Cerpen Fauzi Rohmah
Angin malam semilir menerpa wajahku yang masih
lekat dengan polesan riasan yang kugoreskan tadi sore. Duduk termangu di ujung
jalan, mencoba menepi dari hiruk pikuk malam di antara tawa renyah sekumpulan
kupu-kupu malam yang masih saja bertahan dalam penantian. Kali ini kelelahan
bergelayut di pundakku yang kian tak mampu memikul beban. Senyum pahit dan
cibiran dari mulut-mulut di sekelilingku kian memberatkan langkahku. Namun,
tawa renyah keempat adikku membuatku bertahan. Aku tak berani mematikan
mimpi-mimpi mereka yang kian tumbuh menjulang.
“Hei, Siska! Kamu ngapain kok sendiri di sini?
Kamu nggak melayani malam ini?” Suara Vita mengagetkanku, sekejap lamunanku
buyar.
“Aku lelah, Vit. Sepertinya malam ini aku off
dulu deh.”
“Ah, kamu. Sudah secantik ini masa cuma mau
bercumbu dengan nyamuk di kegelapan seperti ini.”
“Mungkin, sebaiknya aku pulang saja, Vit,” aku
menimpalinya.
Kuayunkan langkah yang terasa begitu berat.
Kupegang kepala yang kian terasa pusing. Ketelusuri jalan raya di bawah lampu
temaram yang masih saja ramai oleh sekumpulan kupu-kupu menanti tamu. Aku
semakin jauh, jauh, dan jauh dari kelompokku. Pandanganku buyar, remang-remang,
dan berkunang-kunang. Langkahku goyah, kakiku tak kuat menopang tubuhku dan
semuanya berakhir dengan gelap yang pekat.
***
Kurasakan terpaan hawa dingin menelusup di
kulit ariku. Aku menggigil di bawah kain yang menyelimutiku. Semakin kubenamkan
tubuhku yang tak punya daya. Mataku mengitari seluruh ruangan. Di mana aku? Aku
mencoba mengembalikan ingatanku tadi malam. Bukankah aku terkulai di jalanan?
Ah, kepala kian sakit. Dadaku terhimpit.
“Kau sudah siuman?” Aku terkejut dengan
munculnya suara itu dan kucari sumbernya. Laki-laki perkasa dengan jas rapi
berdasi hijau muda itu muncul dari balik pintu. Apakah aku diculik? Ah, tidak
mungkin. Siapa yang sudi menculik perempuan penuh noda sepertiku?
“Bagaimana keadaanmu pagi ini?”
“Baik,” jawabku singkat.
“Oh ya, aku mau berangkat kerja dulu. Kalau
kamu membutuhkan sesuatu panggil saja Mbok Mirah. Dia akan menjagamu.”
Laki-laki itu pun menghilang meninggalkan
pertanyaan yang belum sempat kulontarkan. Termangu di bawah selimut yang
menutupi sekujur tubuhku yang masih lengkap dengan gaun malamku.
Pertanyan-pertanyaan itu datang silih berganti di otakku. Laki-laki yang
misterius itu datang dengan sorot mata yang teduh. Membuatku terkesima
seketika.
“Non, sarapan dulu.” Wanita setengah baya
memasuki kamar yang kutempati dengan membawa nampan berisi bubur dan segelas
susu untukku. Mungkin ini yang disebut Mbok Mirah.
“Mbok Mirah, ya?”
“Iya, Non. Ini dimakan dulu.”
“Mbok, aku mau tanya. Laki-laki yang tadi
masuk ke sini itu siapa, ya?”
“Tuan Danes. Beliau pemilik rumah ini, Non.
Lho, Mbok kira Non itu sudah kenal dengan Tuan. Soalnya kata Tuan, Non adalah
tamu istimewanya.”
