Bambang Widiatmoko dikenal sebagai penyair, esais, dan
juga peniliti (tradisi lisan). Banyak puisi yang telah dilahirkannya. Puisi-puisinya dihimpun dalam bentuk buku, baik antologi puisi
tunggal seperiti Kota Tanpa Bunga
(2008), Hikayat Kata (2011), Jalan Tak Berumah (2014), maupun
antologi puisi bersama semisal Negeri
Langit (2014) dan Negeri
Laut (2015). Sedang esai-esainya dibukukan dalam Kata Ruang (2015).
Berikut
adalah sebuah puisi dan esainya seputar sungai.
Sangkan
Paraning Dumadi
Setiap
kali mengingat aliran sungai
Yang
bersumber dari kaki Merapi
Inilah
sungai yang penuh misteri
Menyimpan
mitos dengan rapi
Sangkan
paraning dumadi
Manunggaling
kawula Gusti.
Batu
tak akan habis dicari
Pasir
tak akan surut digali
Sebagian
menjadi candi
Berkah
melimpah letusan Merapi
Menyuburkan
tanah kami
Keringat
leluhur menjadi saksi.
Jika
malam hari terdengar air tersibak
Tak
perlu jiwa ikut merebak
Kereta
melesat lewat tak beriak
Menjadi
pertanda akan datangnya bencana
Lewat
penguasa laut selatan yang bau dupa
Dan
kita pun bersiap tanpa rasa duka.
Yogyakarta
tetap setia menjaga sungai jiwa
Membelah
kota dengan segenap rasa cinta
Mengalir
tenang dan kadang menghanyutkan
Menjadi
saksi zaman yang tak bisa diciutkan
Mengalir
di sisi timur istana membawa harapan
Lalu
lurus menuju muara laut selatan.
Kali Code,
2016
Imaji Puisi Kali
Ada ingatan pada masa kanak-kanak
saya tentang kali (sungai) yang membuat hati saya berdesir tiap kali
mengingatnya. Kali itu adalah Kali Code yang mengalir di tepian desa tempat
tinggal kakek nenek buyut saya, berbatasan dengan kampus Universitas Gadjah Mada.
Tiap liburan sekolah saya bermalam di rumah leluhur yang tentu pada saat itu
listrik belum tersambung. Tanah pekarangannya sangat luas berbatasan dengan
makam Cina dan Kali Code. Pohon kelapa, nangka, melinjo, dan bambu adalah
tanaman yang tumbuh lebat di pekarangan. Saya terkadang mengintip lobang sumur
dan tampak permukaan airnya terlihat sangat dalam. Menjelang tidur nenek saya
mendongeng bahwa tiap kali gunung Merapi mau meletus, kereta yang membawa Nyai
Roro Kidul dan pengiringnya selalu melewati Kali Code menuju Merapi. Terdengar
suara gemerincing pada saat kereta itu lewat. Entah benar atau sekadar mitos
berbau mistis tetapi cerita itu teringat terus sampai kini.
Sayangnya, sampai saat ini saya tidak
berhasil merekam ingatan tersebut menjadi karya sastra berbentuk puisi. Kali,
tentunya tidak sekadar menorehkan kenangan dan kebahagiaan masa kecil siapa pun
dan di mana pun. Kali bisa mengandung muatan sejarah yang panjang, Kali, bisa
berarti ada kehidupan yang bertopang pada aliran dan kandungan isinya. Kali
dapat berfungsi sebagai pembatas geografis, kultural atau kekuasaan dari sebuah
wilayah dengan wilayah lainnya. Kali, bisa berarti ada keindahan dan mungkin
juga kengerian. Kali, adalah lingkungan hidup kita, yang telah menjadi
perhatian bersama karena pencemaran. Kali, telah mencatat segala peristiwa
dalam keberlangsungan hidup manusia. Banyak puisi yang mengungkapkan tentang
(tema) kali, telah ditulis oleh penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Tema
adalah gagasan utama di dalam karya sastra. Di balik tema ada amanat atau pesan
yang disampaikannya. Selain puisi bertema kali, kata kali juga menarik untuk
dijadikan judul buku kumpulan puisi. Misalnya Akulah Musi, Riak
Bogowonto, Ziarah Batanghari. Kali, juga muncul menjadi nama komunitas sastra,
misalnya Komunitas Sastra Kalimalang. Hal itu menarik untuk menjadi
kajian tersendiri.
