Karya Tajuddin
Noor Ganie
IKAN
BERJANGGUT DAN SAPI BERKEPALA DUA. Suatu hari, terbetik berita seorang peneliti ikan yang bekerja di
Kantor Dinas Perikanan menemukan ikan berjanggut. Mendengar berita itu aku dan
teman-teman sekelas segera berlarian ke kantor dimaksud yang terletak di Jalan
Jenderal Soedirman. Benar saja di sana kami melihat ada seekor ikan berukuran
cukup besar berada di dalam akuarium. Bentuknya seperti ikan gabus, namun
uniknya di bawah rahangnya tumbuh
beberapa helai janggut berwarna putih.
Penemuan ikan berjanggut itu membuat Kantor Dinas Perikanan
menjadi ramai dikunjungi orang. Aku sendiri, hampir setiap pulang sekolah
menyempatkan diri singgah di sana untuk melihat ikan berjanggut. Aku tidak
ingat lagi sampai berapa lama ikan berjanggut itu dipamerkan di serambi depan
kantor dimaksud.
Beberapa
tahun sebelumnya, Kantor Dinas Peternakan yang terletak di sebelah Kantor Dinas
Perikanan juga sempat membuat heboh warga kota Banjarbaru. Salah seorang dokter
hewan yang bekerja di sana menerima laporan dari seorang peternak sapi
binaannya bahwa induk sapi miliknya melahirkan anak sapi berkepala dua.
Sayang
sekali, sapi berkepala dua itu tidak berumur panjang. Bangkai sapi berkepala
dua iyu kemudian diawetkan dengan air keras dan dipajang sebagai koleksi
pameran di serambi depan kantor dinas dimaksud. Selama beberapa hari warga kota
Banjarbaru silih berganti berdatangan untuk melihatnya. Aku tidak tahu apakah
kantor dinas dimaksud masih menyimpan sapi berkepala dua yang diawetkan itu.
Dulu,
setiap kali Kantor Wilayah Departemen Penerangan Kalimantan Selatan menggelar
pameran pembangunan di lapangan Dokter Murjani, ikan berjanggut dan sapi
berkepala dua itu selalu ikut dipamerkan sebagai ikon di stand milik Kantor
Dinas Perikanan dan Kantor Dinas Peternakan.
Selain
mengunjungi ikan berjanggut dan sapi berkepala dua, aku, setiap pulang sekolah
selalu meluangkan waktu bermain-main di kebun binatang Minggu Raya. Lokasinya
persis di kawasan Taman Air Mancur DAWN Van Der Pijl sekarang ini. Koleksi yang
ada di kebon binatang ini tidaklah banyak, cuma seekor buaya, seekor ular
pyton, beberapa ekor burung, dan beberapa ekor monyet.
Puluhan
tahun kemudian di kota Banjarbaru kembali dibangun kebon binatang, yakni
sebagai bagian dari Taman Idaman. Dulu, di lokasi ini juga pernah ada taman
bunga, namun karena tidak dipelihara sebagaimana mestinya, maka taman itu akhirnya menjadi padang semak-semak yang
banyak dihuni ular berbisa.
***
UDIN ATRET DAN ANAI. Dulu di kawasan Pasar
Bauntung Banjarbaru ada gedung bioskop bernama Sederhana Theatre. Aku sering
ditertawakan teman-teman karena kata theatre kulafalkan menjadi tehe atre.
“Sederhana
Tehe Atre,” ujarku.
“Hahaha,
dari pada tehe atre lebih baik tahi atre saja,” komentar seorang teman.
“Hahaha,
atau tahi atret sekalian!” teman yang
lain menimpali.
“Hahaha,”
mereka tertawa terbahak-bahak.
“Lebih
pas lagi Udin Atret!”
“Hahaha,
ya ya ya Udin Atret lebih pas!”
“Udin
Atret!,” teriak mereka ramai-ramai
mengolok-olokku.
Aku
lalu menonjok temanku yang mengolok-olokku Udin Atret. Ia menangkis tonjokanku dan tangan kami pun beradu.
Selanjutnya kami pun berkelahi saling cakar, saling tinju, dan saling tendang
satu sama lainnya. Teman-teman yang lain bukannya melerai, sebaliknya malah
memprovokasi agar kami terus berkelahi .
