Mungkin
sebagian orang hanya mengenal Buya Hamka sebagai ulama yang kukuh memegang
ajaran agamanya. Sebagian yang lain bisa jadi telah membaca novel-novelnya
semisal Di Bawah Lindungan Kakbah dan
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
sehingga mereka mengenalnya sebagai novelis ternama Indonesia. Atau sebagian
lainnya mengenalnya sebagai ulama yang sastrawan.
Lalu
terpikirkah bahwasannya pemilik nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah itu juga
seorang penyair?
Putera
Haji Rasul tersebut telah menulis puisi-puisi semasa hidupnya. Dikutip dari
beberapa sumber, di bawah ini adalah puisi-puisi pilihan karyanya yang
bernuanasa agama, bangsa, dan cinta. Masing-masingnya
satu buah puisi.
Bernuansa
agama:
Nikmat
Hidup
Setelah
diri bertambah besar
di tempat kecil tak muat lagi
Setelah harga bertambah tinggi
Orang pun segan datang menawar
di tempat kecil tak muat lagi
Setelah harga bertambah tinggi
Orang pun segan datang menawar
Rumit
beredar di tempat kecil
kerap bertemu kawan yang culas
Laksana ombak di dalam gelas
diri merasai bagai terpencil
kerap bertemu kawan yang culas
Laksana ombak di dalam gelas
diri merasai bagai terpencil
Walaupun
musnah harta dan benda
Harga diri janganlah jatuh
Binaan pertama walaupun runtuh
Kerja yang baru mulailah pula
Harga diri janganlah jatuh
Binaan pertama walaupun runtuh
Kerja yang baru mulailah pula
Pahlawan
budi tak pernah nganggur
Khidmat hidup sambung bersambung
Kadang turun kadang membumbung
Sampai istirahat di liang kubur
Khidmat hidup sambung bersambung
Kadang turun kadang membumbung
Sampai istirahat di liang kubur
Tahan
haus tahanlah lapar
bertemu sulit hendaklah tenang
Memohon-mohon jadikan pantang
dari mengemis biar terkapar
bertemu sulit hendaklah tenang
Memohon-mohon jadikan pantang
dari mengemis biar terkapar
Hanya
dua tempat bertanya
pertama tuhan kedua hati
Dari mulai hidup sampai pun mati
timbangan insan tidaklah sama
pertama tuhan kedua hati
Dari mulai hidup sampai pun mati
timbangan insan tidaklah sama
Hanya
sekali singgah ke alam
sesudah mati tak balik lagi
Baru rang tahu siapa diri
setelah tidur di kubur kelam
sesudah mati tak balik lagi
Baru rang tahu siapa diri
setelah tidur di kubur kelam
Wahai
diriku teruslah maju
di tengah jalan janganlah berhenti
Sebelum ajal, janganlah mati
keridhaan Allah, itulah tuju
di tengah jalan janganlah berhenti
Sebelum ajal, janganlah mati
keridhaan Allah, itulah tuju
Selama
nampak tubuh jasmani
gelanggang malaikat bersama setan
Ada pujian ada celaan
lulus ujian siapa berani
gelanggang malaikat bersama setan
Ada pujian ada celaan
lulus ujian siapa berani
Jika
hartamu sudah tak ada
belumlah engkau bernama rugi,
Jika berani tak ada lagi
separuh kekayaan porak poranda,
belumlah engkau bernama rugi,
Jika berani tak ada lagi
separuh kekayaan porak poranda,
Musnah
segala apa yang ada
jikalau jatuh martabat diri,
Wajah pun muram hilanglah seri
ratapan batin dosa namanya,
