Tahun 1998 adalah tahun yang sulit. Sering
hanya acar tomat yang menemani nasi di piringku. Atau terasi yang kubikin
penyedap rasa nasi gorengku. Usia terasiku berusia setahun lebih. Tersisa di kotak bekal karena
aku tak pernah suka. Saat krismon melanda, terasi dan minyak panas adalah
sahabat nasi. Bawang bombai pernah ikut
sobatan saat seseorang
menyelipkan puluhan pound di saku celanaku sepulang shalat subuh di Masjid Rab’ah.
Aku lebih sering bikin cacapan asam untuk
menemani nasi. Sejak ikan asin terhitung barang impor yang mewah, cacapan asam
itu langsung kucampur nasi. Akan tetapi, kemiskinan tidak sedikitpun membuat sedih.
Tahun itu juga aku mengenal keluarga Oslo dan
keluarga Batur, dua keluarga Turki yang membuat kemiskinan tidak terasa. Batur
sering datang membawa beras beserta makaroni, ayam, telur, suguk, burger,
sayuran dan apa saja yang disukai mahasiswa Indonesia. Batur tak hanya membawa
berkah bagiku tapi juga teman-teman seapartemenku. Adapun keluarga Oslo adalah
tempatku merasakan kehangatan keluarga—malas-malasan di sofa sambil membaca,
main monopoli, nonton TV, makan siang atau malam dalam menu Turki rumahan, atau
sekedar bercanda tawa dengan kedua gadis Oslo.
Suasana rumahan yang menyenangkan itu terus
berlanjut walaupun salah satu gadis Oslo kembali ke Negaranya.
Keadaan mulai rumit saat Anas Oslo memintaku
ke Istanbul untuk diajarinya berdagang—lebih tepatnya menyelundupkan dagangan
Anas dari Istanbul ke Kairo.
Dagangan itu sangatlah indah, tipis dan
ringan—lebih kecil dari korek api bila dilipat. Seransel dagangan itu akan
bernilai ratusan dolar yang akan menjadi ribuan dolar bila dijual di Kairo.
Aku selalu tinggal beberapa hari di Istanbul
atau Bursa menemaninya belanja. Kadang bertiga Janan, kadang hanya berdua Anas
atau berdua Janan. Kemudian aku dan Anas kembali terbang ke Kairo, membagikan
jilbab-jilbab sutra itu di toko-toko Abbasiyyah, Heliopolis, Mohandessen sampai
Alexandria, dan Mansoura. Kemudian aku serius belajar sampai saatnya memunguti
tagihan lalu terbang lagi ke Istanbul.
Cerita ini terjadi pada kedatanganku ke tiga.
Aku berdiri di atas Bosphorus membelakangi Haigha Sophia dan Mesjid Biru,
memandangi Kiz Kulesi dari pelatarannya. Maiden Tower, Arcla, Little Castle,
Menara perawan dalam bahasaku sendiri. Menurutku nama itu sangat mewakili
keindahan dan kesunyian tempat ini—dulu aku mengira tempat ini hanyalah gazebo
cantik yang dibangun di atas karang di tengah Bosphorus.
Sehabis sembahyang Magrib di Masjid Ortakoy
aku ditawari ke sini oleh pemilik kapal yang sembahyang Magrib bersamaku.
Ternyata tempat ini adalah bangunan abad
pertengahan dari batu yang seperempatnya dibikin tiga tingkat, membuatnya
terlihat bagai menara. Dan aku menelpon Janan agar menyusulku ke sini.
“Buyrun
efendim. Onluk Dakika.” Dia menjawab dengan suara agak paraunya yang seksi
dan penuh—Seperti bila kau minum vegeta. Kalimat itu secara harfiah berarti “Baiklah
tuanku, 10 menit lagi.” Tapi saat itu terdengar dari mulut Janan, aku mengira
diriku adalah Sulaiman Alqanuni karena dia hampir selalu mengucapkan “efendim”
dengan sedikit anggukan dan tatapan menyerah, dan caranya mengucapkan Ü
mengharuskanku membuang muka karena pernah membuat insomnia.
Aku memutar tubuh membelakangi Kiz Kulesi.
Matahari tenggelam sepenuhnya di laut Marmara. Yang tersisa darinya hanya
langit kemerahan di atas Haigha Sophia. Lampu-lampu sorot membuatnya terkesan
agung. Masjid biru di sebelahnya tampak cemerlang, gagah dan rupawan.
