oleh Maman S.
Mahayana
Jika
sastra diyakini sebagai ruh kebudayaan yang lahir dari rahim sosok individu
pengarang, maka itulah yang dimaksud kebudayaan menurut persepsi dan pemaknaan
pengarang bersangkutan. Sangat mungkin di dalamnya kita menemukan potret buram
atau gambaran ekskotik atau apa pun tentang perilaku, tradisi, sistem
kepercayaan, tata nilai atau pandangan hidup sebuah komunitas budaya. Sangat
mungkin pula kita hanya memperoleh gambaran sepenggal kehidupan masyarakat
bersangkutan. Dengan demikian, sastra menjadi semacam alat pewartaan tentang
komunitas budaya itu dari sudut mana pun sastrawan melihatnya. Dalam hal inilah
sastra memainkan peranannya sebagai salah satu pintu masuk untuk mengenal lebih
dekat tentang kebudayaan sebuah masyarakat. Mungkin ada pintu masuk yang lain,
tetapi melalui sastra pengenalan atas kebudayaan masyarakat itu dapat langsung
menyentuh pada persoalan nilai-nilai kemanusiaannya. Bukankah sastra kerap
diperlakukan sebagai potret sosial budaya zamannya? Oleh karena itu pemahaman
terhadap kesusastraan hanya mungkin dapat dilakukan secara lebih lengkap jika
kita tidak memisahkannya dari latar sosial budaya yang berada di belakangnya.
Sastra
Indonesia sesungguhnya juga merepresentasikan latar sosial budaya yang berada
di belakang sastrawannya. Jika sebelum merdeka, karya sastra yang terbit ketika
itu lebih banyak didominasi oleh latar kultur Minangkabau, maka setelah
merdeka, sastrawan Jawa dan Sunda mulai coba memperkenalkan kebudayaan
masyarakatnya. Dan pada tahun 1970-an ketika ingat-bingar “kembali ke sumber,
kembali ke tradisi” menyemaraki peta kesusastraan Indonesia, nama Korrie Layun
Rampan yang memenangkan hadiah utama Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian
Jakarta tahun 1976, melalui novelnya Upacara
(1978) seperti hendak menegaskan keberadaan Dayak dalam sastra Indonesia.
Sejak
itu, Korrie Layun Rampan (KLR) membawa Dayak ke mana-mana. Meskipun mungkin
saja KLR sendiri niscaya tidak berpretensi mengangkat Dayak sebagai
satu-satunya kebudayaan penting di negeri ini, melalui usahanya itu menjadikan
masyarakat sastra Indonesia mulai berkenalan lebih dekat dengan Dayak,
mengakrabi dunia di seputarnya, coba pula memahaminya, dan melakukan
persentuhan bahwa sesungguhnya, Dayak bagian dari diri kita, bagian dari
keberagaman keindonesiaan kita. Di situlah peranan KLR menjadi sangat khas dan
tak dapat tergantikan oleh siapa pun. Ia telah mempunyai tempat tersendiri.
Maka, dalam peta sastra Indonesia, KLR telah menjadi ikon kultur Dayak. KLR
berhasil membangun sebuah monumen kultural masyarakat yang telah melahirkan dan
membesarkannya: Dayak!
Meskipun
posisi KLR di sana begitu kukuh, kita—sebagai pembaca—tentu saja tidak
serta-merta percaya begitu saja. Seyogyanya ada ruang lain tempat kita
menyimpan sikap kritis kita. Dalam kerangka itulah, saya coba memasuki dunia
cerpen Korrie Layun Rampan.