/2/
Dalam mitologi tokoh di pulau Jawa
yang berkaitan dengan kali tentu melekat nama Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga
semasa kecil bernama Ki Mas Sahid, seorang putra Tumenggung Wilatikta,
Bupati Tuban (Aria Teja). Ia menjadi Muslim yang taat berkat wejangan dari
Sunan Bonang, dan selanjutnya diangkat sebagai wali (Atmodarminto, 2000:
50-60). Konon, sebutan Kalijaga muncul dari perintah Sunang Bonang yang
menyuruh Ki Mas Sahid “bertapa” di pinggir kali. Cerita tradisi di Jawa
memunculkan tokoh bernama Ratu Kalinyamat. Cerita ini mengisahkan Kalinyamat
sebagai pusat kerajaan dan keagamaan pelabuhan Kota Jepara yang pada awalnya
didirikan oleh Wintang, seorang saudagar Cina yang kapalnya terdampar di
Jepara. Wintang adalah seorang muallaf setelah diislamkan oleh Sunan Kudus dan
menikah dengan putrid Sultan Trenggana dari Demak. Selanjutnya, istri Wintang
menjadi ratu Jepara, yang pada masa kejayaan perniagaan menyandang gelar Ratu
Kalinyamat (Reid, 2004: 90). Ritus atau perayaan-perayaan yang dilakukan
terhadap keberadaan sungai pun dilakukan di berbagai daerah. Penyair dapat
menangkap suasana ritus dan dengan berbagai persepsi dan imajinasinya, lantas
dituangkan dalam bentuk puisi. Anwar Putra Bayu menulis puisi berikut ini:
Ritus Sungai
Segenap ikan menggoyangkan ekor
menyelam dan pergi
limbah pabrik menggenang. Jadi pembunuh
para penjala letih saling menatap
kau kehilangan mata air
air sungai kepedihan
yang mengalir di wajah
anak-anakmu.
2012
(Sauk Seloko, Dewan Kesenian Jambi, 2012: 41)
Ritus Sungai telah menghadirkan
kehidupan baru tentang sungai yang tercemar akibat limbah pabrik. Suasana
kepedihan pun terbangun membaca puisi tersebut. Pencemaran yang terjadi di sungai
dapat dilihat di berbagai kota akibat dampak dari industrialisasi. Pencemaran
yang terjadi di sungai Musi juga menarik perhatian penyair lainnya. A. Rahim
Qahhar menulis puisi Kurakit Puisi di Sungai Musi dalam
kutipan sebagai berikut://musi, dahulu siti jernih bercermin/dari pagi hingga
malam hari/dari sri susuhunan Abdurrahman/hingga sultan ahmad najamuddin/aku
menanti berabad-abad/kisah ini belum pernah tamat/kini rumah rumah dan limbah
industri/menyamak paras arca seni amarawati//(Akulah Musi, hal. 8—9).
Perjalanan sungai pun terus berlanjut dan akhirnya membawa nasib tersendiri,
seperti yang ditengarai Eka Budianta: //Sungai yang dulu menangis/Di antara
batu-batu di pegunungan/Sekarang telah sampai di kota/Dan terus menuju ke
laut/Tak lagi terdengar derai air terjun/Udara sejuk, nyanyian burung, semerbak
bunga/Telah berganti panas terik dan polusi/Sampah, minyak bekas, ikan-ikan
mati//(Perjalanan Sungai, hal. 8—9).
Secara tersirat segala perubahan yang
terjadi pada kehadiran sungai menjadi daya tarik dalam penulisan puisi. Jumardi
Putra menuliskannya dalam kutipan bait terakhir://Terus kudaki jalan terjal ke
arah sana/Meski sunyi dipayungi duri/Sepanjang jalan, terdengar
nandung/anak-anak sungai ipuh://”Bertahun yang lalu, kami menyusun/batu-batu cantik
di bibir sungai/Kini, entaholeh siapa, bebatuan itu/memilih darat lain”//(Balada
Sungai Ipuh, hal. 24).