Kutimpali penjelasan Mbok Mirah dengan
senyuman kecut, karena aku belum bersemangat untuk menghadapi hari ini. Ruangan
ini cukup megah, dilengkapi dengan perabotan yang mungkin sepuluh tahun aku
bergelut dengan kumbang baru bisa membelinya. Bahkan, tempat tidur seempuk ini
belum pernah aku tempati. Aku biasa bergumul di atas kasur usang yang reotannya
menggemakan irama memecah kuheningan malam. Surgakah ini?
Kutatap benda bundar yang menempel di dinding
putih. Jarum panjang dan pendeknya tepat di angka dua belas. Aku terperanjat.
Wajah-wajah manis yang biasa merengek di pagi hari itu melintas di benakku.
Sudah pasti wajah keempat adikku itu cemberut karena harus ke sekolah tanpa
uang saku. Bergegas kuberanjak membasuh wajahku. Kurapikan bajuku sedapatnya,
lantas aku pun meninggalkan kamar itu.
“Mbok, aku pamit,” kataku sambil berlari kecil
menuju pagar yang menjulang.
“Non, non. Non, nggak boleh pergi.” Tak
kuhiraukan teriakkan Mbok Mirah. Kustop bajaj yang kebetulan lewat.
***
Kubuka daun pintu kayu yang kian lapuk dimakan
senja. Kudapati tatapan selidik dari ketiga adikku. Lalu, di mana Diah? Adik
bungsuku. Ketiganya pun membaur ke dalam pelukanku dan hujan pun mengucur deras
dari mata mungil mereka.
“Ada apa dengan kalian?” Kebingunganku
bertambah.
“Diah, mbak. Diah sakit mulai tadi malam. Dia
demam.” Vanya, adik tertua menjelaskan. “Sudah dikompres, tapi panasnya tidak
turun-turun juga,” sambungnya.
“Berbereslah. Kita bawa Diah ke rumah sakit.
Hanif, kamu jaga rumah saja, ya. Biar Mbak yang mengurus.”
***
Aku mondar-mandir di lorong yang sepi. Adikku
menatapku dengan mata sembab. Aku mengutuk diriku sendiri yang telah
menelantarkan mereka, terlebih Diah yang ternyata sudah demam sejak
kutinggalkan menuju jurang yang kelam. Tiba-tiba aku menubruk tubuh kekar yang
ternyata berdiri tegap di depanku.
“Maaf!” kataku singkat.
“Apa yang sedang kau lakukan di sini? Kamu
sakit?”
Laki-laki misterius itu rupanya pemilik suara
yang baru saja singgah di telingaku. Aku tertegun. Siapa sebenarnya dia? Dunia
ini terasa begitu sempit dalam hari yang sama aku bertemu lagi dengannya.
“Kamu sakit?” Suaranya membuyarkan
ketertegunanku.
“Eh, nggak. Adikku yang sedang sakit. Demam
dan sedang ditangani dokter.”
“Pantas kegelisahan bergelayut di wajah
polosmu. Tenanglah, adikmu pasti baik-baik saja.” Aku kembali tertegun dengan
ucapannya. Wajahku polos? Apa benar? Ah, mungkin dia hanya mau menghiburku atau
bahkan mengejekku.
“Bagaimana keadaan adik teman saya, Dok?”
Suaranya menyambut dokter yang menangani Diah keluar pintu ruangan tindakan.
“Eh, Dokter Danes. Oh ya, kakaknya yang mana?”
“Saya, Dok. Bagaimana kondisi adik saya?”
“Alhamdulillah, dia baik-baik saja. Untung ini
tidak terlambat. Bisa rawat jalan, kok. Dia dari tadi memanggil-manggil nama
Siska.”
“Itu saya, Dok. Boleh saya masuk?”
“Silakan!”
***
Di tempat yang sama, di simpang jalan aku
berdiri menyunggingkan senyum di balik bayangan asap rokok yang mengepul dari
mulut kupu-kupu. Dadaku sesak, pikiranku berselancar antara Danes dan Diah.
Laki-laki itu akhir-akhir ini menghabiskan waktunya dengan keempat adikku dan
sangat memperhatikan perkembangan kesehatan Diah. Dia orang baru yang hadir di
kehidupan pribadiku. Tatap matanya teduh, santun sikapnya, dan begitu ramah.