Olok-olok
Udin Atret adalah olok-olok yang
paling kubenci, karena merupakan olok-olok yang menurutku paling kasar di
dunia. Betapa tidak? Udin Atret
merujuk kepada seorang pengidap sakit jiwa yang biasa mondar-mandir di kawasan
Pasar Bauntung Banjarbaru. Orang gila itu memang bernama Udin, sama seperti
namaku. Sedangkan atret artinya mundur (untuk becak, gerobak, atau
mobil). Mengapa orang gila itu dipanggil Udin Atret?.
Beginilah
ceritanya.
Udin
Atret berusia sekitar 40 tahun. Tubuhnya
pendek dan kurus kering. Ciri khas penampilannya adalah mengenakan sarung dan
kopiah butut. Ia hidup menggelandang di kawasan Pasar Bauntung Banjarbaru.
Pekerjaan utamanya adalah sebagai pengemis. Setiap pagi hingga siang menjelang
ia duduk di emperan sebuah toko di los pasar ikan. Berbeda dengan pengemis lain
yang bisanya cuma menadahkan tangan, Udin Atret
mengemis sambil melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an.
Udin
Atret akan berhenti mengemis jika los
pasar ikan sudah sepi pembeli. Ia lalu berdiri, dan mulutnya segera berbunyi menirukan suara
menderum mesin mobil yang dihidupkan.
“Drum
dum, drum dum, drum dum. Tit tit tit,” ujar Udin Atret menirukan bunyi mesin mobil dan bunyi klakson. Ia rupanya
sedang berfantasi tengah mengendarai sebuah mobil mewah berkeliling Pasar
Bauntung Banjarbaru.
Orang-orang
yang sudah terbiasa melihat kelakuan ganjil Udin Atret yang demikian itu akan saling berpandangan satu sama lainnya,
lalu tersenyum simpul sambil membuat isyarat tanda miring dengan telunjuk
tangan di dahinya.
Tidak
jarang di antara mereka ada yang iseng berteriak.
“Awas,
Din. Ada orang di depan. Atret dulu
nanti tertabrak!”
“Ya,
atret, Din. Atret. Terus. Terus!”
yang lain menambahkan sambil berlagak sebagaimana layaknya tukang parkir sedang
memandu pemilik mobil yang akan ke luar dari tempat parkir.
Udin
Atret lalu memundurkan langkahnya
mengikuti panduan yang diteriakkan oleh tukang parkir dadakan.
Hahaha,
semua orang yang melihat adegan humor itu tertawa terbahak-bahak.
“Sama!”
teriak seseorang.
Tidak
hanya aku saja yang dibuat tak nyaman dengan keberadaan Udin Atret di pasar Bauntung Banjarbaru.
Tetapi semua orang yang bernama Udin akan dipanggil Udin Atret oleh teman-temannya yang suka iseng atau suka berolok-olok.
Selain
Udin Atret, di Pasar Bauntung
Banjarbaru, masih ada warga lain yang juga sakit jiwa, yakni Anai. Anai berusia
sekitar 20 tahun. Tubuhnya tinggi dan gempal. Ciri khas penampilannya adalah
mengenakan baju hijau, celana hijau, dan topi baja sebagaimana layaknya seorang
tentara. Sayang sekali ia rupanya tidak memiliki sepatu tentara, sehingga
kemana-mana ia cuma mengenakan sepatu kets untuk olahraga. Berkaitan dengan
uniform yang dikenakannya maka beredarlah gosip bahwa Anai sakit jiwa karena
gagal dalam tes fisik dan mental untuk menjadi tentara.
Anai
tidak selalu berada di Pasar Bauntung Banjarbaru. Ia kadang-kadang terlihat
berjalan kaki ke arah Guntung Payung, Landasan Ulin, atau bahkan ke Astambul.
Sering kali ada orang iseng yang menanyakan di mana ia berada selama beberapa
hari sehingga tidak terlihat di Pasar Bauntung Banjarbaru. Anai tidak jarang
menjawabnya dengan tangkas : Siap, Komandan. Aku ikut latihan. Mau naik
pangkat.
He
he he, meskipun mengaku sering ikut latihan untuk keperluan naik pangkat, namun
tanda pangkat di bahu Anai tidak pernah berubah, tetap kopral.
“Anai,
katanya ikut latihan supaya naik pangkat. Kok, pangkatmu tetap kopral?
“Siap,
Komandan. Aku tidak lulus.”
“Hahaha,
kapan lulusnya, Nai.”
“Siap
Komandan. Aku tidak tahu.”