jikalau jatuh martabat diri,
Wajah pun muram hilanglah seri
ratapan batin dosa namanya,
Jikalau
dasar budimu culas
tidaklah berubah kerana pangkat,
Bertambah tinggi jenjang di tingkat
perangai asal bertambah jelas,
tidaklah berubah kerana pangkat,
Bertambah tinggi jenjang di tingkat
perangai asal bertambah jelas,
Tatkala
engkau menjadi palu
beranilah memukul habis-habisan,
Tiba giliran jadi landasan
tahanlah pukulan biar bertalu,
beranilah memukul habis-habisan,
Tiba giliran jadi landasan
tahanlah pukulan biar bertalu,
Ada
nasihat saya terima
menyatakan fikiran baik berhenti,
sebablah banyak orang membenci
supaya engkau aman sentosa,
menyatakan fikiran baik berhenti,
sebablah banyak orang membenci
supaya engkau aman sentosa,
Menahan
fikiran aku tak mungkin
menumpul kalam aku tak kuasa,
Merdeka berfikir gagah perkasa
berani menyebut yang aku yakin,
menumpul kalam aku tak kuasa,
Merdeka berfikir gagah perkasa
berani menyebut yang aku yakin,
Celalah
saya makilah saya
akan ku sambut bertahan hati,
Ada yang suka ada yang benci
hiasan hidup di alam maya
akan ku sambut bertahan hati,
Ada yang suka ada yang benci
hiasan hidup di alam maya
Kalaulah
timbul tengkar-bertengkar
Antara yang benci dengan yang sayang
Itulah alamat sudah membayang
Kewajiban hidup telah kubayar
Wahai diriku teruslah maju
Di tengah jalan jangan berhenti
Sebelum ajal janganlah mati
Keridaan Allah, itulah tuju
Bernuansa bangsa:
Di Atas Runtuhan Kota Melaka
Di atas runtuhan Melaka lama
Penyair termenung seorang diri
Ingat Melayu kala jayanya
Pusat kebesaran nenek bahari
Di atas munggu yang ketinggian
Penyair duduk termenung seorang
Jauh pandangku ke pantai sana
Ombak memecah di atas karang
Awan berarak mentilau bernyanyi
Murai berkicau bayu merayu
Kenang melayang ke alam sunyi
Teringat zaman yang lama lalu
Sunyi dan sepi, hening dan lingau
Melambai sukma melenyai tulang
Arwah Hang Tuah rasa menghimbau
Menyeru umat tunduk ke Tuhan
Penyair termenung seorang diri
Ingat Melayu kala jayanya
Pusat kebesaran nenek bahari
Di atas munggu yang ketinggian
Penyair duduk termenung seorang
Jauh pandangku ke pantai sana
Ombak memecah di atas karang
Awan berarak mentilau bernyanyi
Murai berkicau bayu merayu
Kenang melayang ke alam sunyi
Teringat zaman yang lama lalu
Sunyi dan sepi, hening dan lingau
Melambai sukma melenyai tulang
Arwah Hang Tuah rasa menghimbau
Menyeru umat tunduk ke Tuhan
Di sini dahulu alat kebesaran
Adapt resam teguh berdiri
Duduk semayam Yang Dipertuan
Melimpahkan hukum segenap negeri
Di sini dahulu Laksamana Hang Tuah
Satria moyang Melayu jati
Jaya perkasa, gagah dan mewah
‘Tidak Melayu hilang di bumi’
Di sini dahulu paying terkembang
Megah Bendahara Seri Maharaja
Bendahara yang cerdik tumpuan dagang
Lubuk budi laut bicara
Penyair menghadap ke laut lepas
Selat Melaka tenang terbentang
Awan berarak riak menghempas
Mentari turun rembanglah petang
Wahai tuan Selat Melaka
Mengapa tuan berdiam diri?
