Cerpen
Korrie Layun Rampan
Tak
seorang pun yang tak tahu bahwa kawasan itu merupakan langganan banjir. Oleh
karena itu pemberitahuan aparat keamanan dan lurah setempat tak ditanggapi
dengan sepenuh hati, karena setiap tahun banjir selalu tiba secara merajalela.
“Akan
ada air kiriman,” Pak Kiman menyampaikan berita yang dibawa Undan dari
kelurahan. “Supaya kita di sini lebih hati-hati.”
“Biasanya
kita juga hati-hati,” Tiwi menyampari berita yang sudah dianggap basi.
“Paling-paling
juga sampai seperempat dinding.”
Anak-anak
pada tertawa, lebih suka kalau ada banjir, karena dapat berenang sesuka hati.
“Kiriman
ini akan lebih banyak,” Kiman lebih memperingatkan. “Di udik sana banjir tak
tertahan karena hujan lebat beberapa hari.”
“Kiriman
macam apa?” Acan bertanya karena tak mengerti. “Air dikirim dari mana?”
“Kiriman
dari langit,” seseorang menimpali. “Dari pedalaman Bogor atau Sukabumi, ngkali. . . .”
“Kiriman, ya kiriman. Maksudnya air tak lagi
tertahan oleh resapan tanah di udik sana. Lingkungan sudah banyak dirusak
karena pemukiman dan pengolahan hutan…,” Kiman juga kehabisan bahan pengetahuan
untuk menjelaskan. “Yang pasti banjir akan tiba kemari!”
Ada
juga yang menanggapi secara serius akan
tetapi tak tahu harus berbuat apa. Mau pindah rumah? Ke mana? Ada lagi yang tak
acuh, karena menganggap banjir perkara rutin di Jakarta, apalagi di bantaran
Kali Ciliwung. Setahun bisa dua tiga kali banjir. Lalu apa yang dikhawatirkan?
Termasuk Masta yang memang memikirkan keselamatan keluarga, akan tetapi tak
mampu berbuat apa-apa, karena nasib membawa diri hanya mampu hidup di bantaran
kali.
Hanya kawasan itu yang murah. Dahulu tanahnya
tinggal matok, dan membangun gubuk. Lama kemudian bantaran itu dijualbelikan,
dan Masta membelinya dengan harga yang masih terjangkau. Ia membangun rumah
yang sederhana di situ, dan kemudian membangun rumah tangga. Istrinya mulanya
tak betah, akan tetapi lama-kelamaan mampu juga beradaptasi. Bahkan tiga anak
yang dilahirkan istrinya tidak jarang ditemukan berenang di kali yang butek itu
bersama kawan-kawan mereka sebaya. Mereka tampak riang-gembira, apalagi kalau
musim banjir tiba. Masta tidak merasa khawatir, karena anak-anaknya mahir
berenang sebab setiap hari mereka memang hanya mandi di kali itu.
Sebagai
kawasan kumuh, kawasan itu memang sangat padat penghuni. Suara radio berbaur
dengan suara televisi dan bercampur baur dengan tangisan kanak-kanak, sumpah
serapah wanita-wanita yang sakit hati, omelan para ibu yang kekurangan uang
belanja, dan berbaur pula dengan teriakan penjaja roti dan pedagang keliling.
Kadang suara itu ditingkahi oleh bunyi pertengkaran—entah suami istri entah
pasangan kumpul kebo—dan kadang kala pengeras suara muarahan yang dipasang
untuk sunatan atau mantenan meledak-ledak dengan lagu-lagu dangdut atau orkes
malayu yang bising karena pitanya sudah tua yang dibeli di pedagang loak.
Kadang kala keributan muncul seperti setan di malam buta yang disulut oleh
beberapa hostes atau bencong yang menyewa kamar-kamar sempit di kawasan itu.
Penghuninya
saling tak acuh dan sering sindir-menyindir bila ada yang membeli radio atau
televisi baru. Sering pula gunjing dan isu merebak tentang persoalan-persoalan
sepele yang dibumbui di sana-sini menjadi sensasi murahan yang justru sering
membuat kuping menjadi panas. Akan tetapi jika ada maling atau pencopet yang
lagi sial, para penghuni merupakan kawula yang kompak dalam hal menggebuk dan
menghakimi. Sehingga kawasan itu menjadi neraka bagi orang-orang yang berniat
jahat, dan para maling kelas teri maupun mencopet yang kurang pengalaman,
berusaha tidak tersesat ke bantaran neraka tersebut. Sementara maling berskala
besar dan para koruptor merasa tempat itu sangat menjijikkan, dan mereka enggan
menapakinya, karena tidak sesuai dengan martabat mereka yang beruang.