Ha
ha ha.…
Di
Pasar Bauntung Banjarbaru ada seorang gadis anak pedagang kelontongan yang
rupa-rupanya ditaksir Anai. Jika gadis yang bersangkutan berada di tokonya,
maka Anai akan berdiri di depan toko itu. Anai lalu menyanyi. Gadis penjaga
toko itu tidak takut kepada Anai, begitu pula halnya dengan para
pembeli. Sehingga kegiatan jual beli di toko itu tetap berlangsung sebagaimana
mestinya. Anai memang tidak pernah berbuat ulah yang membuat orang lain menjadi
takut kepadanya. Ia cuma menyanyi. Hanya itu.
Tapi,
sekali waktu, gadis penjaga toko tsb menjerit histeris. Orang-orang yang tengah
berada di sekitar toko langsung mengarahkan pandangan matanya ke arah suara
jeritan. Usut punyai usut ternyata Anai lupa menutup risliteng celananya, dan pistolnya tampak melongok di sana.
Hehehe.
Anai
rupanya frustrasi karena gadis yang ditaksirnya tidak pernah memberikan respon
sebagaimana yang diharapkannya. Padahal ia sudah bersusah payah menarik
perhatian dengan cara saban hari menyanyi di depan toko milik gadis pujaannya.
Pengeluaran pistol yang dilakukan secara
demostratif itu merupakan usahanya yang paling ekstrim. Sejak kejadian itu Anai
kena cekal alias tidak boleh lagi berada di sekitar toko milik gadis yang
ditaksirnya. Orang tua gadis selalu sigap mengusirnya dari tempat kejadian
perkara.
***
RITUAL MALAM DI
GEDUNG BIOSKOP SEDERHANA THEATRE BANJARBARU. Setiap malam Bioskop Sederhana Theatre menjadi
tempat berkumpul para pencandu filem, ada yang membeli tiket masuk, tetapi
tidak sedikit yang berusaha masuk ke dalam gedung bioskop dengan cara
menyerobot (tanpa karcis). Aku termasuk ke dalam kelompok yang ke dua ini
(kelompok penyerobot).
Begitulah,
setiap malam sehabis shalat Isya aku dan kakakku sudah berada di sekitar gedung
bioskop. Dari rumah kami jalan kaki ke sana karena jaraknya cuma 500 meter. Meskipun
jaraknya begitu dekat, aku tak pernah berani berangkat sendirian. Bukan karena
takut bertemu orang jahat atau bertemu hantu, tapi aku takut karena mataku
waktu itu terkena penyakit rabun senja (bahasa Banjar kaur hayaman).
Begitu
senja tiba, maka mataku tak bisa lagi melihat dengan jelas, semuanya terlihat
gelap. Apa lagi jalan menuju ke gedung bioskop tidak dilengkapi dengan
penerangan listrik yang memadai. Lampu listrik yang dipasang di tiang-tiang
listrik di sepanjang jalan bukanlah lampu merkuri yang terang benderang tapi
cuma lampu bohlam yang bersinar kuning temaram.
Setiap
kali berangkat menuju ke gedung bioskop, aku selalu berjalan dengan
tertatih-tatih. Tanganku berpegangan erat pada tangan kakakku. Keadaanku ketika
itu tak ubahnya seperti orang buta yang
dituntun saja. Situasinya akan lebih parah lagi ketika aku dan kakakku pulang
dari gedung bioskop sekitar pukul 24.00 wite. Bagiku, jalan sepertinya gelap
semua, tanpa penerangan sama sekali.
Begitu
tiba di kawasan gedung bioskop, kami berdua langsung berdiri di samping kiri
atau kanan pintu masuk ke gedung bioskop. Dari tempat yang strategis itulah
kami mengamati orang-orang yang sedang mengantri di depan pintu masuk ke gedung
bioskop. Inilah posisi yang menurut kami paling strategis. Setiap kali kami
melihat ada om-om atau bapak-bapak yang kami kenali sedang ikut mengantri di
sana, maka kami akan menyapanya atau sekadar memberi isyarat agar beliau
berkenan mengajak kami untuk masuk ke dalam gedung bioskop dengan berpura-pura
sebagai anak kemenakan mereka.
Taktik
ini cukup manjur, karena om-om atau bapak-bapak yang kami kenal itu sulit untuk
menolak permintaan kami. Beliau khawatir kami akan bercerita kesana kemari
bahwa om ini atau bapak itu adalah orang yang pamurunan (bahasa Banjar, artinya kurang lebih raja tega). Stigma pamurunan dalam konteks tidak mau
mengajak serta kemenakan menonton filem termasuk perilaku yang ketika itu bisa
merusak citra diri om-om atau bapak-bapak dimaksud.
