Sebuah Cerpen Saifun Arif Kojeh
Rumah itu sederhana, atap dan
dindingnya dari daun Nipah, hanya lantainya dari kayu Meranti. Luasnya empat
kali lima meter persegi. Ruangan dapur dan kamar tidur saling berdekatan. Di
bagian kiri ruangan dapur dan kamar tidur terdapat ruang tengah, digunakan
untuk bersantai keluarga. Ruangan tengahnya tak terlalu lebar. Rumah sederhana
itu, dulunya dihuni oleh empat orang. Seorang suami dengan istrinya beserta dua
orang anaknya. Sekarang, rumah itu hanya dihuni oleh dua orang saja. Seorang
anak wanita yang berumur empat belas tahun dan seorang umaknya. Mereka
tinggal berdua menghuni rumah itu sejak ditinggal meninggal apaknya dan
kepergian abang anak perempuan itu yang tak tahu rimbanya.
Anak itu duduk santai di
dekat tikar pucok. Umaknya juga duduk tak jauh duduk di dekatnya.
Umaknya sedang menghisap rokok pucok yang diberi tembakau shag.
Aroma asap rokok mengepul bermain-main di atas kepala mereka. Setelah itu asap
rokok kabur melalui lelongop rumahnya yang sengaja terbuka. Sesekali
tangan umaknya yang sudah terlatih menganyam tikar pucok baru
yang terbuat dari daun pucok nipah muda yang sudah dikeringkan. Anak itu
bertanya kepada umaknya.
”Mak, abang ke mana?
Sudah berapa bulan ini tak ada di rumah?”
Umaknya
hanya diam. Tak memberikan jawaban. Umaknya terus saja meneruskan
menganyam tikar pucoknya.
Anaknya mengulangi
pertanyaannya lagi.
”Mak, abang ke mana?
Sudah berapa bulan ini tak ada di rumah?”
Umaknya
tetap diam. Tak terpengaruh dengan apa yang ditanyakan anaknya.
Anaknya tambah penasaran.
”Mak, jawablah
pertanyaan ini. Abang ke mana?”
Anaknya mendesak.
Umaknya
segera menoleh mendengarkan desakan anaknya itu yang mengusik pekerjaannya
menganyam tikar pucok. Umaknya memperhatikan anaknya. Wajah
mendung terlihat sekali di wajah umaknya. Seakan umaknya menyimpan
rahasia kepiluan tentang abang dari si anaknya yang bertanya tersebut. Karena
itulah umaknya sulit untuk mengungkapkannya.
”Mak, tolong jawablah.
Saya ingin tahu abang ke mana?”
Anaknya merengek. Meminta
dengan berharap.
Umaknya
tambah pilu. Sepatah kata tak terucap. Air mata keluar dari mata bening umaknya.
Melihat umaknya menangis, anaknya timbul rasa kasihan. Akhirnya anaknya
tak bertanya lagi. Anaknya tak ingin umaknya bersedih.
Belum saatnya anak bungsunya
mengetahui perihal tentang abangnya. Nanti saja. Kalau anak bungsunya sudah
dapat menerima kenyataan pahit itu, barulah umaknya akan
memberitahukannya. Biarlah sementara ini anak bungsunya dipenuhi dengan
pertanyaan tentang abangnya berada. Nanti setelah anak bungsunya berumur tujuh
belas tahun, barulah dia akan memberitahukan perihal abangnya kepada anak
bungsunya.
Karena, menurut pandangan umaknya
bahwa umur tujuh belas tahun merupakan umur di mana anak bungsunya akan
mendapatkan kedewasaan berpikir. Dengan kedewasaan berpikir, anaknya akan
memiliki ketahanan mental. Dengan ketahanan mental yang dimiliki anak
bungsunya, anak bungsunya akan kuat dan tabah menerima kenyataan pahit yang
akan diungkapkan umaknya mengenai abangnya.
Anaknya itu tak berhenti
mencari jawaban keberadaan abangnya pada teman-teman abangnya atau tetangganya
yang pernah melihat abangnya. Tetapi jawaban yang didapatkannya selalu beragam.
Bermacam-macam.