Tawa bahagia pun kini menggema dari rumah gubukku peninggalan emak dan bapak
yang menelantarkan kami.
“Siska, jangan bengong! Ada yang mencari tuh!
Wajah baru. Seger, kekar dan bersih.” Celoteh Yolan mengagetkanku. Mataku
mengekor telunjuknya yang mengarah pada laki-laki yang berada di belakang
kemudi. Danes? Hatiku berdesir. Tahu dari mana aku berada di sini? Darahku
mendidih, aku bergidik. Rasa malu mengaduk-ngaduk hatiku. Aku tak berani
mendekatinya. Kulangkahkan kaki meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba, pergelangan
tanganku dicekalnya.
“Mengapa kamu menghindariku, Siska?” Kutak
mampu menjawab, apalagi menatap sorot tajam mataya.
“Siska, temani aku malam ini. Aku sedang
membutuhkan teman.”
“Jangan aku, Danes. Kau pilih saja satu di
antara kupu-kupu itu, tapi jangan aku. Aku tak bisa.”
“Aku mau kamu, Siska. Ikutlah denganku. Berapa
sejam? Aku akan membayarmu selama duapuluh empat jam.”
“Ini bukan soal uang, Danes. Aku tetap saja
tidak bisa.”
“Aku mohon, Siska.” Di hadapanku ia berlutut
penuh harap. Kuhela nafas panjang yang sangat menyesakkan dada. Kuraih bahunya
menuntunnya berdiri. Lalu aku melangkah menuju mobilnya dan dia mengekor di
belakangku.
“Terserah kamu akan membawaku ke mana. Ini
untuk membalas semua kebaikanmu aku siap menemani semaumu tanpa perlu dibayar,
Danes.” Kulingkarkan lenganku di lehernya dan kuelus pipi kirinya. Ia menepis
tanganku.
“Kenapa, Danes? Kurang?” Hening. Tak kudengar
sepatah kata pun sepanjang perjalanan. Kuurungkan untuk bergelayut di bahunya
yang biasa kulakukan saat aku menemani tamuku. Aku tak tahu apa yang dia mau.
Tatapannya lurus ke depan.
“Menikahlah denganku, Siska!” Suara itu
mengejutkanku. Suaranya bergetar dan jelas di telingaku. Aku tak mampu
mengeluarkan kata-kata. Suara itu memecah kebisuan.
“Ya, menikahlah denganku, Siska!” Ia
mengulanginya lagi. Hatiku bergemuruh tak percaya. Mana mungkin, seonggok
sampah ini akan dipersunting laki-laki
terhormat, seorang dokter spesialis. Tidak mungkin? Rasa tak percaya itu
berkecamuk dalam dada.
Ia menghentikan mobilnya di tanah lapang yang
berhias cahaya purnama. Sepi dari hiruk pikuk kota. Ia duduk di atas kap mobil
dan kususul duduk di sampingnya.
“Siska, menikahlah denganku!” tatapnya tajam
menusuk jantungku.
“Tidak, Danes. Aku bukan pilihan yang tepat
untuk laki-laki terhormat sepertimu. Aku hanyalah debu yang akan mengaburkan
pandanganmu. Aku hanya duri yang akan melukaimu.”
“Aku yakin dengan pilihanku, yaitu kamu.”
Digenggamnya erat kedua tanganku. Aku menggeleng pelan.
“Tidak mungkin Danes.”
“Jadilah Nyonya Danes Pramiswara dan
mengentaslah dari kolam lumpur yang semakin lama akan menyedotmu perlahan,
hingga kau tinggal nama. Aku yakin dengan ucapanku, Siska.”
Aku hanya tertunduk. Tak berani membalas sorot
mata elang itu. “Kita hantarkan mimpi Diah, Hanif, Vanya, dan Alfi
bersama-sama,” sambungnya.