Namun,
taktik ini tidak bisa dipraktekkan jika filem yang diputar pada malam itu
adalah filem untuk tujuh belas tahun ke atas. Para porter karcis yang bertugas
di pintu masuk bioskop ini pasti akan bertindak tegas melarang anak di bawah
umur menonton filem untuk tujuh belas tahun ke atas. Jika membandel maka
petugas porter akan memanggil penjaga keamanan
yang sangat disegani oleh siapa saja, yakni Polisi Milter. Keberadaan
Polisi Militer sebagai komponen penjaga keamanan merupakan salah satu
keistimewaan Bioskop Sederhana Theatre Banjarbaru ketika itu. Setiap kali
menghadapi kasus semacam ini aku biasanya menyesali diri mengapa usiaku tidak
cepat-cepat naik menjadi tujuh belas tahun ke atas.
Boleh
jadi, karena faktor kesulitan ekonomi yang dihadapi secara merata oleh segenap
warga kota Banjarbaru ketika itu, maka membeli karcis untuk menonton filem
dianggap sebagai pemborosan yang amat nyata. Dari pada dipakai untuk membeli
karcis menonton filem di bioskop, uangnya lebih baik dibelikan beras atau lauk
pauk untuk keperluan makan sehari-hari.
Setiap
malam suasana di sekitar bioskop Sederhana Theatre selalu eksplosif. Begitu
pintu masuk ditutup dan filem mulai diputar, maka anak-anak bengal yang berada
di luar akan mulai berbuat ulah menggedor-gedor pintu bioskop dengan batu atau
alat penukul lainnya sehingga menimbulkan kegaduhan luar biasa yang membuat
para penonton di dalam bioskop menjadi terganggu karenanya.
Tidak
tahan dengan teror gedoran semacam itu, maka petugas biasanya akan mengalah dan
membuka pintu bioskop. Sudah barang tentu orang-orang yang berada di luar
bioskop akan segera berebutan masuk ke dalam bioskop begitu pintu dibuka oleh
petugas jaga. Mereka para penonton gratisan ini harus rela menonton sambil
duduk di lantai yang jaraknya sekitar satu meter dari layar putih. Pulang dari
gedung bioskop mata mereka akan berkunang-kunang dan leher mereka terasa
pegal-pegal karena terlalu lama mendongak.
Bila
pintu masuk gedung bioskop tak kunjung dibuka oleh petugas jaga, maka anak-anak
bengal Banjarbaru akan melakukan
berbagai usaha lain untuk membuka paksa pintu masuk yang sudah dikunci rapat
oleh petugas jaga. Anak-anak bengal Banjarbaru ketika itu tidak segan-segan
melengkapi diri dengan sejumlah peralatan yang dapat digunakan untuk membobol
pintu masuk gedung bioskop, seperti obeng, pisau belati, atau parang. Sekali
waktu aku bahkan mendengar mereka membawa linggis dan membobol dinding beton
toilet bioskop yang tidak dijaga petugas.
Suatu
malam aku mengalami nasib nahas, ketika itu suasana di luar gedung bioskop
sedang chaos atau kacau balau. Dua kelompok anak bengal terlibat cekcok, mereka
saling melempar batu, dan tanpa sempay berkelit sebutir batu nerujung runcing
melayang ke arahku dengan cepat, dan crap… menancap di kepalaku.
Darah
segar langsung muncrat dari kepalaku, tak lama kemudian aku pingsan. Ketika
siuman aku sudah berada di rumah. Kakakku bercerita tubuhku yang pingsan
dibopong ramai-ramai oleh teman-teman sekampung menuju ke rumah. Peristiwa
nahas itu membuat kami berdua dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tuaku.
Menonton
film termasuk hiburan yang ketika itu sangat digemari oleh warga kota
Banjarbaru. Selain menonton filem di bioskop Sedehana Theatre, warga kota
Banjarbaru juga sering diberi kesempatan untuk menonton filem gratis yang
diputar oleh Jawatan Penerangan. Meskipun filem yang diputar oleh instansi
pemerintah ini adalah filem yang itu-itu juga, warga kota Banjarbaru tak pernah
melewatkan kesempatan menonton filem gratis ini. Filem yang sering diputar
adalah filem binatang purba yang menyerang dan membuat kerusakan di sebuah
kota. Belakangan baru aku tahu binatang purba dimaksud adalah dinosaurus.
(Bersambung...)
***
Berminat
membaca cerpen-cerpen lainnya dalam? Silakan membacanya di buku Masa Lalu di Banjarbaru. Pembelian
buku bisa melalui nomor 08195188521.
0 comments:
Post a Comment