”Abangmu pergi berlayar
menggunakan perahu besar bersama teman-temannya mengarungi lautan luas. Lalu
saya lihat dari kejauhan kapal abangmu sudah berada di tengah lautan. Setelah kapal
abangmu berada di tengah lautan. Seketika angin bertiup dengan kencang. Langit
mengombak hitam. Gelombang membesar menghantam kapal abangmu. Kapal abangmu
miring ke kanan dan ke kiri. Oleng. Akhirnya kapal abangmu pecah. Jeritan
kepiluan terdengar sayup-sayup yang dilayangkan oleh angin pada saya. Saya tak
dapat berbuat apa-apa. Tak dapat memberikan pertolongan, karena gelombang
begitu besar. Kalau saya paksakan untuk menolong penumpang kapal yang
ditumpangi abangmu sama saja dengan bunuh diri. Saya hanya bisa menyaksikan
kejadian itu dari kejauhan saja. Dengan dalam hati saya berdoa semoga gelombang
laut yang besar cepat mereda. Rupanya doa saya dikabulkan Tuhan. Seketika
gelombang laut mulai mengecil dan mereda. Barulah setelah itu saya dapat berbuat.
Melaporkan kejadian kapal abangmu yang tenggelam dan pecah itu ke regu
penyelamat. Sekelompok regu penyelamat
segera memberikan pertolongannya. Regu penyelamat hanya menemukan mayat
teman-teman abangmu, tetapi mayat abangmu tak pernah ditemukan. Mereka menyimpulkan
bahwa abangmu meninggal dunia dimakan ikan Hiu.”
”Saya pernah melihat Abangmu
pergi berburu ke sebuah hutan. Abangmu terus menelusuri hutan itu sampai ke
hutan yang tak pernah dimasuki orang. Karena hutan itu dikenal keangkerannya.
Tapi abangmu begitu tupal. Abangmu terus memasuki hutan itu. Setelah
memasuki hutan itu abangmu tak pernah
kembali-kembali. Karena hutan yang dimasuki abangmu adalah hutan
sibayan. Mungkin saja abangmu meninggal dunia dimakan hantu penguasa hutan
tersebut.”
”Saya melihat abangmu dibunuh
hantu rumpun bambu ketika abangmu tak mengindahkan perkataan umakmu.
Agar bepusa’ dengan ubi rebus dan
air kopi yang telah dihidangkan. Nanti bisa kempunan. Tapi abangmu pergi
begitu saja. Sehingga tak sempat memakan ubi rebus dan air kopi yang disediakan
umakmu. Abangmu meninggal dunia karena kempunan.”
Semakin banyak versi cerita
tentang kepergian abangnya. Kepergian abangnya selalu dikaitkan dengan kematian
yang membuatnya pusing kepala. Karena, cerita yang disampaikan orang-orang tentang
abangnya tak ada kaitan antara satu dengan yang lainnya. Anak itu tak percaya
bahwa abangnya sudah meninggal dunia. Apalagi abangnya meninggal dunia dimakan
ikan Hiu. Dimakan hantu penguasa hutan sibayan. Dimakan hantu rumpun
bambu karena kempunan. Dia menepis semuanya. Bahwa apa dikatakan
orang-orang tentang abangnya tak benar. Hati kecilnya mengatakan abangnya belum
meninggal dunia. Abangnya masih hidup. Abangnya tak pernah kembali ke rumah
karena ada masalah. Bisa saja masalah abangnya dengan umaknya atau
tetangganya? Itulah yang ingin diketahuinya. Sumber akurat tentang
ketidakhadiran abangnya di rumah adalah umaknya. Untuk itulah, anak itu
akan terus menanyakan keberadaan abangnya pada umaknya. Agar umaknya
dapat memberikan penjelasan yang akurat tentang abangnya. Sebab dia begitu
menyayangi abangnya.
Dia teringat abangnya yang
selalu mengasihi dan melindunginya. Pernah sekali dia diusili teman-temannya
hingga menangis. Abangnya langsung memarahi anak yang membuatnya menangis. Anak
itu merasa takut untuk mengusilinya lagi. Karena, takut dimarahi abangnya.
Selain itu, pernah sekali dia minta jambu monyet dengan abangnya. Dengan
seketika abangnya memanjat jambu monyet milik tetangganya. Abangnya
mengambilkan jambu monyet tersebut. Membuat dia menjadi senang. Abangnya selalu
memenuhi keinginannya. Abangnya selalu menjaganya. Tetapi kini, abangnya tak
berada di sisinya. Dia merasa kesepian. Seakan ada separuh kehidupannya yang
hilang. Untuk itulah, sampai kapanpun dia akan berusaha menemukan abangnya. Karena,
abangnya adalah orang yang paling baik di mata kehidupannya selain umaknya.