Menurut
catatan dalam “Daftar Judul Buku Korrie Layun Rampan”, sastrawan kelahiran
Samarinda, 17 Agustus 1953 itu, konon telah menghasilkan 58 novel, 62 buku
antologi cerpen, 8 buah antologi puisi, 42 buah esai dan ulasan, tujuh buku
studi atau buku teks, 35 buku cerita anak-anak, dan sekitar 100-an judul cerita
anak terjemahan. Secara kuantitas, bagaimana pun juga, karya-karya yang
bertaburan, berserakan, dan bertumpuk-tumpuk itu, tentu saja merupakan prestasi
yang luar biasa, tetapi bagaimana kualitasnya? Sejumlah hadiah dan penghargaan
yang telah diterima KLR, menunjukkan betapa beberapa karya KLR memang tak
diragukan lagi kualitasnya. Tetapi, di sana, kita tidak menemukan penghargaan
untuk cerpen³. Pertanyaannya kini, bagaimana kualitas cerpen-cerpen yang telah
dihasilkan KLR? Dari 62 antologi cerpen yang telah dihasilkannya itu—38 di
antaranya masih berupa manuskrip—mengapa sejauh ini tidak satu pun dari 24
antologi cerpennya yang sudah diterbitkan—yang memperoleh penghargaan?
Dari
ke-24 cerpen yang konon sudah diterbitkan itu—menyesal—saya hanya menemukan
tujuh antologi, yaitu:
(1) Ratapan
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989, 142 halaman)
(2)
Tak Alang Kepalang (Balai Pustaka, 1993, 188 halaman)
(3) Tarian
Gantar (Magelang: Indonesiatera, 2002)
(4) Riam
(Jogjakarta: Gita Nagari, 2003)
(5).Perjalanan
ke Negeri Damai (Grasindo, 2003)
(6) Melintasi
Malam (Jakarta:
Gramedia, 2003, 152 halaman)
(7) Rindu
(Jogjakarta: C Publishing, 2005, 165 halaman).
Dari
ke-7 antologi cerpen itu, empat antologi yang hendak digunakan sebagai contoh
kasus. Keempat antologi itu adalah:
(1) Ratapan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989,
142)
(2) Tak
Alang Kepalang
(Balai Pustaka, 1993, 188 halaman)
(3) Melintasi
Malam
(Jakarta: Gramedia, 2003, 152 halaman)
(4) Rindu (Jogjakarta: C Publishing,
2005, 165 halaman).
Dari
keempat antologi itu, saya mengambil sampel enam cerpen dari antologi Ratapan, yaitu (1) “Kenangan” (2) “Ratih” (3) “Lukisan Kristal
Cahaya” (4) “Bulan” (5) “Rumah” (6) “Ratapan”; dua dari antologi Tak Alang Kepalang, yaitu
(1) “Senggigi” dan (2) “Hafolin”; dua cerpen dari Melintasi Malam yaitu, (1) “Teluk Nyomit” dan (2) “Melintasi
Malam”, dan empat cerpen dari antologi Rindu,
yaitu (1) “Sungai Melangkar” (2)
“Perkawinan” (3) Pernikahan di Atas Tiang” dan (4) “Gelap Indonesia Raya”.
Pastilah
pilihan atas cerpen-cerpen itu tidak representatif. Tapi, cara ini pun
dibolehkan, sah, dan dapat dipertanggungjawabkan. Paling tidak, dari sejumlah cerpen itu, jika kita boleh
menyelami dan membacanya secara saksama, maka yang kita hadapi adalah sebuah
panorama yang sangat kaya dengan warna lokal dan kultur etnik, khasnya kultur
masyarakat Dayak. Dalam hal ini, ketika kita mencoba menyelami kedalamannya,
kita seperti memasuki rimba raya dengan segala pepohonan dan belukarnya yang
asing dan penuh misteri. Sebuah dunia yang terasa sangat jauh, namun sekaligus
dekat, lantaran warna lokal dan kultur etnik yang diangkat KLR, dalam banyak
hal menawarkan sebuah kearifan tentang hubungan manusia dalam sebuah komunitas
dengan tradisi budayanya yang hidup dan dihidupi masyarakatnya. Jadi, dalam hal
itu, semangat yang melandasi KLR pada hakikatnya tidak berbeda dengan sastrawan
atau cerpenis lain di negeri ini yang juga menawarkan kearifan lokal. Tentu
saja di antara sejumlah persamaan itu, di sana-sini menyembul juga perbedaan.
