Di Merah Fajar Esok Pagi
: generasi bangsaku
di merah fajar esok pagi
mari sepuhkan harapan untuk hari tua
bersenandung merebut kedamaian dalam sunyi
pergi melangkah ke bukitnya Hamka, Dante, Petrarca
walau jari-jari tertancap penuh duri
mengiangi ladang huma dan rawa
serta berteriak sayu seorang diri
mari tebalkan keyakinan buat borong kerja penuh jadi
menyiuli napas-napas duka
serta asahlah wajah puisi rindu
karena ia membunuh duka deritamu
Surat dari Desa
Eva,
suratmu berwarna biru telah
kuterima
tentang diriku masih seperti
dulu-dulu jua
terkurung di kesunyian
kampung
sering termenung mencari
senandung
Eva,
di sini tidak ada cita-cita
sanjana
tidak ada kereta kencana,
musik pesta ria
atau cincin emas kawin
pertama
Eva,
di sini hanya punya piala
tua
cuma tercenung dalam
renungan menerawang
yang dinadakan seruling sumbang dari pegunungan
hidup di desa berbimbang dengan kebahagiaan
namun, kutempuh juga segala ancaman dan kenyataan
karena dara-dara di desa berbaju
panjang
dan berwajah tenang
Cerita Tersisa Buat Eva
Eva,
Dikala aku masuk ke masjid
Salat membaca Alkitab
Serta berselawat atas nabi Muhammad
Di luar engkau dengan setia
Menanti aku bangkit
Eva,
Kemudian di kala engkau dalam gereja
Berdoa dengan nyayian rohani
Dengan mata berkaca
Menatap kayu salib dan bunda Maria
Di luar aku dengan setia
menunggu engkau tiba
Eva,
kita tidak perah bicara
tentang roh kudus, Yesus Kristus
atau tentang Nabi Muhammad
kita hanya bicara kesusastraan
dan sajak-sajak
Eva,
apa artinya jika kita sudah tiada
dengan jiwamu yang gelisah
serta cerita yang tiada terjalin
kita pun berpisah
lakum dinukum wa liyadin
Salam Terakhir
(Hari Sepeniggalan Ibuku)
Hening sesaat
Kurundukkan wajahku sebigini pucat
Mata pun menatap bumi penuh ratap
Ketika itu keranda bunda orang usungkan
Lewat jalan lengang
Yang telah sampai pada usia penghabisan
Dihantar pandangan mata kebasahan
Tiada daya menahan
Aku balik lalu menjerit
Terpaku pula menatap pusara
Membayang wajah bunda tak pernah hilang
Menangis sukma jiwaku
Segalanya luka dirasa
Dengan langkah lunglai kutinggalkan jua
Selama kuatku ada
Kuserahkan Diriku Ini
Kepada-Mu, Tuhanku
Tuhanku, dalam hening di malam sepi
kuceritakan akan kesenyapan hidupku ini
dalam pengembaraan di alam tak berwujud
aku sering bermimpi menuju tiada arah
mencari selaput kasih di bumi beku
Tuhanku,
adakah lagi datang buatku cinta yang perkasa
di malam seribu bulan
atau terbang tak kembali
Tuhanku,
berkat kasih-Mu kembali aku mengerti
bahwa hakikat dunia ini hanya sementara waktu
hidup, cinta, dan kemudian mati
lalu masih pantaskah gerimis mataku sepanjang hari
serta merenungi langit ungu
Tuhanku,
betapa pun hampir putus asa dan diburu kematian
tiba-tiba aku sadar
bahwa Engkau dengan kasih melunakkan
jeruji-jeruji dukana di selaput nyawaku yang usang
akhirnya aku tersungkur gemetar
sedang di harga dumilah bulan sabit telah pergi
melewatkan malam kian menyepi
dan aku tanpa waham syak ragu lagi
Puisi Lebaran Sutardji
Sutardji,
aku rangkul senyummu di hari lebaran
kaupecahkan botol-botol arak dan
kaulemparkan jauh-jauh amuk kapak
dengan mengambil makna hidup yang hak
Sutardji,
usia kita melapuk banyak tersuruk
di malam gelap merangkak-rangkak
hati jiwa yang insaf
apa yang kita dapat di hari lebaran
dengan seteguk air zamzam dan
untaian tasbih serta zikir
yang menyelubungi napas kian berakhir
Sutardji,
dengan sepatumu titian syirathalmustaqim
dan masjid di dadamu, sajadah dikiblatkan ke kakbah
hati jiwa yang tenang
kita terus berjalan. Terus berjalan
semakin dekat, semakin dekat. Semakin dekat
akhirnya sampai ke titian yang hak
di pengujung jalan mata terpejam
semoga dapat husnul khatimah
La ilahaillah muhammadar
rasulullah
Bulan di Lautan Darah
Bulan perak jatuh di lautan darah
Para datu-datu penghuni hutan randu
Mata merah terperengah
Menatap mendeng akan kayu gelombang tiada membiru
Tentara dari langit akan diturunkan
Genderang peperangan ditabuh bertalu-talu
Janji yang diselimuti kepalsuan
Menelanjangi republik demi republik
Menelanjangi yang sirik
Syi’ah, Jabariah, Qadariah, dan Ahmadiah
Tidak malu pada harga diri
Sementara di jalanan masih ada demonstrasi
Menghantam dan menghantui
Sedang bulan terantuk-antuk aib
Menanti titah dari alam gaib
Ilmu yang Mengusik Kalbu
Alkisah dari negeri antah berantah
Sang raja bertitah:
La haula wa la kuwata illa
billah
La fa ilallah
Kita tidak punya kuat dan lemah
Tidak punya sehat dan sakit
Tidak punya hidup dan mati
Tidak punya gerak dan diam
Tidak punya roh. Bahkan
Kita wayang dipermainkan dalang
Atau seperti bulu ayam digantung pada hawa
Apa yang diambil Izrail?
