“Jika
kau yakini itu sebuah cinta, maka genggamlah, perjuangkan dan
pertahankan....karena boleh jadi hanya sekali dalam hidupmu kau miliki”
Demikianlah sepotong perkataan indah dari
pengantar yang ditulis Yanti S Sastro Prayitno
dalam bukunya Ketika Cinta Menunjukkan Wajahnya. Nah, berikut ada lima
puisinya
dalam buku tersebut.
DALAM
HUJAN
Saat
memandang rintik hujan
siapakah yang terlintas dalam ingatan
mengisi bilik-bilik kenangan
menghantar sekilas senyuman
menyemai sepercik harapan
Hujan terus merintik riang
berirama menghias malam
rasakan merdunya
resapkan indahnya
biarlah meluruhkan luka
hingga tandas tak bersisa
Bukankah hujan begitu indah
saat berlari di bawah payung merekah
serasa menjemput harapan yang meruah
menuju istana megah
di sanalah kasih sayang kita tertumpah
Semarang, 22 Juni 2014
siapakah yang terlintas dalam ingatan
mengisi bilik-bilik kenangan
menghantar sekilas senyuman
menyemai sepercik harapan
Hujan terus merintik riang
berirama menghias malam
rasakan merdunya
resapkan indahnya
biarlah meluruhkan luka
hingga tandas tak bersisa
Bukankah hujan begitu indah
saat berlari di bawah payung merekah
serasa menjemput harapan yang meruah
menuju istana megah
di sanalah kasih sayang kita tertumpah
Semarang, 22 Juni 2014
Kuwakilkan pada rangkaian huruf
segenap rasa dan rindu yang bergayut
saat ruang dan waktu tak bisa merajut
dua hati yang bertaut
Pada huruf yang berjajar
tak ada lagi ungkapan hati yang tersamar
semua secerlang bintang di langit
meski mendung kadang membuatnya berkelit
Jangan lagi ragukan itu
terus melaju bersama tarian waktu
usah menduga di manakah kan bertemu dermaga
di mana sepasang hati kan bersandar dan berlabuh
karena hidup adalah langkah
berlalu setapak demi setapak
menuju satu titik
tersenyumlah agar langkah selalu terasa indah
seindah huruf-huruf
yang selalu mengeja cinta
Semarang, 24 Maret 2016
Pada suatu waktu aku berdiri di situ
di selasar panjang lantai tiga yang lengang
di siang yang panas dan garang
Kelengangan mengajak angan bertualang
Di selasar itu aku selalu terbayang
perempuan muda dengan semangat menggelora
mendekap buku-buku dan lembar transparansi
meski wajah letih senyum tetap berseri
keluar dari ruang kuliah dan laboratorium
Di selasar ujung lantai tiga itu dia berdiri
menatap dan menerawang jauh ke depan
lapangan sepak bola desa grumbul-grumbul kecil yang menghijau
hingga deretan pohon jambu mete yang menyembul
hingga sayup suara koes plus singgah di telinga
"Padang luas rumput hijau....
...berlari-larian anak kijang liar..."
Senyumnya akan mengembang
apalagi jika cuaca cerah pelabuhan tanjung emas dan biru lautnya ikut melintas
Siang ini begitu panas
ujung selasar lantai tiga masih tetap lengang
perempuan paruh baya berdiri
ujung kerudungnya menari ditiup angin
betapa ingin aku melihatnya tersenyum
tapi matanya terpejam
lapangan bola dan grumbul berderet pohon jambu mete begitu menari di bola mata
namun semuanya sirna
barisan gedung kini berdiri mengepung
Perempuan yang berdiri di ujung selasar lantai tiga
kehilangan sebagian mimpinya
berbalik menatap pintu ruang di belakangnya
tersadar semua tak akan pernah lagi sama
bagian mimpi yang hilang biarlah sirna
tetaplah melangkah meski kaki telah lelah
karena waktu masih mengijinkanmu singgah
Semarang,25 Mei 2015
SEPEREMPAT ABAD
Seperempat abad pastilah bukan waktu yang singkat
dalam penantian yang penuh harap
dalam doa mengalun setiap senyap
seperempat abad bukanlah waktu yang layu
jika itu untuk menimbun rindu
terenda dalam semerbaknya doa mendayu
mengendap dalam lekukan dasar kalbu
seperempat abad bukan saat yang sepi
jika itu terkait pedihnya dua hati
ketika bulan purnama puluhan kali berlalu
tak jua mengubur harapan biru
: dan saat merapat meski sudah seperempat abad dua hati tak bersekat
Semarang, 20 Desember 2014
Kaukah itu yang membangkitkan kenangan saat hujan menjelang
mengulum senyum pada mata sesejuk embun
membias tawa pada malam penuh canda
Kaukah itu yang menarikan tinta pada diary lama
mewarnai senja dengan senyum lara
tak mampu memegang cita saat ego melanda
mendekap luka dalam retasan masa
Kaukah itu yang berlagu di setiap malam minggu
mengibaskan rintik hujan yang membasah di rambutmu
berurai senyum di depan pintu
pada sekian windu yang lalu
Semarang, 22 November 2014
BIOGRAFI PENULIS
Yanti S Sastro
Prayitno
terlahir dengan nama Sriyanti di
Sragen, 5 Februari 1969. Masa kanak-kanak hingga tamat SMA dilalui di kampung
halamannya, Dukuh Ngampunan, Kebonromo, Ngrampal, Sragen. Menamatkan sekolah
dasar di SDN Kebonromo II pada tahun 1981, sekolah menengah pertama di SMPN Ngrampal
tahun 1984, dan sekolah menengah atas di SMAN I Sragen pada tahun 1987. Ia
menyelesaikan pendidikan S1di Jurusan Kimia FMIPA, UGM, Yogyakarta pada tahun
1993, dan melanjutkan di S2 di tempat yang sama pada tahun 2001. Sekarang
mengajar di Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas
Diponegoro, Semarang (1994-sekarang).
Pertama
kali menulis di media berbahasa Jawa Panjebar Semangat pada hari Kartini tahun
2005 dengan judul, Kepriye Kabare Wanita Indonesia (Panjebar Semangat-18/2005).
Selama menulis ia pernah memenangkan lomba menulis esai untuk cerita bersambung
di majalah berbahasa Jawa, Panjebar Semangat th 2006, menulis artikel kesehatan
dan wanita, cerpen dalam media berbahasa Jawa Panjebar Semangat, Jayabaya dan
Djagat Jawa Solopos, juga media berbahasa Indonesia Majalah Paras.
Puisi-puisinya
dimuat dalam antologi puisi bersama, antara lain, Sang Peneroka (2014), Cinta Magenta (2015), Untuk Jantung Perempuan (2015), 1000
NewHaiku Indonesia (2015), Kitab
Karmina Indonesia (2015), Puisi
Menolak Korupsi Jilid 5 (2015), Memo
Anti Terorisme (2015), Dari Negri Poci 6(2015), Arus Puisi Sungai (2016), Puisi
Peduli Hutan (2016) dan Dari Negeri
Poci 7 (2017).
Berminat
membaca puisi-puisi lainnya karya Yanti S Sastro
Prayitno dalam buku Ketika Cinta Menunjukkan Wajahnya? Silakan membacanya di buku tersebut. Pembelian
buku bisa melalui facebook Yanti S Sastro Prayitno.
0 comments:
Post a Comment