Kupandangi lautan yang gelap. Lampu-lampu di
sekitar Bosphorus tampak menari di dalamnya. Sekilas yang mengalir di selat itu
bukanlah air tetapi minyak, karena tarian lampu-lampu bergerak lambat.
Kapal-kapal kecil yang singgah dan pergi, tak
satupun terlepas dari perhatianku. Sebenarnya aku menyesal menelpon Janan.
Terus terang aku merasa salah tiap hanya
berdua dengannya. Kondisi seperti ini hanya terjadi bila kau sangat sadar akan berbuat dosa namun sukarela larut
di dalamnya. Mungkin dosa itu hanyalah tatapan tetapi dosa adalah dosa. Bila
jantungku diukur dengan seismometer dan degup jantungku saat memandangnya sama
banyak dengan dosaku, entah berapa meter kertas yang keluar dari alat pencatat
getaran itu. Dan aku menyerah dalam zona persahabatan yang makin kacau ini.
Kumasukkan tangan ke saku jaket. Adidas.
Berwarna biru dengan 2 strip putih di bagian lengan. Sebuah perahu lain
mendekat, kuperiksa hpku, itu Janan. Dia sangat presisi dalam urusan waktu.
Mungkin semua orang Turki begitu. Mungkin semua bangsa kecuali Banjar yang
terbawa-bawa kebiasaan Indonesia.
Itu dia! Aku menjerit di dalam hati. Janan
melambai ceria. Bila tidak dipegangi ibu-ibu di sebelahku, mungkin aku sudah
tercebur dalam Bosphorus saking senangnya—saat itu sepatuku sudah keluar
setengah dari pelataran Kiz kulesi.
“Andunisi!” Jeritnya setelah perahunya merapat
sempurna, dia melompat dengan tangan terpentang. Tidak seperti keluarga Batur
yang syari’, gadis-gadis Oslo sangatlah liberal. Seperti biasa aku menyambutnya
serba salah untuk kemudian menyentuhkan pipiku pada pipinya.
“Dalam
rangka apa mengundangku ke sini?” Tanyanya dengan senyuman lebar, tempat ini
hilang indahnya demi senyuman itu.
“Aku…,” seperti biasa aku gagap bila
bersamanya. Sebenarnya karena aku baru tahu ini restoran tapi…, apa salahnya
makan bersama?
“Kamu ingin melamarku?” Dia menyelaku tanpa
merasa bersalah. Seolah itu bukan sesuatu yang mengubah garis hidup seorang
pemuda dan parahnya aku tak pernah berfikir sejauh itu. Umurku baru 21 dan dia
18-an.
, “…aku punya versiku sendiri tentang Kiz
Kulesi yang ingin kuceritakan padamu.” Akhirnya aku berkesempatan meneruskan
kalimatku tadi.
“Ceritakan!” Katanya cepat.
“Mungkin sambil duduk.”
“Andunisi!” Dia berseru gembira lalu memeluk
lenganku. Janan kemudian berjalan riang seperti gadis bertudung merah yang
belum tahu neneknya sudah dimakan serigala.
Kami melangkah menuju restoran dan aku
kesulitan berjalan karena dia menyandari bahuku sambil melangkah. Setelah
melewati pintu restoran, kami terpaku melihat meja-meja di sana terisi penuh.
Pelayan menyilakan kami naik ke lantai dua dan menunjukkan meja pesananku.
Meja-meja di lantai dua lebih personal, menjanjikan kami sedikit privasi.
Suara langkah kami teredam karpet tebal.
Lantai dari kayu ini adalah konstruksi tambahan di samping ruangan yang
terlihat seperti menara.
“Ceritakan versimu!” Katanya setelah duduk.
Aku terdiam. Aku selalu butuh waktu mengagumi
bibirnya yang seperti pulau di tengah lautan—pulau kecil yang dilihat dari
kejauhan dan lautan tenang seperti yang mengitari Angsana, Derawan dan Raja
Ampat. “Begini,” kataku setelah berhasil mendamaikan jantungku, “waktu Benua
Atlantis belum tenggelam—,” Janan menyelaku dengan mengangkat lima jarinya,
“Ini tentang Kiz kulesi, kan?”
Aku mengangguk, Janan tidak menurunkan tangan,
hanya mengerutkan kening, menatapku tajam hingga menembus mata dan menyelidiki
isi otakku.