Tetapi dengan begitu, posisi KLR dalam peta cerpen Indonesia menjadi lebih
jelas. Ia berangkat dari kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkannya (Dayak), dan mencoba melakukan pewartaan tentang
kebudayaannya itu sambil sekalian
menawarkan kearifannya.
Demikianlah,
dalam hal menjadikan Dayak sebagai titik berangkatnya, tak pelak lagi, nama KLR
menjulang sendiri. Ia seperti tak punya penyaing. Boleh jadi lantaran itu pula,
KLR leluasa menumpahkan berbagai gagasannya tentang kultur etnik, khasnya
tentang Dayak, sehingga yang muncul kemudian adalah serangkaian produksi
cerpen. Artinya, KLR memproduksi cerpen tanpa beban dan pretensi apa pun. Ia sekadar
memotrat dan menumpahkan fragmen kehidupan dalam sebuah komunitas budaya yang
sejak lama menjadi bagian dari sikap dan pandangan budayanya atau yang sempat
menjadi bagian dari pengalaman dan perjalanan hidupnya yang lebih dari setengah
abad itu.
Berdasarkan
sudut pandang ini, dalam konteks perkembangan kesastrawanannya, kita juga dapat
melihat bahwa di sana ada sebuah proses menggelinding. Ia tak begitu saja menjadi, dan kemudian matang. Tetapi ada
semacam tahapan perkembangan yang—sebagaimana lazimnya terjadi pada
perkembangan kesastrawanan seseorang—dapat kita cermati berdasarkan perjalanan
karya-karya yang telah dihasilkannya.
Meskipun usaha pencermatan itu belum dapat dikatakan
sepenuhnya merepresentasikan tahapan perkembangan kesastrawanan KLR,
setidak-tidaknya, itulah langkah yang mungkin dapat dilakukan ketika kita
menghadapi setumpuk karya yang—seperti telah dikatakan—bagai memasuki rimba
raya yang asing dan penuh misteri. Maka, tidak ada cara lain, kecuali melakukan
semacam pilihan atas beberapa cerpen yang diambil dari buku-buku antologi itu
sebagai contoh kasus. Oleh karena itu, pembicaraan ini hendaknya ditempatkan
sebagai usaha mencermati kecenderungan-kecenderungan KLR yang dapat kita tarik
dari sejumlah cerpen yang menjadi contoh kasus itu. Disadari, langkah ini
tidaklah komperehensif. Meski begitu, sebagai usaha melihat kecenderungan, ia
sah dan bertanggung jawab. Bahwa di sana-sini banyak yang tercecer, tidak juga
berarti serta-merta menggugurkan keabsahan dan kebertanggungjawaban.
Antologi
cerpen Ratapan (Balai Pustaka, 1989)
memuat 12 cerpen. Dari ke-12 cerpen ini, enam cerpen yang berada di urutan awal
saya gunakan sebagai sample. Di sana—dalam keenam cerpen itu—sungguh saya tidak
melihat ada Dayak. Yang muncul adalah dunia wanita dan problem domestik, kecuali
cerpen “Ratapan” yang menampilkan tokoh lelaki tua yang dihinggapi perasaan
berdosa kepada tetangganya, Akoy. Boleh jadi cerpen-cerpen dalam antologi ini
ditulis KLR untuk pembaca tertentu4. Mengingat tema-tema yang diangkatnya
berkisar pada kehidupan dunia wanita dan problem domestik, maka sangat mungkin
KLR sengaja menulis cerpen-cerpen itu untuk pembaca wanita.
Tampak
di sana, tokoh-tokohnya sangat stereotipe, hitam-putih. Faktor kebetulan dan
campur tangan pengarang begitu menonjol. Jadi, meskipun gambaran kehidupan yang
diangkat dalam sejumlah cerpen itu mengesankan kedukaan, tragikal, kesan yang
segera muncul di sana adalah kesetiaan pengarang pada tema dan frame yang telah dirancang. Rencana
pernikahan tokoh aku (Sri) dengan Heru, misalnya, hancur berantakan lantaran sehari sebelum
pernikahan, Heru mati. Esoknya, kedua orang tua Sri, mengalami nasib yang sama.