Di kala sakaratul maut tiba
Walau badan sudah terbaring dingin
Hatiku menggelitik apa gerangan
Ini paham Jabariah, bukan!
Ini Ahlusunah wal Jama’ah?
Ada yang menggerutu, kita tidak punya hak
Pengajian ini mengusik kalbu
(aku ingin merampas arloji di tangan paduka
Karena katanya tidak mempunyai apa-apa)
Ada yang tersipu-sipu serta termangu
Ada yang tersenyum mengangguk tanda setuju
Ini ilmu mengusik kalbu
Hakikat melulu
Bulan Belah
bulan belah di harga dumilah
turun ke hadapan rasulullah
belah dua
masuk ke tangan baju jubah baginda
mengata dua kalimat syahadat
kemudian bersatu lagi naik ke langit
ajaib! Sang Raja Habib bin Malik
mendapat taufik
beriman dengan ribuan prajurit
wahai pembuktian apa lagi yang mengusik
mari sebelum ajal menyempit
masuklah secara kafah
berkiblat ke kakbah
ajaran dari Muhammad imamulhaq
yang tiada syak
Abdul Karim Amar (AKA) dengan nama aslinya
Abdul Hamid lahir di Kecamatan Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar pada tanggal 10
November 1954. Mulai menulis puisi sejak tahun 1970. Di priode 1970 sampai
tahun 1974 sebagai Sekretaris Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Kertak
Hanyar. Kemudian pada tahun priode tahun 1974—1977 Ketua Umum.
AKA
dipercayai membidangi seni dan budaya
di KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) Cabang Kertak Hanyar. Tahun 1973
membentuk sanggar ISMAYA (Ikatan Seni Drama Jaya) yang menyebabkan AKA
juga menerjuni/main sandiwara. Daerah yang pernah dikunjunginya dalam mementaskan drama
antara lain Handil Soebarjo, Barabai, Margasari. Adapun naskah yang diangkatnya
antara lain, Darah Mengalir di Sisi Mayat,
Penyesalan di Azan Subuh, Paman Durhaka, Fajar Telah Menyingsing, dan
naskah karya Arsyad Indradi yang berjudul Elegi
di Pasir Hitam.
Pertengahan
tahun 1977 AKA ke Kotabaru, Pulau Laut bekerja sebagai Penyiar Radio Khusus
Pemerintah Daerah (RKPD), honorer.
Bersama Agits Kursani, AKA di studio tersebut mengasuh acara Arena Sastra dan
Budaya. AKA mendapatkan piagam
penghargaan dari Bupati H.G. Syamsiar Alam atas keberhasilannya
memenangkan lomba mengarang puisi se-Kabupaten Kotabaru dalam rangka hari
kemerdekaan Republik Indonesia. Tahun 1979 AKA mengundurkan diri secara hormat
dari studio tersebut karena ibunya memintanya pulang ke Banjarmasin.
Publikasi puisinya antara lain di RRI Banjarmasin,
majalah Bandarmasih Banjarmasin,
SKH UPAYA, SKH Banjarmasin Post, beletin NU Kodya Banjarmasin. Puisinya
berjudul Fragmen Kemerdekaan pernah disiarkan tiga tahun berturut-turut dalam
rangka hari kemerdekaan RI di Untaian Mutiara sekitar Ilmu dan Seni RRI
Banjarmasin. Antologi puisi bersama yang ikut memuat puisi-puisinya
antara lain Tamu Malam, Festival Puisi
Kalimantan (Tajuddin Noor Ganie, Banjarmasin 1992), Pelangi di Tahun Emas (antologi
puisi Aruh Sastra 2009), Menyampir Bumi
Leluhur (antologi puisi Aruh Sastra 2010), dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia (antologi puisi bersama
Korrie Layun Rampan, dkk).
0 comments:
Post a Comment