***
Pernikahanku sangat meriah. Aku bagai ratu
dari kerajaan adidaya. Ia begitu memperlakukanku bak permaisuri kerajaan. Semua
pasang mata tertuju padaku. Terlebih dari pasang mata wanita-wanita muda yang
memandangku, lalu berbisik-bisik. Mungkin, banyak yang mengincar posisiku
sebagai permaisuri seorang laki-laki terhormat. Gaun putih yang membalut
tubuhku kian menambah kepercayaanku sebagai pusat perhatian. Ia tertegun
menatapku dalam.
“Kamu begitu cantik, istriku!” Pujian pertama
yang ia utarakan setelah aku resmi menjadi istrinya. Aku tersanjung penuh haru.
Terkadang aku masih menyangsikan pernikahan
ini. Keraguan atas sebuah ketulusan selalu meraja di pikiranku. Sungguh
bagaikan mimpi. Sebuah kenyataan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Ia
begitu sempurna di mataku. Ia tidak hanya menjadikanku ratu sehari, tapi ratu
di setiap detik yang kulewati bersamanya. Ia begitu mengistimewakanku dan
memprioritaskan mimpi keempat adikku yang kuboyong seminggu setelah pernikahan.
“Ini surga, Mbak.” celoteh Diah dengan tawa
renyahnya. Kuhanya tersenyum menanggapinya.
Kulewati hari-hari baruku di rumah yang ia
persiapkan untuk pilihan hatinya. Perpustakaan kecil di sudut rumah menjadi
tempat favoritku. Menghabiskan waktu untuk melahap semua buku yang bertengger
di rak. Aku dahaga untuk ilmu yang tidak penah aku kenyam dulu. Pendidikan
sekolah menengah pertama tidak dapat aku tamatkan karena pertengkaran hebat
antara emak dan bapak yang berakhir dengan penelantaran yang kutanggung bersama
keempat adikku.
***
Kurasakankan tubuhku menggigil dan pandanganku
berkunang-kunang lalu gelap.
“Sayang, sudah siuman?” Suara yang tak asing
itu menyambutku saat mataku mulai terbuka. “Kamu demam, kutemukan kau terkulai
di lantai perpustakaan. Kamu terlihat sangat kelelahan. Beristirahatlah! Akan
kuhubungi dokter Agung untuk memeriksamu.”
“Mengapa tidak engkau yang memeriksa, Mas?”
Ia hanya menjawabku dengan senyuman yang
paling aku sukai dan berlalu menghilang di balik pintu. Aku menerawang
langit-langit kamar. Pandanganku belumlah jelas. Kurasakan sakit pada kepalaku.
Sakit yang sama seperti tempo hari yang membuatku terkulai di jalanan dan Danes
menemukanku.
“Maaf, Siska. Saya periksa dulu, ya!” Suara
Dokter Agung mengejutkanku.
“Kalau dihitung, pernikahan kalian sudah masuk
bulan ketiga, bukan?” Aku mengangguk.
“Siska, sudah ada telat?”
“Dua minggu, Dok. Kalau tidak salah hitung.”
“Dokter Danes, sebaiknya bawa istrimu periksa
kandungan. Menurutku, dia sedang mengandung. Adaptasi tubuhnya membuat dia
lemah, ditambah lagi dengan kondisi yang sedang kelelahan.” Penjelasan Dokter
Agung membuatku terperanjat kegirangan.
“Siska hamil, Dok?”
Danes pun menghambur ke arahku dan memberikan
pelukan. “Kau hamil, istriku. Ya, sebaiknya kita ke dokter kandungan untuk
lebih meyakinkan.”
***
Sembilan bulan sepuluh hari aku mengandung.
Kulalui hari-hari teristimewa tanpa kesah. Kini aku bertaruh nyawa di meja
operasi. Danes menggenggam erat kedua tanganku menguatkan di tengah
keresahanku. Kilatan belati itu mengaburkan pandanganku. Aku terkulai lunglai
di antara jemari yang mengaduk-ngaduk rahimku.