*****
”Mak, kenapa saya tak
boleh tahu tentang abang? Sebenarnya abang ke mana?” tanyanya.
Saat itu umaknya sedang
menjahit pakaian robek dengan menggunakan jarum. Umaknya tak
memedulikannya. Umaknya terus saja menjahit pakaian yang robek.
Dia semakin penasaran.
Mengapa umaknya tak pernah menjawab pertanyaannya mengenai abangnya?
Kalau pertanyaannya semakin mendalam tentang abangnya, umaknya akan
meneteskan airmata? Sebenarnya apa yang telah terjadi pada abangnya? Apakah
benar abangnya telah meninggal dunia seperti yang diceritakan teman-teman
abangnya atau tetangga yang pernah melihat abangnya sebelum kejadian nahas itu
menimpa abangnya? Benarkah abangnya meninggal dunia dimakan ikan hiu? Benarkah
abangnya meninggal dunia dimakan hantu hutan sibayan? Benarkah abangnya
meninggal dunia dimakan hantu rumpun
bambu karena kempunan? Betulkah abangnya meninggal dunia karena kempunan?
Betulkan kempunan akan membuat orang meninggal dunia? Jangan-jangan....
Dia teringat tentang kematian
apaknya. Dia mendapat kabar dari teman-teman apaknya. Apaknya
meninggal karena kempunan. Kempunan dengan sayur rebong nibong. Apaknya
meninggal ditimpa pokok kayu yang telah ditebangnya. Kepala apaknya
pecah. Mayat apaknya dibawa teman kerjanya dari bagan di sungai
dungun ke rumah dengan menggunakan spit dua peka dan mayat apaknya
diletakkan di sampan yang ditarik dengan spit dua peka. Mayat apaknya
tiba di rumah sekitar pukul lima sore yang disambut dengan tangisan
keluarganya. Seakan tangisan itu tak merelakan kepergian apaknya yang
merupakan tulang punggung keluarga. Apaknya dimakamkan hari itu juga
agar tak lama menggantung roh apaknya untuk menemui Tuhannya.
Apaknya
meninggal karena kempunan. Betulkah abangnya juga meninggal dunia karena
kempunan? Kalau benar begitu adanya, mengapa semua keluarganya harus
meninggal karena kempunan? Betulkah kempunan merupakan kutukan
turunan dari leluhurnya? Kalau benar, apa dosa yang telah dilakukan oleh
leluhurnya dulu sehingga anak cucunya menanggung beban derita berat seperti
ini. Meninggal karena kutukan kempunan. Kalau benar ini kutukan. Sampai
kutukan berapa kematian kempunan itu akan berakhir? Sampai berapa
keturunan? Apakah keluarganya adalah keturunan terakhir yang menerima kutukan
itu atau sebaliknya. Atau kutukan kempunan tak akan berhenti untuk
selama-lamanya.
Tidak. Saya harus
memastikannya. Benarkah abang meninggal dunia karena kempunan. Bantahnya
sendiri pada hatinya. Saya harus meminta penjelasan umak.
”Mak, benarkah abang
meninggal dunia karena kempunan?”
Umaknya
seketika menghentikan jahitannya. Umaknya kaget dengan pertanyaan
anaknya. Umaknya memperhatikan anaknya dengan saksama.
”Kamu dapat darimana
informasi itu?”
Umaknya
balik bertanya.
”Teman-teman abang dan
tetangga kita yang pernah melihat abang sebelum abang meninggal dunia. Benarkah
Mak yang dikatakan mereka?”
Umaknya
menghembuskan napasnya yang pendar, karena gejolak hatinya yang begitu lama
menyimpan rahasia kematian tentang anak tertuanya. Kematian anak tertuanya
karena kempunan. Apa yang dikatakan oleh teman-teman dan tetangganya,
benar. Tapi, belum saatnya, umaknya memberitahukan kematian anak
tertuanya kepada anak bungsunya.
”Belum saatnya kamu
mengetahuinya, Nak. Nanti suatu saat Umak akan memberitahukan padamu
ketika kamu sudah dewasa dan siap menerima kenyataan tentang Abangmu.”
