Secara ringkas, buku Teori Menulis Cerpen karya Tajuddin Noor Ganie memuat jati diri cerpen; sejarah awal penulisan cerpen di dunia dan di Indonesia; etimologi dan definisi cerpen; unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik cerpen; kiat-kiat mencari, menemukan, dan mengolah sumber ilham penulisan cerpen; kiat-kiat membangun motivasi sebagai penulis cerpen pemula; tahap-tahap penulisan cerpen, kiat-kiat menciptakan tokoh cerita, menata urutan peristiwa cerita, dan kiat-kiat menggambarkan latar tempat, waktu, dan suasana dalam proses kreatif penulisan cerpen; serta kiat-kiat bercerita untuk membentuk dan menghidupkan cerpen.
Di bawah
ini adalah salah satu isi bukunya.
Kiat-Kiat
Mencari dan Menemukan Sumber Ilham untuk Penulisan Cerpen
Para calon penulis cerpen banyak yang
mengeluhkan kesulitan mereka dalam mencari dan menemukan sumber ilham untuk
penulisan cerpen mereka. Menanggapi keluhan itu Ernest Hemingway (1899-1961)
memberikan saran sebagai berikut.
“Buka
jendela rumahmu lebar-lebar dan lihatlah sejauh mungkin. Dunia dan semua isinya
serta kehidupan kita adalah sumber cerita dan setiap peristiwa adalah
keajaiban” (dalam Pranoto, 2007:22).
Hamsad Rangkuti sebagaimana yang dikutipkan
oleh Pranoto (2007:22) banyak mendapatkan sumber ilham untuk penulisan
cerpennya dari pergaulannya dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, seperti
tukang becak, penjual gado-gado, penjual nasi uduk, tukang ngamen di kereta
api, tukang parkir dan banyak lagi yang lainnya.
“Makin
banyak bergaul dan memahami dunia dan karakter mereka, maka makin banyak ide
yang kita dapatkan dan tinggal ditulis saja.”
Hamsad Rangkuti dikenal sebagai cerpenis yang
banyak mengangkat tema kehidupan rakyat jelata. Judul buku kumpulan cerpennya
yang terkenal adalah Bibir dalam Pispot (Buku Kompas Jakarta, 2004).
Mark Twain, cerpenis terkemuka di Amerika
Serikat memberikan saran kepada calon penulis cerpen agar mereka mencari fakta
lebih dulu baru kemudian menuliskannya menjadi karya fiksi.
Fakta yang paling ekonomis yang dapat
diperoleh oleh siapa saja adalah fakta yang bersumber dari diri sendiri
(pengalaman hidup).
Tahap berikutnya, dari pergaulan atau
sosialisasi alami. Misalnya sosialisasi antar anggota keluarga, tetangga, dan
teman bermain (Pranoto, 2007:24)
Sedangkan sosialisasi dengan teman sekolah,
teman berbisnis,dan teman sejawat adalah
sosialisasi yangdibentuk oleh sistem tertentu dan harus ditaati.
Lebih luas lagi, yaitu bersosialisasi yang
bersifat jaringan luas dan jauh, memerlukan biaya yang relatif besar, misalnya
melaukan traveling atau pergi
merantau (ibid).
Sumber lain yang dapat dimanfaatkan sebagai
ide cerita, tetapi bernilai ekonomi tinggi (perlu biaya dan waktu khusus),
yakni membaca buku-buku sejarah, psikologi, sosiologi, dan kebudayaan.
Penggalian ide yang semacam ini biasanya hanya dapat dilakukan oleh seorang
cerpenis yang tekun (ibid).
Susan Sontag sebagaimana yang dikutipkan Pranoto (2007:24-25)
menyarankan sebagai berikut.
“Untuk mendapatkan
ide cemerlang, sebaiknya sebelum menulis cerita, membaca dulu karya-karya
sastra berbobot sebagai pencerahan pikiran. Kemudian petakan ide yang akan
ditulis berdasarkan pengamatan dan penghayatan total. Bila pikiran cerah maka
proses penggalian ide akan objektif dan menjadi ekspresif pada saat
dituliskan.”
“Karena, bagaimana
pun, cerpen yang berbobot haruslah berakar dari fakta dan disajikan dengan
media bahasa yang memadai. Untuk punya kemmapuan menyajikan media bahasa yang
baik perlu banyak membaca karya sastra."
Berminat
membaca bagian-bagian lainnya? Silakan membacanya di buku Teori Menulis Cerpen. Pembelian buku
bisa melalui nomor 08195188521
0 comments:
Post a Comment