Lengkaplah penderitaan Sri, sehingga harus mendekam di sanatorium.
Cerpen
“Ratih” juga tidak terlepas dari campur tangan pengarangnya sekadar hendak
membuat sebuah kisah tragis. Gara-gara sebuah bintil kecil, kaki kiri Ratih
harus diamputasi. Lalu, berikutnya kaki kanan harus mengalami hal yang sama.
Meskipun akhir cerita diselesaikan dengan bahagia, kita (pembaca) sudah terlanjur
digiring untuk ikut menangisi nasib tokoh itu.
Cerpen
“Lukisan Kristal Cahaya” yang berkisah tentang heroisme tokoh Widy dan
kekasihnya, Mas Ton dalam perang kemerdekaan. Cerpen “Bulan” yang mengisahkan
idealisme tokoh Joko bertekad mengangkat kehidupan masyaraklat desa, dan cerpen
“Rumah” yang mengangkat kisah sukses Mas Satya, suami tokoh aku, memperlihatkan
kecenderungan yang sama, ketergodaan pengarang untuk ikut campur dalam
perjalanan hidup tokoh-tokohnya.
Ciri-ciri
yang cukup menonjol di sana adalah kesetiaan pengarang pada tema dan frame yang telah dirancangnya. Meskipun
begitu, kelincahannya menyampaikan narasi dengan gaya bahasa yang cenderung
puitis menjadikan cerpen-cerpen itu memang terasa sedap. Sangat mungkin KLR
sengaja mengusung tema tertentu dengan sasaran pembaca yang juga tertentu.
Dengan demikian, kita dapat memahami jika di sana kita tidak menemukan latar
tempat dengan tokoh yang di belakangnya menempel kultur tertentu.
Gambaran
yang demikian itu sepereti hilang begitu saja ketika kita membaca antologi
cerpen Tak Alang Kepalang (Balai
Pustaka, 1993). Di sini, KLR tampil bagai wartawan budaya yang coba memotret
berbagai keindahan daerah wisata dengan kekayaan kulturnya yang ekskotik. Dalam
cerpen “Senggigi” misalnya, menghadirkan manusia Indonesia yang multikultural,
Hindu-Bali—yang diwakili tokoh Ni Luh Swandari—dari Kristen—yang diwakili oleh
topkoh Hadi—menjadi sebuah persaudaraan yang indah ketika di sana ada
persahabatan. Meski begitu, cerpen yang sesungguhnya sangat kaya dengan warna
lokal dan kultur etnik ini, kembali harus berakhir tragis ketika pengarang tak
dapat melepaskan diri dari campur tangannya. Maka, ketika kedua tokoh yang
sudah berpisah sekian lama, dan tiba-tiba berjumpa kembali di Senggigi,
serta-merta muncul tokoh lain yang kehadirannya “hanya” untuk mematikan tokoh
Ni Luh Suwandari. Kecerdasan narator yang berkelok-kelok dengan problem tradisi
dan adat-istioadat yang melekat kuat dalam diri masyarakat Hindu-Bali,
diselesaikan begitu saja dengan cara mematikan tokoh Ni.
KLR
mungkin sengaja menutup kompromi ketika adat-istiadat dan tradisi, agama dan
kepercayaan, harus dipersatukan sebuah perkawinan. Mungkin juga KLR sengaja
mengingatkan kenyataan sosial yang sering terjadi dalam sebuah bangsa yang hidup
dalam keberagaman, yaitu problem perkawinan yang harus berhadapan dengan agama
dan sistem kepercayaan.
Dalam
cerpen “Hafolin” yang menghadirkan tokoh aku (Masindu) yang Papua, problem adat
dipersatukan oleh adanya kesamaan agama. Tokoh aku akhirnya bersatu kembali
dengan Maria Vazquez yang kelahiran Timor Timur.
