Sungguh Hanya Kamu
sungguh
hanya kamu terus menerus menggelegak
dan
mengalir di antara tulang dan daging, mendenyut
di
setiap langkah darah beku menghitung detak hati
lalu
terbata-bata dalam nafas yang semakin sesak
menghilir
menghitung usiaku yang bergeming, tak hanyut
begitu
saja. kapan degapdegup padamu kan berhenti
sementara
kata-kata semakin rimbun menyemak
sungguh
hanya kamu nampak membayang
menyusuri
padang ilalang tengah hari yang terik
panjangnya
paha belalang menjanjikan loncatan
jauh
sambil melentik-lentik. tapi angin menyuburkan
silet,
menggoyang-goyang daun ilalang lalu
menyayat
bak sembilu mengundang keperihan abadi
sungguh
hanya kamu
(Padang, Juli 2015)
Mengundang Ibu
merantaulah
sayang, jangan kau kundang ibu ke mana-mana
karena
tempatnya di rumah, mengalirkan air ke sawah
keturunan
materilini, plasentanya abadi
sayang
anak pun dilecuti, berlayar dari pantai ke pantai
tapi
ibu kau bawa jua, menakik cinta pada wanita
kau
cari surga dan belaian manja
kau
kundang-kundang pusaka lunglai
ibu mengalirkan
warisan, di seiliran tepian
hati
siapa yang teranja-anja?
di
bendul peranginan, ibu menyulam rindu
di
laut rantauan, ingatan mengundang ibu
(Padang, 2015)
Mengundang Batu
Orang-orang
mengasah batu
hingga
malin pun kehilangan tuju
dikundang
juga ke mana-mana
pongah
bukit membusung dada
di
sepanjang jalanan
orang-orang
mengasah batu
memanas
dalam genggaman
kembali
ke masa lalu
mengundang
batu
yang
diam sepanjang waktu
dimaknai
berbagai misteri
batu
diasah berapi-api
apa
yang lebih dari sebongkah batu?
malinkundang
tetap membisu
(Padang, 2015)
Tak Lagi Ani-Ani
di
kejauhan kudengar suara musik itu
terbayang
orang-orang berjoget
bermandikan
keringatnya sendiri
melupakan
penderitaaan anak negeri
sementara
di balik dinding sana
ada
yang asyik mengocok dadu
mempertaruhkan
singgasana
berderik-derik
rokok asapnya kelabu
di
pentilasi itu, angin berhembus menusuk
baunya
berkesiur, membenam di kasur
di
sawah tak ada lagi ani-ani
yang
membentang, padang ilalang
orang-orang
masih saja berjoget
dadu
tetap dikocok, melicinkan borok
di
negeri langit atau di negeri laut
sama
saja tak ada pohon
yang
merimbun daun
(Padang, 2015)
Mencurah Darah
berkali-kali
aku sujud padamu
hanya padamu, tapi kau tetap
hanya padamu, tapi kau tetap
menikam
dada, membuta hati
kupanggil
juga engkau
mencurah
darahku
yang membelah langit biru
yang
meretak tanah basah
yang
meluluhlantakkan jiwa
yang
menyekapku ke penjara
tak berjendela
tak berjendela
denyut
apakah yang setia di nadi
engkaukah itu?
engkaukah itu?
tak
sampai-sampai
19.01.2015
Mangsa Aku Jakarta
jakarta
diselimuti mendung
gerimis hinggap di punggung
antara senen dan stasiun gambir
warga kota saling memercik air
gerimis hinggap di punggung
antara senen dan stasiun gambir
warga kota saling memercik air
menyibak
berkeruh lanyah
menginjak segala sepah
mengayun beribu langkah
menginjak segala sepah
mengayun beribu langkah
aku
terjebak
dipaksa
menyibak jakarta
di
antara semak yang menyemak
ribuan
kendaraan di sungai jalanan
gadget
berebut sinyal
membanjir
wacana di kursi kenyal
semua
ingin memetik buah
pohon beton yang pongah
pohon beton yang pongah
pagi
ini jakarta ingin bersunyi-sunyi
gedung-gedung
kaku beku
bagaikan
lembah tak berangin
sepantun
lebah bisanya tak dingin
bak
bunga layu sebelum fajar
dimangsa
aku sampai ke akar
jkt, 110215
Melautlah Aku
aku
menancapkan keramba di antara teluk tak bernama
para
penyelam menikmati beraneka karang di dasarnya
ada
pelangi membagi warna, gelembung-gelembung
pernafasan
dan kepak ritmis kaki para ampibi
serombongan
tuna berbaris mengikuti arus
seakan
menari, pinggulnya meliuk dan menukik menghunjam
melayah
menyongsong arus yang dalam
aku
menancapkan keramba di antara teluk tak bernama
menyalakan
lampu di kelamnya malam
bergerombol
ikan terperangkap cahaya
terpisah
dari keluarga
di
dasar laut, kutemukan sebuah negeri
semua
warganya menutup telinga dan mata
apa yg
dilihat dan dengar diatur dari atas
akibatnya?
warga negeri itu jadi buta dan tuli
seperti
negeri ini, sekejab lagi.