Tangis bayi menelusup di gendang telingaku.
Aku berusaha mencari sumbernya, tapi tak jua kutemui. Kumengitari seisi ruangan
putih penuh dengan peralatan medis. Kucoba gerakkan tubuhku yang terasa kaku.
“Sayang, sudah bangun?” Kulihat guratan
kekhawatiran menghias di wajahnya. “Engkau tidur begitu lama, istriku.”
“Berapa lama? Bagaimana bayi kita?”
“Ia sangat tampan, Siska. Kau lihat wajahku,
ia mewarisinya. Ia rindu bertemu denganmu. Sebentar, biar kubawa ke sini.” Aku
hanya mampu tersenyum penuh harap saat ia lekat menatapku.
“Maaf, menggangu!” Suara Dokter Hana
mengagetkan. “Ada hal yang sangat penting untuk disampaikan. Tapi, sebaiknya
Ibu Siska beristirahat dulu. Pak Danes bisa ikut ke ruangan saya?” Sambungnya.
“Katakan di sini saja, Dok. Apa yang terjadi?”
“Ibu Siska yakin?” Suara Dokter Hana bergetar.
Aku mengangguk.
“Saya minta maaf. Saya mewakili dokter yang
menangani Ibu Siska melahirkan di meja operasi. Saya minta maaf
sedalam-dalamnya atas kesalahan yang dilakukan oleh salah satu dokter.”
“Dok, langsung saja ke intinya.” Aku
penasaran.
“Ibu Siska, Pak Danes. Saya sangat berat hati
menyampaikan ini.” Ia terdiam dan menghela nafas panjang. “Sebaiknya putra
Bapak dan Ibu jangan diberi ASI. Selamanya.”
“Maksud dokter?” Pertanyaan yang juga
terlontar dari mulut Danes.
“Ada kesalahan kerja dan itu kesalahan kami.
Ibu Siksa seminggu terbaring koma karena kesalahan itu. Jarum suntik untuk
membius itu ternyata tidak hiegenis dan Ibu Siska....”
“Maksud dokter?” Kulihat dari mataku yang
tergenang, Danes mengguncang tubuh Dokter Hana yang tertunduk.
“Darah istri Bapak tercemar virus HIV. Maafkan
saya!”
***
“Darah istri bapak tercemar virus HIV.”
Ucapan itu selalu menggema memekakan gendang
telingaku. Hari-hari kulalui di atas kursi roda. Orang-orang di sekelilingku
pun satu persatu menjauh. Aku termarjinalkan oleh keluargaku sendiri.
Adik-adikku memberi jarak berkontak fisik denganku. Ayah dan Ibu mertua
berusaha keras memisahkan Danes dariku.
“Durhaka kau, Danes. Kau lebih memilih wanita
menjijikkan itu ketimbang orang tuamu!” Hardik Ibu mertuaku saat mendapati Mas
Danes dengan teguh mempertahankan aku sebagai Nyonya Danes Pramiswara.
“Ceraikan aku, Mas.” Kupecah suasana hening di
bawah pohon cemara yang tumbuh di halaman rumah. Danes yang sedang menimang
Rayyan, buah cinta kami, lantas tergopoh mendekatiku dengan tatapan mata
elangnya yang tak mampu kubalas.
“Ceraikan aku!” Kuulang ucapanku yang semakin
membuat tatapannya tajam mencabik-cabik harga diriku.
“Kau lihat putra kita ini, Siska? Meski di
darahnya tak mengalir air susumu, tapi ia titisanmu. Darah daging kita dan aku
tak akan pernah memisahkan Rayyan darimu. Apa pun kondisi dan keadaanmu. Kita
besarkan Rayyan bersama. Besarkanlah dia dengan doamu, Siska. Didiklah ia dengan
doamu. Aku tak akan pernah pergi meninggalkanmu.”