Seperti
juga cerpen sebelumnya, cerpen “Hafolin” dibangun oleh sebuah narasi yang
berkelok-kelok dengan rentang waktu bertahun-tahun. Di sini, kita dihadapkan
pada sebuah panorama pulau-pulau di Tanah Air dengan kekayaan budaya yang
ekskotik.
Beberapa
cerpen lainnya dalam antologi itu mengangkat kisah tokoh-tokoh dari berbagai
suku bangsa. “Ermera” (Timor Timur), “Tebing” (Dayak Benuaq), “Citatah” (Jawa,
Cina), “Gelombang” (Sunda), “Apo Kayan” (Dayak Kenyah). Dari sudut itu, tentu
saja antologi cerpen ini memperlihatkan perhatian dan kesungguhan KLR dalam
memandang sebagai suku bangsa yang bertebaran di sekitarnya. Maka, ketika
banyak orang bicara tentang multikultural sebagai salah satu langkah untuk
meredam konflik etnik, KLR justru telah memperkenalkan dan sekaligus
mempraktikkannya. Sungguh, antalogi cerpen ini seperti merepresentasikan
apresiasi KLR atas keanekaragaman suku-suku bangsa di Tanah Air ini.
Dua
cerpen lain, yakni “Teluk Nyomit” dan “Melintasi Malam” yang dijadikan contoh
kasus, saya ambil dari antologi Melintasi
malam (Gramedia, 2003). Cerpen “Teluk Nyomit” bercerita tentang kisah cinta
yang kandas antara tokoh aku dengan gadis Buamamih, cucu salah seorang pemuka
adat Dayak. Sukses tokoh aku yang kemudian membawanya untuk melunasi janji pada
gadis itu, ternyata tidak diikuti oleh nasib baik Buamamih. Munculnya
konglomerat yang menghabiskan ratusan hektar rimba Kalimantan dan nasib tragis
yang dialami Buamamih yang diperkosa, yang memaksa Buamamih memutuskan untuk
melakukan balas dendam daripada menerima lamaran tokoh aku. Kembali, kita
melihat adanya campur tangan pengarang seakan-akan memang sengaja menciptakan
akhir yang tragis.
Sementara
cerpen “Melintasi Malam” KLR mengangkat mitos asal-mula kematian. Pertemuan
tokoh anak muda dan orang tua dalam taksi air, dihadirkan sebagai katalisator
untuk mengungkapkan mitos Tatau Mukng Menur yang berada di antara dua istri
simbol kehidupan dan kematian.
Empat
cerpen yang saya pilih dari antologi Rindu,
semuanya bercerita tentang masyarakat Dayak. Cerpen “Sungai Melangkar”
mengangkat mitos asal-usul ikan baung yang menjadi guci. Suatu saat, guci indah
yang penuh misteri itu, dicuri Loboq Solay dan Sunge Meaq, dua pecandu narkoba.
Belakangan diketahui, keduanya mati di dasar Sungai Melangkar.
Cerpen
kedua bercerita tentang pengkhianatan Nagang pada sahabatnya Tingang, suami
Nori. Karena cinta pada Nori, Nagang mencelakakan Tingang ketika keduanya masuk
Gua Sarang Walet. Selama 20 tahun Nagang berusaha melamar Nori, selama itu pula
Nori menolaknya. Suatu saat, Nori menerima lamarannya dan upacara pernikahan
pun segera disiapkan. Tetapi, pada saat menjelang pengesahan keduanya menjadi
suami-istri—yang ditandai dengan olesan darah kerbau pada wajah kedua mempelai
itu—Pune, putri Nori dari pernikahannya dengan Tingang, menjerit minta tolong.
Kakinya terperosok ke dalam tanah. Ketika Pune diangkat beramai-ramai,
muncullah sosok Tingang yang selama 20 tahun hidup di dalam gua.
Cerpen
“Pernikahan di Atas Tiang” juga mengangkat peristiwa pernikahan. Namun,
menjelang upacara itu, gempa bumi dan banjir tsunami terjadi. Kedua mempelai
tersangkut di atas tiang lamin, selamat dan resmi menjadi sepasang suami-istri.
