Pada tahun 1909-1916, Alexander
WF Idenburg menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Pada masa-masa
inilah pemerintah kolonial Belanda mulai melakukan politik etis di tanah
jajahannya.
Sekolah-sekolah untuk kaum
pribumi dengan kelas-kelas elite tertentu (kaum bangsawan, para birokrat, dan
para hartawan) mulai dibuka di berbagai kota besar di Hindia Belanda (Ricklefs,
1994 : 236). Tapi, kebijakan Gubernur Jenderal Belanda itu hanya dilakukan
secara terbatas di kota-kota besar di Pulau Jawa saja.
Di kota Banjarmasin sendiri
situasinya masih tetap seperti sedia kala. Terbukti, sampai dengan tahun 1909, sekolah yang ada di
kota ini cuma Sekolah Kelas II saja. Sekolah ini sendiri dibangun pada tahun
1906 oleh Johannes van Weert yang ketika itu menjadi Residen di Borneo Selatan
(Zuider Afdeling van Borneo). Sampai dengan akhir masa jabatannya pada tahun
1911, Johannes van Weert tidak juga membangun sekolah baru sebagaimana yang
dilakukan oleh para Residen Belanda yang bertugas di Pulau Jawa.
Sekolah HIS (Holland Indische
School) baru dibangun di kota Banjarmasin pada tahun 1913, yakni oleh Residen
LFJ Rycman. Dua puluh empat tahun kemudian (1937) barulah pemerintah kolonial
Belanda membangun Sekolah MULO (Midlebaar Uitgebreid Loger Onderwijs) di kota
Banjarmasin, yakni oleh Residen Moggenstrom (Saleh, 1979: 22).
Masih berkaitan dengan politik
etis ini pula, para birokrat Belanda yang berkuasa di Borneo Selatan (Borsel)
ketika itu, juga membiarkan sejumlah wartawan pribumi menerbitkan sejumlah
surat kabar berbahasa Indonesia (Melayu) di daerah kekuasaannya.
Surat kabar pertama yang
diterbitkan oleh seorang wartawan pribumi, di Borsel (Kalsel) ketika itu adalah
Suara Kalimantan. Surat kabar ini
diterbitkan di Banjarmasin oleh Anang Abdul Hamidhan pada tanggal 23 Maret 1930
(Artha, 1981:35). Gerak langkah Anang Abdul Hamidhan itu kemudian diikuti oleh
para wartawan pribumi lainnya. Sehingga dalam tempo singkat tercatat ada 15
buah koran/majalah yang terbit di Borsel pada kurun waktu 1930--1942.
Semua koran/majalah
dimaksud merupakan sarana yang efektif
untuk menyebar-luaskan pikiran dan perasaan segenap anak bangsa yang tanah
airnya sedang dijajah bangsa Belanda. Pada kesempatan wawancara dengan penulis
pada tanggal 20 Desember 1992, Artum Artha memaparkan bahwa selain memuat aneka
jenis berita, hampir semua surat kabar yang terbit pada tahun 1930-an itu juga
memuat karya sastra bergenre modern dalam bahasa Indonesia (Melayu).
Contoh konkretnya, surat kabar Bintang Borneo edisi 15 September 1930,
memuat sebuah puisi karangan Anak Martapura (nama samaran penyairnya)
sebagaimana yang dikutipkan di bawah ini.
BANGSAKU
SADARLAH
Bangun
bangsaku janganlah malas
Bahana
Merdeka sangatlah jelas
Bangsa
tertindas asyik membantras
Bagi
segala kungkungan yang pantas
Ambilah
haluan yang berbahagia
Arah
tujuan ikutlah Jawa
Apa
bila kita tidak seia
Amblas
kita di dalam gelora
Nah,
sekarang Kalimantan dimaksud
Negeri
kita mesti bersujud
Ngabdikan
badan agar serajud
Nasihat
ibu suatu rajud
Gayakan
zaman sudah dirasa
Getir
dan pahit jangan dikata
Gunakan
waktu kata bujangga
Girangkan
hati bila bekerja
Suluh
itulah suatu obor
Sinarnya
terang tidaklah kabur
Suburkan
onderwijs yang masih diatur
Supaya
kita jangan teledor
Ajaklah
saudara suka berkumpul
Asah
otak mana yang tumpul
Arahkan
haluan kepada yang kepul
Agar
terjadi maksud yang betul
Ketinggian
derajat diselami serta
Kalimantan
kita gelap gulita
Kirimkan
obor penerang mata
Kalungkan
tenaga dan ilmu kita
Usahlah
saya berpanjang madah
Uraikan
syair ini bukanlah indah
Umum
hendaknya jadi pepadah
Usahakan
agar jangan direndah
Salam
dariku
Anak
Martapura
Teks asli puisi di atas ditulis
dengan menggunakan ejan Van Ophnysen.
Berminat
membaca bagian-bagian lainnya, yakni Sastrawan Kalsel Generasi
Perintis Zaman Kolonial Jepang 1942—1945
hingga Sastrawan Kalsel Generasi Pewaris Zaman Reformasi 2010—2011? Silakan membacanya di buku SEJARAH LOKAL KESUSASTRAAN
INDONESIA DI KALIMANTAN SELATAN 1930—2011. Pembelian buku bisa
melalui nomor 08195188521.
0 comments:
Post a Comment