Tidakkah tahu untung hamba
Hamba musafir datang ke mari
Di mana Daulat Yang Dipertuan
Mana Hang Tuah, mana Hang Jebat
Mana Bendahara johan pahlawan
Bukankah jelas di dalam babad
Namanya tetap jadi sebutan
Bekasnya hilang payah mencari
Sedikit penyair bertemu kesan
Musnah dalam gulungan hari
Mengapa ini bekas yang tinggal
Umat yang lemah terkatung-katung
Hidup menumpang tanah terjual
Larat wahai larat dipukul untung
Adakah ini bekas peninggalan
Belahan diriku umat Melayu
Lemah dan lungai tiada karuan
Laksana bunga terkulai layu
Jauh di darat penyair melihat
Gunung Ledang duduk termangu
Tinggi menjulang hijau dan dahsyat
Hiasan hikayat nenekku dahulu
Di dalam kuasyik merenung gunung
Di dalam kemilau panas kan petang
Tengah khayal dirundung menung
Rasanya ada orang yang datang
Penyair hanya duduk sendiri
Tapi keliling rasanya ramai
Bulu romaku rasa berdiri
Berubah warna alam yang permai
Ada rasanya bisikan sayu
Hembusan angina di Gunung Ledang
Entah puteri datang merayu
Padahal beta bukan meminang
Bukanlah hamba Sultan Melaka
Jambatan emas tak ada padaku
Kekayaanku hanya syair seloka
Hanya nyanyian untuk bangsaku
Justeru terdengar puteri berkata
Suaranya halus masuk ke sukma
Maksudmu tuan sudahlah nyata
Hendak mengenang riwayat yang lama
Bukan kuminta jambatan emas
Tapi nasihat hendak kuberi
Kenang-kenangan zaman yang lepas
Iktibar cucu kemudian hari
Sebelum engkau mengambil simpulan
Sebelum Portugis engkau kutuki
Inggeris Belanda engkau cemarkan
Ketahui dahulu salah sendiri
Sultan Mahmud Shah mula pertama
Meminang diriku ke Gunung Ledang
Segala pintaku baginda terima
Darah semangkuk takut menuang
Adakan cita akan tercapai
Adakan hasil yang diingini
Jika berbalik sebelum sampai
Mengorbankan darah tiada berani
Apalah daya Datuk Bendahara
Jikalau Sultan hanya tualang
Memikir diri seorang sahaja
Tidak mengingat rakyat yang malang
Sultan Ahmad Shah apalah akalnya
Walaupun baginda inginkan syahid
Mualim Makhdum lemah imannya
‘Di sini bukan tempat Tauhid’
Bendahara Tua Paduka Raja
Walaupun ingin mati berjuang
Bersama hilang dengan Melaka
Anak cucunya hendak lari pulang
Berapa pula penjual negeri
Mengharap emas perak bertimba
Untuk keuntungan diri sendiri
Biarlah bangsa menjadi hamba
Ini sebabnya umat akan jatuh
Baik dahulu atau sekarang
Inilah sebab kakinya lumpuh
Menjadi budak belian orang
Sakitnya bangsa bukan di luar
Tetapi terhunjam di dalam nyawa
Walau diubat walau ditawar
Semangat hancur apalah daya
Janjian Tuhan sudah tajalli
Mulialah umat yang teguh iman
Allah tak pernah mungkirkan janji
Tarikh riwayat jadi pedoman
Tidaklah Allah mengubah untung
Suatu kaum dalam dunia
Jika hanya duduk terkatung
Berpeluk lutut berputus asa
Malang dan mujur nasibnya bangsa
Turun dan naik silih berganti
Terhenyak lemah naik perkasa
Bergantung atas usaha sendiri
Riwayat yang lama tutuplah sudah
Apalah guna lama terharu
Baik berhenti bermenung gundah
Sekarang dibuka lembaran baru
Habis sudah madahnya puteri
Ia pun ghaib capal pun hilang
Tinggal penyair seorang diri
Di hadapan cahaya jelas membentang
Pantai Melaka kulihat riang