Cerpen
“Gelap Indonesia Raya” menggambarkan terjadinya perubahan pandangan tentang
konsep belian, dukun dan upacara
penyembuhan orang sakit dalam komunitas Dayak. Tokoh aku dan istrinya—yang
keduanya dokter—kelak diharapkan mengganti kedudukan belian melalui cara pandang modern: dokter. Pada saat upacara
berlangsung, datanglah huru-hara yang membakar lou, rumah panjang masyarakat Dayak. Sampai di sini, KLR terkesan
menahan diri untuk tidak menyebutkan sumber huru-hara itu. Meskipun demikian,
tentu saja kita masih dapat mencantelkannya dengan berbagai huru-hara di
Kalimantan beberapa waktu yang lalu yang dipicu oleh konflik etnik.
Dari
gambaran ringkas keempat kumpulan cerpen dan sejumlah cerpen yang telah
disinggung sebelumnya, kembali kita menjumpai begitu banyak campur tangan
pengarang dalam peristiwa yang dialami tokoh-tokohnya. Faktor kebetulan dan peristiwa
yang serba tiba-tiba, cenderung menjadi ciri khas dalam cerpen-cerpen KLR.
Meskipun pengarang punya hak penuh atas nasib yang dialami tokoh-tokoh
rekaannya, kecenderungan memanfaatkan faktor kebetulan dan peristiwa yang serba
tiba-tiba, justru dapat menghadirkan hangar—gangguan
komunikasi antara teks dan pembaca—jika faktor kebetulan dan peristiwa
tiba-tiba itu, dihadirkan begitu saja tanpa proses yang logis.
Seperti
telah disinggung sebelumnya, kecenderungan itu boleh jadi lantaran KLR memulai
kisahnya melalui frame yang telah
dirancang sebelumnya. Dan KLR begitu setia pada frame itu. Maka, yang muncul kemudian adalah kesan adanya pemaksaan
pada alur cerita.
Bahwa
frame itu memunculkan kesan adanya
pemaksaan, hal tersebut tampak pula pada peristiwa-peristiwa yang dibangun di
awal cerita. KLR bisa memulai ceritanya dari mana saja. Artinya, pintu masuk
untuk memulai narasi, bisa dimulai dari peristiwa, tokoh, latar, atau apa saja.
Dari sana, secara perlahan pembaca dibawa masuk pada tema yang hendak
diangkatnya.
Di
luar persoalan itu, secara tematis cerpen-cerpen KLR memperlihatkan panorama
kultur etnik yang kaya dan melimpah. Sebagai salah satu usaha memahami Dayak,
tak pelak lagi, cerpen-cerpen KLR dapat digunakan sebagai pintu masuk yang
mengasyikkan. Dalam konteks itulah, cerpen-cerpen KLR telah memperlihatkan
kontribusinya yang penting. Ia telah memperkaya khazanah sastra Indonesia
secara keseluruhan.
Catatan:
1).
Makalah ini disampaikan dalam acara Korrie
Layun Rampan dalam Sastra Indonesia yang diadakan di Taman Ismail Marzuki
(TIM), Jakarta, 29-30 September 2005, yang ditaja Dewan Kesenian Jakarta
bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.
2).
Maman S. Mahayana, kritikus sastra, penulis buku teks, anggota Angkatan 2000
dalam Sastra Indonesia, staf pengajar pada Program Studi Indonesia Faklultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
3).
Di antara cerpen-cerpen itu ada juga yang menyabet hadiah pertama dalam suatu
sayembara, misalnya cerpen “Kekasih”
(Hadiah Pertama Majalah Keluarga) dan
cerpen “Perjalanan dalam Kelam” (Hadiah Pertama Majalah Femina).
4).
Umumnya cerpen-cerpen itu memang ditulis dan dipublikasikan di majalah wanita
dan keluarga seperti Sarinah, Femina,
Famili, dan lain-lain.
0 comments:
Post a Comment