”Kapan Mak, bukankah
umur saya sudah dewasa.”
”Belum, Nak. Jikalau kamu
sudah berumur tujuh belas tahun. Umak akan memberitahukan sebenarnya
tentang kemana Abangmu pergi dengan sejelas-jelasnya. Mengapa Abangmu tak
pernah ada di rumah bersama kita? Apakah Abangmu sudah meninggal atau belum? Umak
akan memberitahukan padamu pada pukul 17.00 atau jam lima sore. Jadi
bersabarlah kamu menunggu umurmu sampai tujuh belas tahun.”
”Tapi lama sekali, Mak.
Masih tiga tahun lagi. Mengapa tidak sekarang?”
”Bersabarlah, Nak. Waktu itu
akan tiba. Mak, mau ke kamar dulu. Mak mau istirahat. Jahitan Mak
yang belum selesai nanti Mak lanjutkan besok saja.”
Umaknya
lalu meninggalkannya.
Dia tak dapat mencegah umaknya.
Dia hanya bisa berpikir sejenak. Lama sekali dia harus menunggu kabar tentang
abangnya sampai tiga tahun. Sebenarnya apa yang dirahasiakan umaknya
tentang abangnya? Jangan-jangan abangnya telah meninggal dunia karena kempunan.
Ah, tak boleh saya berpikir
seperti itu. Saya yakin abang masih hidup. Abangkan pernah berjanji akan selalu
menyayangi dan melindungi saya.
Bang, di mana kamu berada.
Adik selalu merindukanmu. Kembalilah pada adik. Kita rajut lagi kebersamaan dan
keceriaan kita seperti dulu.
Umurnya masih empat belas
tahun. Lama sekali menunggu umurnya sampai tujuh belas tahun. Agar dia
mendapatkan kejelasan berita tentang abangnya yang disayanginya. Tiga tahun
penantiannya untuk mencapai umur tujuh belas tahun sungguh waktu lama dalam
pergolakan perasaannya. Jikalau waktu tiga tahun bisa diputar sekejap itu. Maka
ingin rasanya dia menggenapkan umurnya tujuh belas tahun dalam detik itu.
Tetapi, waktu selalu berputar sesuai dengan aturan dari pembuat waktu. Waktu
tak bisa dirubah dan terus berjalan sesuai kodratnya.
Dalam waktu penantian tiga
tahun itu. Anak itu tak pernah menanyakan lagi ke mana abangnya pergi kepada umaknya?
Karena, anak itu tak ingin membuat umaknya bersedih lagi. Anak itu yakin
bahwa umaknya tak akan membohonginya. Saat umurnya tujuh belas tahun, umaknya
akan memberitahukan padanya tentang abangnya sejelas-jelasnya tepat pukul tujuh
belas. Pukul tujuh belas yang sama dengan jam lima sore. Anak itu mengerti
bahwa umaknya adalah orang yang jujur dan tak pernah berbohong pada
siapapun, termasuk dirinya. Apa yang selalu dikatakan umaknya tak pernah
diingkarinya, selalu ditepati umaknya.
*****
Cuaca tenang tak menampakkan
mendung sore itu. Matahari sudah tak segarang tengah hari. Angin bertiup sejuk
dan lembut menembus lubang-lubang angin rumah itu. Seorang anak bungsu sedang
duduk berhadapan dengan umaknya di ruang tengah. Dia lagi menunggu
sebuah kepastian mengenai kabar abangnya. Apakah sudah meninggal dunia atau
belum? Umaknya menghisap rokok pucok tambah tembakau shag.
Asapnya mengepul. Berputar-putar bulat seperti piring ufo yang kemudian
menghilang di balik lubang-lubang angin rumah. Umaknya berusaha bersikap
tenang. Umaknya memandang anak bungsunya dengan tatapan iba. Sesekali umaknya
berdehem. Setelah itu umaknya berbicara.
”Anakku, hari ini Umak
akan mengungkapkan kebenaran tentang Abangmu yang selalu kamu tanyakan. Umak
yakin, kamu dapat menerima kabar ini dengan sabar bukan mengandalkan emosi.
Nak, Abangmu sudah...”
Tok...Tok....
Bunyi ketukan di pintu
memutuskan kata Umaknya yang akan memberitahu perihal abangnya.
Siapa lagi yang bertamu
sore-sore begini? Buat kerjaan saja. Ganggu urusan orang saja, dumal si anak
bungsu.