Nampaklah ombak kejar-mengejar
Bangunlah Tuan belahanku saying
Seluruh Timur sudahlah besar
Bercermin pada sejarah moyang
Kita sekarang mengubah nasib
Di zaman susah atau pun riang
Tolong tetap dari Yang Ghaib
Bangunlah kasih, umat Melayu
Belahan asal satu turunan
Bercampur darah dari dahulu
Persamaan nasib jadi kenangan
Semangat yang lemah dibuang jauh
Jiwa yang kecil kita besarkan
Yakin percaya, iman pun teguh
Zaman hadapan, penuh harapan
Bukanlah kecil golongan tuan
Tujuh puluh juta Indonesia
Bukan sedikit kita berteman
Sudahlah bangun bumi Asia
Kutarik nafas, kukumpul ingatan
Aku pun tegak dari renungku
Jalan yang jauh aku teruskan
Melukis riwayat sifat hidupku
Kota Melaka tinggallah sayang
Beta nak balik ke Pulau Percha
Walau terpisah engkau sekarang
Lambat launnya kembali pula
Walaupun luas watan terbentang
Danau Maninjau terkenang jua
Adapt resam teguh berdiri
Duduk semayam Yang Dipertuan
Melimpahkan hukum segenap negeri
Di sini dahulu Laksamana Hang Tuah
Satria moyang Melayu jati
Jaya perkasa, gagah dan mewah
‘Tidak Melayu hilang di bumi’
Di sini dahulu paying terkembang
Megah Bendahara Seri Maharaja
Bendahara yang cerdik tumpuan dagang
Lubuk budi laut bicara
Penyair menghadap ke laut lepas
Selat Melaka tenang terbentang
Awan berarak riak menghempas
Mentari turun rembanglah petang
Wahai tuan Selat Melaka
Mengapa tuan berdiam diri?
Tidakkah tahu untung hamba
Hamba musafir datang ke mari
Di mana Daulat Yang Dipertuan
Mana Hang Tuah, mana Hang Jebat
Mana Bendahara johan pahlawan
Bukankah jelas di dalam babad
Namanya tetap jadi sebutan
Bekasnya hilang payah mencari
Sedikit penyair bertemu kesan
Musnah dalam gulungan hari
Mengapa ini bekas yang tinggal
Umat yang lemah terkatung-katung
Hidup menumpang tanah terjual
Larat wahai larat dipukul untung
Adakah ini bekas peninggalan
Belahan diriku umat Melayu
Lemah dan lungai tiada karuan
Laksana bunga terkulai layu
Jauh di darat penyair melihat
Gunung Ledang duduk termangu
Tinggi menjulang hijau dan dahsyat
Hiasan hikayat nenekku dahulu
Di dalam kuasyik merenung gunung
Di dalam kemilau panas kan petang
Tengah khayal dirundung menung
Rasanya ada orang yang datang
Penyair hanya duduk sendiri
Tapi keliling rasanya ramai
Bulu romaku rasa berdiri
Berubah warna alam yang permai
Ada rasanya bisikan sayu
Hembusan angina di Gunung Ledang
Entah puteri datang merayu
Padahal beta bukan meminang
Bukanlah hamba Sultan Melaka
Jambatan emas tak ada padaku
Kekayaanku hanya syair seloka
Hanya nyanyian untuk bangsaku
Justeru terdengar puteri berkata
Suaranya halus masuk ke sukma
Maksudmu tuan sudahlah nyata
Hendak mengenang riwayat yang lama
Bukan kuminta jambatan emas
Tapi nasihat hendak kuberi
Kenang-kenangan zaman yang lepas
Iktibar cucu kemudian hari
Sebelum engkau mengambil simpulan
Sebelum Portugis engkau kutuki
Inggeris Belanda engkau cemarkan
Ketahui dahulu salah sendiri
Sultan Mahmud Shah mula pertama
Meminang diriku ke Gunung Ledang
Segala pintaku baginda terima
Darah semangkuk takut menuang
Adakan cita akan tercapai
Adakan hasil yang diingini
Jika berbalik sebelum sampai
Mengorbankan darah tiada berani