Padang, 2015
Gigilku Mendingin
di
lambungmu, aku berenang
tanpa
sentuhan
engkau
membungkam
aku menggigil
aku menggigil
gugur
juga cinta itu
mekar
di bibirmu
aku
menggapai-gapai
menyelami
hatimu
Padang, 1999.-
Syarifuddin
Arifin lahir di Jakarta. Adalah seroang alumnus Jurusan Sastra dan Bahasa
Indonesia, STKIP, Sumbar dan Akademi Ilmu Komunikasi (AIK) Padang. Pernah
mengikuti Lokakarya Penulisan Cerpen tahun 1981 di Cibogo, Bogor oleh Majalah
Sastra Horison dan Majalah Kebudayaan Basis.
Tulisanya
pernah dimuat di beberapa majalah dan Koran cetak Jakarta dan Padang, juga
di Majalah Sastra Horison. Dia merupakan salah seorang penggiat Bengkel Sastra
Ibukota (BSI) Jakarta, 1980-an. Pernah di BUMI (Teater,Sastera dan Senirupa),
pengasuh/sutradara di Teater Jenjang dan Teater Flamboyan Padang, mendirikan
Sanggar Penulisan MASA Padang (1984), mantan pengurus Dewan Kesenian Padang dan
Sumbar.
Telah
melakukan perjalanan sastra dan budaya serta jurnalistik ke Thailand, Malaysia,
Brunei Darussalam dan Singapura.
Buku-buku
puisi tungggalnya (bukan antologi bersama) adalah, Ngarai (1980) diterbitkan Kolase Kliq Jakarta, Catatan Angin di Ujung Ilalang (1998)
ditebitkan Taman Budaya Sumbar, dan Maling
Kondang (2012) diterbitkan Teras Budaya, Jakarta. Sedang beberapa
antologi bersama, al. Sembilan (1979)
oleh Kolase Kliq Jakarta, Sajak-sajak Refleksi
Setengah Abad Indonesia Merdeka, (1995) oleh Taman Budaya Jawa Tengah,
Surakarta, Parade Karya Sastra se
Sumatera-Jawa (1995) oleh Forum Sastra Bengkulu, Hawa (1996) oleh Studio
Sangkaduo Padang, Penyair Sumatera
Barat (1999) oleh Dewan Kesenian Sumbar), Parade Penyair Sumatera (2000) Panitia Pameran dan Pergelaran
Seni se Sumatera (PSS) Jambi, Suara-suara
dari Pinggiran (2012) oleh Kelompok Studi Sastra Bianglala, dan Sauk
Seloko (2012) terbitan Dewan Kesenian Jambi.
Kumpulan
Cerpennya antara lain, Bermula dari
Debu (1986) oleh Himpunan Mahasiswa Sastra Sumatera Barat (HMSSB), G a m a n g (1989) oleh Sanggar
Sastra MASA dan Taman Budaya Sumbar.
Novel/cerbungnya
antara lain, Untuk Sebuah Cinta (2000)
dimuat Harian Umum Haluan Padang, Sarjana
Sate (2001), dan Anak Angin
di Celah Awan Jingga (2002) Mingguan Sumbar Ekspres Padang, Menguak Atmosfir (2004) dimuat
Majalah Wanita Kartini.
Pernah
memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen Perjuangan, 1982 oleh PWI Sumbar, memenangkan
Sayembara Penulisan Kritik Sastra,1984 oleh FPBS IKIP Padang, memenangkan
Sayembara Penulisan Cerpen HUT Mingguan Singgalang Padang pada 1985,
memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara tahun 1984. Juga Pemenang
Lomba Penulisan Kritik Seni Pertunjukan oleh Deputy Seni-Budaya, Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata,2003. Setelah memenangkan Sayembara Penulisan
Cerpen-Cerbung Majalah Kartini 2003, novelnya Menguak Atmosfir dimuat sebagai cerbung di Majalah Wanita Kartini,
2004.
Dia beberapa
kali mengikuti/peserta pada Pertemuan Sastrawan Nusantara, antara lain, di
Jakarta (1979), Kayutanam Sumbar (1997), dan di Johor Baharu, Malaysia (1999).
Kongres Kesenian di TMII (2005), Kongres PARFI di Jakarta (1993, 1997), Kongres
PAPPRI di Puncak Jawa Barat (2002). Selain itu dia juga pekerja teater dan
pemain film/sinetron.
0 comments:
Post a Comment