“Terlalu jau… terlalu ngga nyambung.” Dia
menggeleng setelah berpikir beberapa menit.
“Biar kuteruskan….” Protesku.
“…biar aku yang meneruskan.” Katanya. “Arcla
didirikan pada abad lebih baru. Waktu itu yang tersisa dari Atlantis hanyalah
sebuah pulau,” Janan seperti berfikir keras, “…Borneo, pulau itu namanya
Borneo. Rajanya sangat berambisi meluaskan kekuasaan sampai Aegea, Mediterania
dan Marmara.” Aku mengangkat alis, Janan terus bicara, “dia pemalu tapi kejam.
Sparta dibumihanguskan dalam tiga hari, Troya—Priam dicincangnya, Hector tumpas
lebih dulu dengan satu lemparan lembing dan Athena rata dengan tanah.”
“Siapa nama raja itu?” Tanyaku antara
penasaran dan ingin tertawa melihatnya mengada-ada penuh semangat.
“Namanya tidak penting. Raja itu menaklukkan
Anatolia dan merampas putri tercantiknya, nama putri itu…,”
“Jeanett.” Aku menyela, “bentuk singular dari
Janan dalam bahasa Arab.” kutekankan penamaan itu dengan pandangan
mengintimidasi.
“Jeanet.” Janan menyerah dan tertawa kecil, “gadis
yang kecantikannya membuat surga menjadi murung.”
“Dan Jeanet membuatku lapar karena ceritanya.”
Timpalku.
Janan tertawa, memanggil pelayan lalu
berceloteh dalam bahasa Turki dengannya. Pelayan minta diri, kami kembali
berdebat tentang akhir cerita itu dan berakhir dengan….
“Kenapa Jeanet harus mati dipatuk ular?” Bibir Janan melipat menyesali penutup
karangannya sendiri.
“Kalau begitu, dengarkan versiku.”
Jawabku, aku memeras otak mencari
sambungan ceritanya. “Raja tanpa nama itu mengurung Jeanet di menara ini hanya
sementara menyelesaikan istana baginya di Borneo.”
“Raja itu bukannya tanpa nama tapi jelek.
Terdengar seperti kimia terlarang di telingaku.” Sahutnya, “Kamu tahu, Anatolia
yang kalah meminta bantuan dari Sardinia untuk menyerang balik Borneo.”
“Dan cintanya pada Putri Anatolia membuat
Borneo tumpas.” Aku berkata pasrah.
“Raja itu pengecut dan peragu.” Timpal Janan.
“Lengkap. Pendiam, pengecut dan peragu. Sama
sekali bukan raja.”
“Bukan Raja, mungkin hanya pecinta.”
Kami terdiam, aku berdiri meninggalkan meja,
berhenti pada jendela yang menghadap Eropa, memandang kosong pada lampu-lampu Kabatas. Janan memandang hampa ke arah
Sacak lewat jendela yang menghadap Asia.
“Yemek
hazir. Madam, efendimiz.” Pelayan memecah kebisuan, di tangannya ada sebuah
bokor penuh bola-bola berduri yang membuat kami kembali duduk. Janan
tersenyum-senyum menatapku dan aku mengimbanginya.
Di samping bokor itu ada semangkuk sup sangat
kental dan sepiring kecil udang rebus.
“Apa…,” aku ingin bertanya tapi digagalkan
Janan dengan tatapannya. Dia melindungi tangannya dengan serbet lalu hati-hati
memungut sebutir bola berduri, membuka bagian atas yang rupanya sudah dipotong
lalu mengisinya dengan sup kental.
“Yang ini lentera Aristoteles.” Katanya,
sesuatu berpindah dari sendok di tangannya ke mulutku, gurih yang ganjil, pedas
dan berkrim. “Yang ini caviar landak laut.”
Janan tertawa-tawa melihat ekspresiku
mencicipi menu pilihannya. Dia sendiri memasukkan beberapa potong udang dalam
cangkang yang berisi krim itu lalu memakannya.
Kejadian itu berulang, dia mengambil landak
laut baru, membuka, memasukkan jeroannya ke mulutku setelah menambahkan sup dan
udang rebus ke mulutnya.
Bagi
yang berminat menikmati cerita-cerita lainnya dari penulis ini, silakan baca
langsung buku Dari Warung Jablai ke Selat Bosphorus (klik judul)
0 comments:
Post a Comment