Masta
merasa sudah semestinya ia melibatkan diri seperlunya saja untuk lingkungan
itu, terutama ia memang tidak banyak waktu untuk kongkow atau bergunjing,
maupun main remi. Pagi-pagi ia sudah harus siap pergi kerja. Sejak ia belum
menikah hingga memperoleh anak tiga, ia memang tampak paling mapan di antara
seluruh penghuni. Ia merasa melibatkan diri dengan tetek-bengek bersama
penghuni bantaran hanya membuang waktu dan energi. Kerena itu ia biasanya
berangkat bekerja pagi-pagi sekali, dan pulang sudah larut senja. Meskipun
pangkatnya tak naik-naik dan gaji pas-pasan, ia merasa lebih baik menghabiskan
waktu di kantor daripada bergunjing tentang hal-hal yang tidak berguna. Selain
itu, kawasan bantaran makin hari makin sumpek—bukannya bertambah lega—karena
penduduknya hampir setiap hari bertambah, baik karena kelahiran maupun pendatang
baru. Apalagi pada musim-musim tertentu, para pedagang gelap begitu saja
menyeludup di rumah-rumah petak yang sumpek dan esoknya berkeliaran mencari
kerja secara serabutan. Masta tahu, jika muncul situasi seperti itu berarti di
desa terjadi paceklik, dan ia harus lebih waspada sebab kemungkinan para
pendatang nantinya akan menggunakan segala cara untuk mampu bertahan hidup di
Jakarta.
Sungguh
Jakarta bukanlah tempat yang nyaman dan mewah untuk dihuni. Bagi kaum kere dan
pemulung, kaum pencari kerja yang gagal dan frustrasi karena tidak memiliki
keahlian khusus, Jakarta lebih mengerikan dari rimba yang menyimpan singa dan
ular berbisa. Ternyata manusia sering tidak bersahabat ketimbang pohon, air,
atau binatang. Pilihan karena lapar dan menjadi pengemis sering harus diterima
dengan kemewahan. Apa gunanya rasa malu kalau nyawa harus melayang karena tak
mendapatkan makanan? Ternyata kelaparan dapat membuat orang menjadi buas dan
tidak bertimbang rasa.
Apa
enaknya disikat kalau ada kesempatan menyikat? Kawasan bantaran kali merupakan
kawasan yang pas untuk melihat model perjuangan hidup di tengah rimba Jakarta.
Sangat sukar orang membedakan siapakah sebenarnya wanita baik-baik dengan
wanita bunga raya? Antara ibu rumah tangga dengan penjaja cinta? Antara pekerja
kantoran dengan penipu dan tukang kompas? Antara anak yang berayah ibu dengan
anak yang hanya beribu? Semuanya berbaur menjadi satu, dan di dalam sejuta
warna kehidupan manusia, denyut kehidupan bantaran itu memberi irama kepada
Jakarta.
***
Pagi-pagi
Masta sudah berpesan kepada istrinya agar nelepon saja ke kantor kalau banjir
makin meninggi. Karena hujan sudah mulai reda, Masta merasa lebih aman, dan
hampir seharian ia bekerja seperti biasa. Apa istrinya lupa nomor teleponnya?
Atau telepon umum rusak? Memang akhir-akhir ini telepon umum selalu rusak dan
tak diperbaiki. Atau memang tidak terjadi apa-apa?
Akan
tetapi hati Masta merasa ada sesuatu yang tidak beres. Karena itu ia minta
pulang sebelum jam kantor bubaran. Ternyata bus ke arah rumahnya lama sekali
tidak melintas. Ia bertanya kepada beberapa orang di halte, baru ia tahu kalau
jalan utama di sebelah bantaran kali telah kebanjiran dan puluhan kendaraan
terjebak di tengah jalan, sehingga mogok dan jalan ditutup. Ia mencari bajaj,
juga sangat sulit, karena bajaj tidak mau narik ke arah yang ditujunya.
“Banjir,
Bang,” tukang bajaj berkata. “Tidak bisa lewat.”
Masta
akhirnya berjalan kaki. Memang benar, jalan utama yang menuju ke arah rumahnya
telah kebanjiran. Tak satu pun taksi atau metro mini yang menuju ka arah itu.
Bajaj yang biasanya suka meliuk-liuk mencari jalan alternatif sama sekali tak
mau ambil risiko.
