Bangsa
Indonesia merupakan salah satu bangsa terbesar di dunia, dalam dirinya
terhimpun bersuku-suku, berbangsa-bangsa pun pelbagai bahasa (bahasa daerah)
yang menghidupi cakrawala penalaran-kalbunya, demikian pula adat istiadat serta
budayanya beragam melimpah dengan wewarna alam keindahan hayatnya. Namun
barangkali, kita masih patut bersyukur atas datangnya gelombang penjajahan
tempo dulu, (dari kata namun itu,
senada esai saya yang bertitel “Indonesia Merangkak Menuju Matahari, di buku
Trilogi Kesadaran, hal 6, PUstaka puJAngga, 2005)
lantaran olehnya, kita dipersatukan di bawah arak-arakan awan nasib yang sama;
takdir ketertindasan, perbudakan, pembuangan. Tapi alangkah sayang, meski pintu
gerbang kemerdekaan telah terbuka, tidak lantas bisa lepas merdeka dari bekas
tuan-tuan kita hingga sekarang, dikarena masih suka menggembol perasaan minder
terlalu atau kepercayaan diri yang belum tegak berdiri kokoh di bumi pertiwi.
Adalah
sangat baik sekaligus cantik, berbijak menimba pengetahuan dari berbagai belahan
penjuru dunia, tapi setelah memperolehnya kerap kali lupa nilai-nilai luhur,
mutiara kearifan agung yang mendenyut-nafaskan kebangsaan sejak jaman lama,
sebagaimana prasasti-prasasti kuno yang diketemukan kemudian hari di bentangan
peradaban Nusantara. Dan walau betapa mulianya nyanyian siur melambai riang
anak-anak bumi putra, masih selalu diragukan kedudukannya, dengan berpaling
terus menyerukan nada-nada suara asing mereka di telinga. Bukan hanya di situ,
sejarah berdirinya kampus-kampus pertama di Indonesia, tidak dijadikan model
rujukan demi perbaikan karakter generasi selanjutnya, malahan mengambil
cara-cara yang dibuat bekas tuan-tuan kita, padahal sudah sampai pada titik
menyadari yang dimaui mereka, namun tetap perasaan inferior menyudutkan diri ke
ambang kematian semu, menjadi kembang
bayang istilah Jawanya.
Akhir
tahun ini menjelang 2019, Negara Kesatuan Republik Indonesia akan menggelar
Pilihan Presiden beserta wakilnya, namun apa yang dihidangkan lima tahun sekali
itu kepada rakyat jelata, menunjukkan semakin rapuhnya tali goni persaudaraan,
persatuan; golongan-golongan itu par tai gurem pula besar, tidak lebih saling
unjuk gigi demi memperebutkan kekuasaan, atau hampir semuanya dipastikan
fanatik buta terhadap gerombolannya. Di saat itu bekas tuan-tuan kita sedang
tertawa terbahak-bahak melihat mulut-mulut tersebut begitu lincah menyuarakan
himne; humanisme, pruralisme, hak asasi manusia, dsb, hingga jauh melupakan
bulir-bulir perolehan mulia dari nenek moyang, lantaran dianggapnya telah usang;
tepo seliro, ewuh pakewuh, tenggang
rasa, kasih sesama, bhineka tunggal ika, dst.
Menjelang
hura-hura pesta pora PilPres, saya tidak menyebut pesta rakyat, apalagi
menulisnya dengan huruf tebal, sebab di hadapan kami (putra-putri Indonesia),
peristiwa itu sekadar menyuarakan nafsu kelompok, kepentingan sempit, pendek,
sementara, seolah hukum rimba yang dijalankan. Padahal musibah bencana
berkali-kali menegur lelangkah kita, dan keinsafan menjelma panggung tontonan,
sandiwara, bahasa lain pencitraan. Kita seakan tidak mengenal tuhan lagi,
karena sudah menuhankan kekuasaan, dan menjelma berhala-berlaha di layar
televisi, pada puncaknya kekhilafan ucap dan perilaku ditampakkan para
petinggi, yang otaknya sudah dicuci oleh bekas tuan-tuan. Lalu di atas pengetahuan
yang telah terperoleh dari negeri bekas tuan-tuan kita (imperialis), sudah
pandai berdialektika, bersilat lidah bermuka dua demi memenangkan pertarungan
keserakahan, sambil terus melupakan hati tulus sebening embun di daun pagi.
Barangkali
kita tengah memasuki jaman pancaroba penuh fitnah, lupa sanak-saudara kecuali
yang sepaham hasrat-hasrat rendah, dan sejauh mata memandang bolehlah
dipastikan lebih menderita terjajah sekarang, karena kian tumbuh suburnya
bebentuk penghianatan; wabah koruptor merajalela tidak ditumpas dengan hukuman
jerah, sehingga bertambah membiak mental-mental pecundang beranak-pinak. Tidak
sampai di situ, kesengsaraan sebab mengkonsumsi gaya-gaya mereka, hingga
muncullah kata-kata teroris, dan di antara kita sampai di ambang putus asa
menjadi kambing hitam sesama, lalu oleh kesibukan saling sikut berebut kuasa,
luputlah sudah tidak menjadikan perhatian atas temuan-temuan adi luhung dari
anak-anak bumi putra. Mungkin di garis ini nilai-nilai ketimuran mulai memudar,
jiwa-jiwa kesatria tergerus menghilang, yang tampak tinggallah dagelan rendah.
