berbisa ketika mencoba menyusup
memasuki Desa Haratai. Awi
Tadung dan ular buntung sesungguhnya bersaudara kembar.
Keduanya sama-sama dilahirkan oleh Umbu Kitai, seorang wanita warga kampung
setempat. Ayah Awi Tadung
adalah seorang petani yang banyak memiliki tanah persawahan dan perkebunan di
Haratai. Namanya Abah Kitai.
Ketika Awi Tadung dan ular buntung
dilahirkan, bidan kampung yang menolong persalinannya langsung pingsan begitu
melihat Umbu Kitai melahirkan seorang anak manusia dan seekor ular hitam.
Abah Kitai dan Umbu Kitai juga sempat terpana beberapa saat karenanya.
“Sabarlah, Bu. Mungkin sudah takdir kita berdua mempunyai anak
seekor ular. Sebaiknya kita ambil hikmahnya saja, Bu,” ujar Abah Kita mencoba
menyabarkan perasaan istrinya.
Ringkas cerita, Abah
Kitai dan Umbu Kitai kemudian memberi nama Awirusan untuk anaknya yang berwujud
manusia dan Awirusin untuk anaknya yang berwujud ular hitam.
Tapi, di kemudian hari orang lebih mengenal Awirusan sebagai Awi Tadung dan
Awirusin sebagai ular buntung.
Hari demi hari berlalu, Awi Tadung dan kembarannya ular hitam tumbuh dewasa
secara bersama-sama di rumah yang sama pula.
Sesuai dengan kodrat dan wujudnya
masing-masing, maka bila Awi Tadung tidur di tilam, maka ular hitam kembarannya
lebih suka tidur di dalam pedaringan beras.
Kebiasaan ular hitam yang
demikian itu sering membuat Umbu Kitai jengkel.
Setiap kali Umbu Kitai mengambil beras di pedaringan, tangannya selalu dipatuk
oleh anaknya ular hitam. Saking
kagetnya, tidak jarang Umbu Kitai yang latah itu terpekik berlama-lama karena
ulah nakal anaknya sendiri.
Ular hitam anaknya itu agaknya suka sekali bercanda dengan ibunya dengan cara
seperti itu. Tidak hanya
Umbu Kitai yang jengkel dengan ulah ular hitam yang demikian itu.
Abah Kitai juga demikian. Hingga
pada suatu pagi, Umbu Kitai kembali mengambil beras untuk ditanak, ketika
itulah tangannya kembali dipatuk ular hitam.
Umbu Kitai terpekik. Entah
bagaimana, Abah Kitai yang mendengar pekikan kaget istrinya itu, langsung
meradang saking marahnya.
Tanpa pikir panjang lagi orang tua itu
dengan refleks meraih mandau (sejenis parang) dan cras langsung menetakkannya ke arah ular hitam.
Untunglah, ular hitam tidak tewas terkena tetakan mandau itu, karena tetakan
itu cuma mengenai ekornya.
Sejak kejadian itu ular hitam tidak lagi tinggal di rumah bersama-sama dengan
ayah, ibu dan saudara kembarnya.
Ia tinggal di Hutan Rumbia tak jauh dari rumahnya.
Ternyata, di tempat tinggalnya yang
baru ini ular hitam berhasil menempatkan dirinya sebagai pimpinan komunitas ular.
Namun, beberapa tahun kemudian ia datang berkunjung ke rumah orang tuanya,
ketika itulah Abah Kitai dan Umbu Kitai mengetahui jika ular hitam anaknya itu
sudah tidak memiliki ekor lagi akibat terkena tetakan mandau ayahnya
sendiri. Abah Kitai sempat
meneteskan air mata karena menyesali perbuatannya puluhan tahun yang silam.
Tapi apa hendak dikata semuanya itu telah terjadi dan tak mungkin diperbaiki
lagi. Sejak itulah ular
hitam itu dikenal sebagai ular buntung.
Sejak itu pula, ular buntung tidak lagi tinggal di Hutan Rumbia tapi kembali
tinggal di rumah orang tuanya.
Setiap hari ia selalu berada di sekitar Awirusan saudara kembarnya yang
berwujud manusia. Awirusan sendiri sangat sayang dengan Awirusin, ke mana-mana
selalu dibawanya dengan cara dililitkannya di tangan kirinya.
Berminat
membaca kisah-kisah lainnya dalam buku Awi Tadung dan Ular Buntung? Silakan
pesan sekarang.
0 comments:
Post a Comment