Ucapan Danes itu menyejukkan hatiku yang
kerontang di bawah sinar tajam mata-mata yang mengerdilkan jati diriku. Ia
merengkuhku. “Jangan khawatir! Aku mencintaimu. Aku tak akan menodai khidmatnya
akad kita. Aku tak akan mengingkari sumpahku di depan Tuhan.” Aku tersenyum
getir dan semuanya lamat-lamat gelap, pekat. Aku rebah di pangkuannya.
***
“Mas, mengapa kau menikahi wanita ternoda
sepertiku?” Suatu hari kulontarkan tanya yang selama ini terpendam. Sejenak ia
hentikan menyisir rambutku dan tertegun menatapku dari cermin. Aku menunduk
mendapati sorot mata elang itu menusuk jantungku. Ia mengecup rambutku.
“Aku melihat surga di matamu dan tak akan ada
pernikahan yang sakinah jika tidak denganmu.”
Kurebahkan tubuhku di dada bidangnya.
Kusunggingkan senyuman yang menurutku itu termanis. Di cermin itu, kulihat ia
pun tersenyum. Senyuman yang selalu aku peluk dalam tidur malamku.
Di lukisan tangannya, kini aku semakin sehat.
Sedikit-sedikit aku bisa membantu mengurus Rayyan, menggendongnya misalnya. Ia
membiarkan aku bercengkerama dengan buah hatiku yang hampir setahun tidak
pernah aku sentuh. Awalnya, Rayyan selalu menangis jika di tanganku. Mungkin
terasa asing. Tapi, untunglah lambat laun Rayyan mulai nyaman denganku.
“Ibu...!” Satu kata yang menyejukkan hatiku
yang dahaga atas panggilan itu. Kupeluk erat tubuh mungil Rayyan. Pelukan
pertama yang terjadi sejak ia lahir ke dunia. Kerinduanku pun tertawarkan oleh
sikap Rayyan yang mulai dekat denganku.
Oh, seperti inikah bahagianya menjadi seorang
ibu? Mas Danes pun menghamburkan kecupan di keningku dan kening Rayyan. Ia
menatapku teduh. Senyuman terfavoritku pun ia sunggingkan dari bibirnya. Ia
mengangguk membalas senyumku. “Terima kasih, Mas.”
“Aku mencintaimu, istriku. Sampai senja
mengaburkan pandanganku.”
Merekalah malaikatku yang membuka kepak
selimut sayap cakrawala hari-hariku kelak.
***
TENTANG PENULIS
Fauzi Rohmah lahir di Magelang, 01 Juni. Sejak
tahun 2014 aktif mengajar di SMKN 1 Kusan Hilir Kabupaten Tanah Bumbu,
Kalimantan Selatan sebagai guru Bahasa Indonesia. Prestasi pertama yang diraih,
yaitu sebagai juara harapan II lomba Penulisan Teks Kebahasaan bagi Guru SMP
dan SMA se-Kalimantan Selatan pada lomba Bulan Bahasa yang diselenggarakan oleh
Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2015.
Puisi-puisinya terbit dalam antologi bersama
penyair nasional, yaitu dalam antologi puisi Arus Puisi Sungai, Ayah, di
Bahumu Aku Bersandar, Ayo Goyang,
Di Bawah Pohon Willow, Menghempas Karang, Mereka dan Negeriku, Parade
Gelap, Percakapan Laut di Sungai
Kusan, Puisi Peduli Hutan, Senandung Kidung-Kidung Lara, Sobatologi, dan Untukmu Satu Nama. Selain itu, beberapa puisinya juga terbit dalam
antologi puisi Mengurai Ombak Menggapai Riak yang merupakan antologi bersama
Komunitas Bagang Sastra Tanah Bumbu tahun 2016. Cerpennya terbit bersama
cerpenis nasional dalam Bunga Abadi, Penantian, Warna Warni Cinta. Selain itu,
beberapa cerpennya juga terbit dalam Coklat Mappanretasi yang merupakan
kumpulan cerpen karya Komunitas Bagang Sastra Tanah Bumbu. Ia aktif dalam
Komunitas Bagang Sastra Tanah Bumbu.
0 comments:
Post a Comment