Mahmud Jauhari Ali
…
“Hidup
pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju kami, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju kami, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.
1966
Beberapa larik di
atas merupakan penggalan dari puisi berjudul Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya
karya Taufiq Ismail. Puisi
tersebut tidak lahir dari angan-angan kosong belaka. Seorang Taufiq menuliskan
puisi perjuangan demi cinta tanah air dan bangsa Indonesia itu dari peristiwa
bersejarah. Sebuah aksi fenomenal masa lalu, yakni unjuk rasa mahasiswa kepada
pemerintah untuk menurunkan harga-harga. Tak bisa dielakkan, dalam aksi itu
memang ada yang meninggal. Akan tetapi, perjuangan mereka tidak sia-sia. Harga-harga
pun berhasil diturunkan semisal harga bensin kala itu. Singkat cerita, aksi massa
mahasiswa telah menginspirasi Taufiq Ismail dalam berkarya sastra.
Lalu,
apakah hal yang demikian berhenti sampai di situ saja? Tentu jawabannya tidak.
Setiap peristiwa selalu menjadi inspirasi bagi siapa saja yang peka dan mau
berkarya. Dan sebenarnya, saya teringat puisi Taufiq itu juga dari sebuah aksi
yang baru saja dilakukan oleh sejumlah massa pada tanggal 2 Desember 2018
kemarin. Mereka menyebutnya dengan Reuni
Akbar Mujahid 212. Setidaknya saya menangkap beberapa hal yang dapat
dijadikan inspirasi dalam menulis karya sastra berkaitan dengan aksi tersebut. Apa
sajakah itu?
Perjuangan.
Siapa yang berani
menyangkal kebenaran bahwa para peserta aksi damai itu berasal dari berbagai
daerah di Indonesia? Bahkan, ada yang dari luar negeri. Mereka berdatangan
dengan menggunakan uang sendiri menuju Jakarta, tepatnya di Monas sebagai titik
kumpulnya. Kawasan itu pun menjadi lautan manusia. Ada jutaan orang, baik
sebagai peserta maupun panitia aksi di sana. Mungkin bagi mereka yang materialisme
akan berpikir perbuatan para pelaku aksi tersebut tidak rasional. Untuk apa
misalnya mengeluarkan uang untuk aksi semacam itu? Dibayar saja tidak. Malahan
harus mengeluarkan uang pribadi. Tapi bagi mereka yang masih memiliki semangat
perjuangan membela agama (Islam) dalam jiwa persaudaraan, tentulah hal itu
adalah sesuatu yang lumrah dilakukan. Perjuangan mereka inilah yang dapat
menginspirasi sebagaimana terciptanya puisi Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya pada puluhan
tahun lalu itu.
Damai
Adakah kerusuhan yang terjadi dalam aksi tersebut? Perkelahian antardua
orang pun tidak ada. Aksi itu sangat jauh dari sikap permusuhan, apalagi peperangan
yang brutal. Para pelaku
aksi begitu menunjukkan kesantunan yang beradab sebagai salah satu akar dari terciptanya
damai itu sendiri. Ini pun sebenarnya menginspirasi dalam penulisan karya-karya
dengan tema perdamaian antarumat manusia. Kita tahu, di luar sana ada saja yang
menjadikan perang sebagai santapan sehari-hari. Lewat karya sastra diharapkan
Indonesia akan terus dalam keadaan damai (tanpa perang kata, terlebih kontak
fisik) sebagaimana damainya aksi 212 tersebut. Jika kita kaitkan dengan puisi
Taufiq di atas, begitu terasa damainya antara pak tukang rambutan dan para
mahasiswa yang sedang berunjuk rasa.
Kesosialan
yang Tinggi
Tanah lapang tak
pernah menjadi hutan meski ada sebuah pohon besar yang hidup di sana, ‘kan?
Mungkin begitulah kira-kira gambaran tentang hidup dan kehidupan ini. Tidak memenuhi
syarat ideal seandainya manusia atau makhluk lainnya hidup tanpa berinteraksi
dengan sesamanya. Sebagai manusia, bersosial itu bisa dikatakan wajib
hukumnya meski tidak tertulis dalam kitab undang-undang sekalipun. Dengan kata
lain, sudah menjadi konvensi bersama. Dalam aksi 212 kemarin itu pun berlaku
hal yang demikian. Ada yang menyediakan menu-menu makanan dan minuman misalnya.
Jadi, bukan sekadar rambutan dalam puisinya Taufiq, tetapi lebih daripada itu. Ini
merupakan wujud nyata kesosialan peserta aksi.
Tentunya dapat menjadi inspirasi yang sangat bagus dalam berkarya
sastra. Jiwa sosial idealnya memang ditumbuhkembangkan. Salah satunya melalui
sentuhan bahasa sastra yang halus dan indah.
Tertib
Dari pantauan melalu
drone dan berita-berita terpercaya, pergerakan peserta aksi 212, baik saat
menuju, maupun meninggalkan Monas sangatlah tertib. Tidak ada yang saling
mendahului. Alhasil, tidak ada pula aksi dorong-mendorong. Bagi sastrawan,
kenyataan ini sangat menginspirasi untuk tulisan-tulisan yang menghibur dan bermanfaat
dalam menggugah banyak jiwa menjadi pribadi-pribadi tertib. Ketertiban tersebut
bisa dituangkan dalam bentuk puisi, cerpen, dan lainnya.
Persatuan
Alangkah mustahilnya
aksi itu dapat terlaksana jika tak ada semangat persatuan umat dalam jiwa
peserta dan panitianya. Dengan kata
lain, aksi 212 terwujud karena semangat tersebut yang berkobar dalam jiwa
mereka. Sebagaimana yang telah terjadi di lapangan, aksi itu juga tidak sekadar
melibatkan umat Islam, tetapi panitia
turut mengundang tokoh-tokoh lintas agama. Hal terakhir tadi membuktikan
persatuan yang dibangun dalam aksi itu merupakan eratnya hubungan antaranak bangsa
di negara ini. Persatuan yang demikian sangatlah menginspirasi dalam sastra
selama sastrawan yang bersangkutan peka
terhadapnya.
Kebersihan
Setelah aksi 212 itu
usai, kawasan Monas dan sekitarnya pun bersih kembali seperti sediakala. Artinya,
para peserta dan panitia aksi begitu mengutamakan kebersihan lingkungan. Hal ini
sangat menginspirasi dalam berbagai bentuk karya sastra dengan harapan dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam puisi Seorang
Tukang Rambutan pada Istrinya itu pun digambarkan kebersihan, yakni para
mahasiswa tidak membuang kulit rambutan sembarangan. Adapun puisi lengkapnya
sebagai berikut.
Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya
karya Taufiq Ismail
karya Taufiq Ismail
“Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan datam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil
“Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutani”
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju karni, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan datam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil
“Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutani”
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju karni, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.
1966
Sumber gambar: www.pixabay.com (gratis)
0 comments:
Post a Comment