”Nak, coba kamu lihat siapa
yang datang? Dan tanya juga apa keperluaannya?” suruh Umaknya pada Si
Bungsu.
”Baik Mak, perintah Umak
saya laksanakan,” jawab Si Bungsu.
Si Bungsu segera menuju
pintu. Pelan-pelan dibukanya pintu. Si Bungsu pun terperanjat melihat orang
yang datang. Kegembiraannya meluap-luap. Orang yang berdiri di depannya adalah
abangnya yang selalu dirindukannya. Abangnya membawa bundelan di bahunya.
Postur tubuhnya sedikit kurus. Tapi, tak masalah. Si Bungsu merangkul abangnya.
Abangnya juga melakukan hal yang sama. Mereka berharu-biru. Sudah lama tak bertemu.
Selesai berangkulan Si Bungsu mengajak abangnya masuk. Kemudian Si Bungsu
berteriak dengan girangnya.
”Mak, Abang sudah
pulang.”
”Apa?” kaget Umaknya
menoleh ke arah teriakan Si Bungsu. Umaknya beranjak dari duduknya
melihat apa yang sebenarnya yang dikatakan Si Bungsu. Benar. Umaknya
melihat anak sulungnya berada di depan matanya. Anak sulungnya bergandengan
mesra dengan anak bungsunya. Tanpa diperintahnya cairan bening ke luar dari
matanya. Cairan bening karena terharu atau bahagia, Umaknya tak tahu.
Namun, dalam hatinya terus berkecamuk sebuah perasaan. Perasaan yang menanyakan
pada hatinya.
Benarkah ini nyata anak
sulungnya? Bukankah anak sulungnya sudah mati ditabrak mobil karena kempunan?
Jangan-jangan dia hanya bermimpi...
Umaknya
mengerjip-ngerjipkan matanya untuk membuktikan apakah dia bermimpi melihat anak
sulungnya? Ternyata, dia tak bermimpi. Anak sulungnya tetap tak hilang dari
pandangan matanya. Anak sulungnya tetap berada di samping anak bungsunya. Dia
bingung sendiri dengan semua kejadian ini.
”Mak, maafkan anakmu
karena telah membuat Umak menderita,” kata anak sulungnya sembari
merangkul umaknya.
Umaknya
tak bergeming saat anak sulung merangkulnya. Karena dia masih dalam
kebingungan.
*****
Pontianak,
28 Mei 2009
Keterangan.
kempunan:
Kejadian jelek yang menimpa seseorang yang selalu
dikaitkan dengan tidak memakan atau
meminum sesuatu sebelum kejadian jelek itu terjadi
apak:
bapak; ayah
umak:
ibu; mama
tikar pucok:
tikar yang dibuat dari anyaman daun pandan yang
dikeringkan
rokok pucok:
rokok yang terbuat dari daun nipah muda yang dikeringkan
lelongop:
jendela rumah
pokok kayu:
pohon kayu
daun pucok nipah:
daun nipah yang muda
tupal:
bandel; tidak peduli dengan nasihat orang tua
hutan sibayan:
hutan tempat bersemayam para hantu dan dedemit
bepusa’:
sedikit menjawil atau menjamah makanan yang dihidangkan
rebong nibong:
umbut muda pohon nibung
Biodata Penulis
SAIFUN ARIF KOJEH adalah nama pena dari Raden Sarifudin, lahir di Durian Sebatang, Kecamatan Seponti, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat, pada tanggal 8 Desember 1977. Karyanya berupa puisi, cerpen, cerber, novelet, novel, diari penulis, cerita rakyat, bahkan kini merambah menulis artikel populer di berbagai media massa.
Antologi cerpen tunggalnya
adalah Kembalinya Tarian Sang Waktu (Literer Khatulistiwa,
Januari 2010). Karya-karyanya
dimuat dalam antologi bersama Bianglala terbitan
BKK Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Untan Pontianak edisi 2001, antologi Ketika
Penyair Bercinta berupa e-book disiarkan di evolitera.com, antologi puisi Reliji
Lintas Negara berupa e-book disiarkan di evolitera.com. Puisi
tunggalnya adalah Tafakur Cinta
(Pijar Publishing, 2006), Sembahyang Puisi Menerjemahkan Rindu
(Literer Khatulistiwa, Januari 2010)
0 comments:
Post a Comment