Apalah daya Datuk Bendahara
Jikalau Sultan hanya tualang
Memikir diri seorang sahaja
Tidak mengingat rakyat yang malang
Sultan Ahmad Shah apalah akalnya
Walaupun baginda inginkan syahid
Mualim Makhdum lemah imannya
‘Di sini bukan tempat Tauhid’
Bendahara Tua Paduka Raja
Walaupun ingin mati berjuang
Bersama hilang dengan Melaka
Anak cucunya hendak lari pulang
Berapa pula penjual negeri
Mengharap emas perak bertimba
Untuk keuntungan diri sendiri
Biarlah bangsa menjadi hamba
Ini sebabnya umat akan jatuh
Baik dahulu atau sekarang
Inilah sebab kakinya lumpuh
Menjadi budak belian orang
Sakitnya bangsa bukan di luar
Tetapi terhunjam di dalam nyawa
Walau diubat walau ditawar
Semangat hancur apalah daya
Janjian Tuhan sudah tajalli
Mulialah umat yang teguh iman
Allah tak pernah mungkirkan janji
Tarikh riwayat jadi pedoman
Tidaklah Allah mengubah untung
Suatu kaum dalam dunia
Jika hanya duduk terkatung
Berpeluk lutut berputus asa
Malang dan mujur nasibnya bangsa
Turun dan naik silih berganti
Terhenyak lemah naik perkasa
Bergantung atas usaha sendiri
Riwayat yang lama tutuplah sudah
Apalah guna lama terharu
Baik berhenti bermenung gundah
Sekarang dibuka lembaran baru
Habis sudah madahnya puteri
Ia pun ghaib capal pun hilang
Tinggal penyair seorang diri
Di hadapan cahaya jelas membentang
Pantai Melaka kulihat riang
Nampaklah ombak kejar-mengejar
Bangunlah Tuan belahanku saying
Seluruh Timur sudahlah besar
Bercermin pada sejarah moyang
Kita sekarang mengubah nasib
Di zaman susah atau pun riang
Tolong tetap dari Yang Ghaib
Bangunlah kasih, umat Melayu
Belahan asal satu turunan
Bercampur darah dari dahulu
Persamaan nasib jadi kenangan
Semangat yang lemah dibuang jauh
Jiwa yang kecil kita besarkan
Yakin percaya, iman pun teguh
Zaman hadapan, penuh harapan
Bukanlah kecil golongan tuan
Tujuh puluh juta Indonesia
Bukan sedikit kita berteman
Sudahlah bangun bumi Asia
Kutarik nafas, kukumpul ingatan
Aku pun tegak dari renungku
Jalan yang jauh aku teruskan
Melukis riwayat sifat hidupku
Kota Melaka tinggallah sayang
Beta nak balik ke Pulau Percha
Walau terpisah engkau sekarang
Lambat launnya kembali pula
Walaupun luas watan terbentang
Danau Maninjau terkenang jua
Bernuansa cinta:
Hanya hati
Gajiku kecil
Pencaharian lain tak ada
Kicuh buku aku tak tahu
Korupsi aku tak mahir
Berniaga aku tak pandai
Pencaharian lain tak ada
Kicuh buku aku tak tahu
Korupsi aku tak mahir
Berniaga aku tak pandai
Kau minta permadani
Padaku hanya tikar pandan
Tempat berbaring tidur seorang
Kau minta tas atom
Padaku hanya kampir matur
Kau minta rumah indah perabit cukup
Lihatlah! Gubukku tiris
Kau minta kereta bagus
Aku hanya orang kecil
Apa dayaku
Kekayaanku hanya satu, dik
Padaku hanya tikar pandan
Tempat berbaring tidur seorang
Kau minta tas atom
Padaku hanya kampir matur
Kau minta rumah indah perabit cukup
Lihatlah! Gubukku tiris
Kau minta kereta bagus
Aku hanya orang kecil
Apa dayaku
Kekayaanku hanya satu, dik
Hati
Hati yang luas tak bertepi
Cinta yang dalam tak terajuk
Hati yang luas tak bertepi
Cinta yang dalam tak terajuk
0 comments:
Post a Comment