Banyak
sekali orang yang berjalan kaki. Terpikir oleh Masta kalau saja ia ngeredit sepeda, ia dapat naik sepeda.
Kalau menggunakan sepeda lebih aman dibandingkan menggunakan sepeda motor.
Tetapi untuk sepeda berapa ia harus mengeluarkan biaya? Sementara ketiga
anaknya sudah mulai membutuhkan biaya sekolah. Belum lagi pakaian, dan
kebutuhan istrinya serta keperluan sehari-hari. segalanya melonjak naik,
sementara gaji tak naik-naik. Sebagai karyawan rendahan, berapa sebenarnya yang
ia dapatkan?
Sudak
sore sekali ia tiba di kawasan bantaran kali. Matanya hampir-hampir tidak
percaya kalau banjir demikian meluap. Manusia berjubelan menyelamatkan harta
benda dan apa saja yang bisa diselamatkan. Barang-barang bertumpukan tak karuan
di sisi tanggul kali dan di atas jalan raya.
Antara terang dengan gelap ia masih dapat melihat
istrinya menggigil di atas bubungan atap rumahnya bersama ketiga anaknya.
Bahkan anaknya yang kedua tampak memain-mainkan kakinya di air yang keruh di
antara serakan barang-barang yang diselamatkan istrinya di bubungan itu.
Rumahnya yang tinggal bubungan, sementara rumah lainnya ada yang hilang sama
sekali, dan sebagian tampak mencapai setengah dinding dan lainnya terendam
lantainya. Bantaran itu ternyata sudah menjadi lautan yang menakutkan, karena
di bagian tengah arus kali mengalir dengan deras sekali. Kadang derunya
disertai kampar-kampar kayu dan hanyutan pohon-pohon yang tumbang.
Warga
bantaran itu semuanya seperti mabuk kepayahan karena seharian telah berusaha
menyelamatkan harta benda masing-masing. Masta berteriak kepada istrinya dan
ketiga anaknya agar mereka meninggalkan atap bubungan.
“Abang
lambat sekali pulang,” ia mendengar suara istrinya seperti tangis. “Kami tak
bisa nelepon. Semua telepon terendam air. . . .”
Saat
ia mengambil ancang-ancang akan berenang, tiba-tiba ada suara gemeretuk di arak
kali yang menandai bahwa air sedang membawa barang-barang hanyutan yang besar.
Serentak secara bersamaan terdengar bunyi ledakan yang dahsyat di arah bagian hulu
dan tampak semburan api menjolok angkasa. Segera saja rumah-rumah yang beratap
aneka benda dijilat api dengan cepat dan menyusul ledakan lainnya yang membuat
bantaran itu seperti terbanting ke dalam gelombang neraka. Warga tampak panik
dan berusaha menyelamatkan diri dari amukan api bersama arus benjir yang
melanda demikian deras. Toko minyak penjual bensin terbakar?
Tampak
pohon berdiri terhanyut di dalam kali dan sebentukan rumah mengikuti arus
sungai. Bersama menghilir nyala api menjilat atap-atap rumah serta bubungan
yang masih belum terendam banjir.
Beberapa
rumah yang berada lebih dekat ke bibir kali ikut tercebur oleh arus yang deras
dan hanyut bersama kampar kayu yang menyeretnya dari hulu. Arus air makin
menderu dan suara amukan api juga makin menderu. Beberapa orang berteriak dan
memanggil, beberapa yang lain terdengar mengucapkan sumpah serapah, sementara
anak-anak dan kaum wanita ada yang meraung dan tersedu.
Masta
mencapai bubungan atap rumahnya. Matanya terbelalak. Dari arah hulu gelombang
api yang menjilat tumpahan minyak seakan berlari menuju bubungan tempatnya
berdiri. Istrinya tampak pucat dan ketiga anaknya berteriak sambil merangkul
tubuhnya. Kelima orang itu tampak seperti orang bergumul, sementara lidah api
dari minyak yang terbakar makin mendekat ke arah mereka. Tiba-tiba bubungan itu
tergoyang, dan beberapa orang yang berada di tepi berteriak keras sekali.
“Masta!
Awas! Rumahmu roboh dihantam pohon tumbang! Awas! Berenang ke tepi!
Api!
Api! Api. . .!”
Masta
merasa tubuhnya limbung. Selebihnya ia tak ingat lagi apakah ia terbakar atau
lemas tenggelam ke dalam banjir. Istri dan ketiga anaknya?
Api
sudah sampai di bubungan. . . .
0 comments:
Post a Comment