Sudah
banyak kita memakan prodak-prodak turunan nalar mereka; demokrasi, sosialisme,
marxisme, liberalisme, nasionalisme, dlsb, yang sesuai iklim tropis di
bentangan zamrud khatulistiwa, bolehlah ditiup lembut angin segarnya, dan bayu
keindahan pemikiran tersebut sudah disaring sebaik-baiknya oleh para tokoh
perjuangan, Bung Hatta dan M. Yamin contohnya, namun kita seolah tidak ingin
menjadi bangsa yang besar, lantaran tidak menghargai pengorbanan para pahlawan,
ataukah sudah terserang racun kemalasan, lantas sekadar mengambil apa yang
mudah dari jangkauan, yakni kekinian yang lepas dari akar pengabdian tulus
kepada leluhur. Jangankan menghormati moyang, kasih sayang bagi anak-anak pun
sebatas pandangan, atau kurangnya perhatian lebih, tepatnya tidak memiliki rasa
pengorbanan demi kejayaan akan datang, semuanya dikeruk habis demi hawa nafsu
sepintas nyawa di badan.
Menumpuknya
hutang yang seakan tidak terbayar sampai tujuh turunan, merupakan strategi para
bekas tuan-tuan kita di dalam menancapkan kuku-kuku tajam penjajahan, dengan
gampangnya tergiur iming-iming kemudahan, gula-gula luaran dalam menjalani
hidup disaat memenuhi kebutuhan, namun nyatanya seolah dikejar-kejar setan,
karena sudah terlanjur larut ingin memenuhi desakan kebutuhan jasmani sampai
luput menguri-uri ruhani. Bagaimana bisa beribadah khusyuk, mencari ilmu
bersikap tawadhuk, jika impian sebatas materi, sebesar ketakutannya sendiri,
sehingga tidak lagi sanggup memaknai indahnya daun-daun berdzikir, bunga-bunga
menebarkan sholawat, karena batang-batangnya menderita oleh paku-paku yang
menancapkan wajah-wajah para calon perusak bangsa. Yang tersisa dalam diri
hanyalah keluguan semu, karena paras kelicikan sudah sedemikian rupa pura-pura
begitu pintar mengadali sesama.
Sejarah
juang demi perjuangan untuk memperjuangkan kemerdekaan tempo dulu di samping
taktik strategi yang dikembangkannya, tidak menjadikan perhatian serius
senantiasa giat mendalam-maknai bagi laluan berikutnya, sehingga kelicikan ado
domba yang dilancarkan bekas tuan-tuan kita kian merusak kerukunan memecah
belah, oleh di antara kita dengan bangga menjadi duta-duta wacana mereka,
tubuh-tubuh sudah dicap besi panas pendidikan tinggi dengan gagahnya
mengangkangi hasil-hasil ikhtiar para pejuang sendiri, misalkan tidak
diperkenankannya mengambil rujukan dari tahun-tahun lawas, padahal seyogyanya
masih patut menyinauhi jaman keemasan; bangunan percandian tegak berdiri,
gunungan pesawahan menghampar luas dengan pola pengairan nan menyejukkan,
kerajaan-kerajaan dari Sabang sampai Merauke sudi berdaulat ke dalam negeri
tercinta Indonesia demi menekan timbulkan bibi-bibit pemberontakan, sehingga
tidak terbelah bangsa-bangsa yang telah dipersatukan dalam himpunan besar
bangsa Indonesia untuk merdeka sendiri-sendiri, dan atau gambaran perpecahan
terjadi sebab ketidakmampuan mengolah hargai capaian luhur leluhur, di sisi
nafsu seraka terhadap kekuasaan yang dipercayakan kepada para wakil kita yang
nyata nalarnya sebatas umur jagung, yakni para petinggi yang selalu disibukkan
merebut-langgengkan kekuasaan semata, lebih buruk lagi jika itu semacam arisan.
Maka alangkah eloknya kita kembali menyuntuki ujaran salah satu santri Gebang
Tinatar, Tegalsari, Ponorogo, muridnya Kyai Ageng Hasan Besari, HOS
Cokroaminoto; Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar
siasat!
Maka
semoga dengan kegiatan Andong Buku #3 kali ini lewat tajuk Sumilir, kesadaran
terhadap pentingnya pendidikan (khazanah ilmu pengetahuan) seperti angin yang
sumilir, laksana air jernih mengalir menyebarnya alam dunia perbukuan ke
pelosok-pelosok negeri; menggalakkan terjemahan karya, berdiskudi atas
karya-karya sendiri di setiap kesempatan, merenung dalam di pojok-pojok
kesendirian dikala keluar-masukkan nafas-nafas bacaan sebagaimana kewajiban
menyuntuki keilmuan hingga akhir hayat. Ini menjadikan pegangan serius sebagai
tongkat estafet demi mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain, dikarena
“Buku bukan sekadar menyapa, tapi juga sarana berdialog dengan dunia” ***. Di
sini janganlah menunjukkan satu-dua jari, tetapi mari kepalkan jemari tangan,
agar jantung tetap berdegup kencang dengan tujuan besar memukul bekas tuan-tuan
kita untuk masa kejayaan mendatang, Merdeka!
*)
Orasi budaya dalam acara Andong Buku #3, tanggal 28—30 Desember 2018 di Bentara
Budaya Yogyakarta, Jln. Suroto 2 Kotabaru, Gondokusuman, Yogyakarta. Catatan
ini Insyaallah dibaca dalam Grand Opening, pukul 19:45 WIB sampai selesai.
**)
Pengelana kelahiran Indonesia, Lamongan. Buku terbarunya: Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra,
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia, Buku
Pertama: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia,
Penerbit PUstaka puJAngga (PuJa), bekerjasama dengan Arti Bumi Intaran
Yogyakarta, dan Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo, Cetakan I;
Desember 2017, II; April 2018.
***) Motto PuJa (PUstaka puJAngga).
0 comments:
Post a Comment