Menurut Reid (1992: 64—65), sebagian
besar masyarakat Asia Tenggara terbiasa melakukan ritus tahunan dengan tujuan
untuk membersihkan desa dari roh jahat. Di wilayah pemeluk Islam, misalnya,
bertahan tradisi mandi safar, yaitu suatu ritus mandi bersama yang dilakukan
pada hari Rabu terakhir dari bulan Safar. Di wilayah pemeluk Buddha, bertahan
ritus membersihkan boneka-boneka yang diikuti dengan aktivitas bersendau-gurau
sambil melempar air. Adapun dalam pelarungan sesajen, biasanya mereka membuat
rakit besar dari rotan yang berisi berbagai makanan yang di atasnya diletakkan
sebuah kursi. Mereka melarungnya di Kali sambil berseru mengusir Sang Roh Jahat
atau Sang Wabah, Ritual di kali terbukti lintas agama. Umat Hindu begitu
mengagungkan sungai Gangga sebagai sungai yang suci, Belum lagi yang ada dalam
tradisi sebagian masyarakat di Jawa yang menganggap kali dapat menyucikan diri
lahir dan batin. Tradisi mandi di tempuran, tempat bertemunya
aliran dua kali menjadi satu aliran, sampai saat ini masih banyak yang
melakukan. Beredam di tempuran sungai pada waktu malam
tertentu dilakukan sebagian masyarakat Jawa dalam kaitannya dengan kepercayaan
Kejawen. “Kali atau wilayah perairan sebagai sumber kekuasaan dapat dijumpai
pada kisah cinta Senapati dengan Nyai Roro Kidul – Ratu Laut Selatan dan Retna
Dumilah – Pangeran Timur/Panembahan Madiun (Moedjanto dalam Wasith, 2006: 139).
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di
antaranya memiliki wilayah kabupaten bernama Kulon rogo. Kabupaten ini sesuai
namanya terletak di kulon atau barat Kali Progo. Menurut hasil penelitian
Suhindriyo disebutkan, Progo berasal dari Pragya atau Praga, artinya partirtan
di anak Kali Gangga. Kali Progo memiliki aliran sepanjang 135 kilometer,
mencakup wilayah Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Magelang (Jawa Tengah),
serta Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul (DIY).
“Mitologi keagamaan dari Kali Progo mengisahkan aliran Progo sampai daerah
Mungkid (Magelang) bertemu dengan aliran Kali Elo. Kata Elo berasal dari Ayla
atau Eyla, yaitu sebutan Kali Yamuna di India yang dimitoskan sebagai kali
suci. Daerah pertemuan dua kali tadi disebut prayaga, yaitu tempat
suci di pertemuan Elo-Progo, sebagai tempat pembangunan kompleks percandian
Buddha yang terdiri dari tri suci candi: Mendut, Pawon, dan Borobudur yang
terletak dalam satu garis lurus (Suhindriyo, 2001: 49--55).
Tentang imaji Kali Progo ditulis
Triman Laksana dalam puisi berjudul Sketsa Kali Progo berikut ini:
Air yang baru saja habis
Di pematang-pematang garis tanah
Telah memberi titik harapan
Tergambar begitu menyilaukan mata
Untuk segera dicari pada gerak menanam
segala jenis masa lampau
Di panggul pemula masa depan
Masih mampu menghadirkan nafas hari
Yang menggetarkan semangat kaki
Dengan hamparan warna hijau hanya air
yang bersumber dari keabadian
Dijunjung tinggi bersama kemenangan
Tak habis menjalani kesuburan bumi
Segala yang tertata di mata
Tanpa harus kembali meminta
Ini hari
Air kembali berkata.
(Minggu Pagi No. 05 Th. 57, 1 Mei 2004)
Berbeda dengan puisi sebelumnya yang
menyiratkan kemuraman. Puisi Triman Laksana tetap menawarkan harapan—terhadap
air yang bersumber pada keabadian. Kearifan alam yang bersumber pada air pun
selalu terjaga.//Tanpa harus kembali meminta/ini hari/air kembali berkata//. Di
tempat lain, melalui panjangnya aliran sungai, mengalir pula sejarah dan
kehidupan yang panjang. M. Raudah Jambak menulis puisi sebagai berikut:
Sungai Siak
Dari jembatan leighton kukunyah riak air
menitip intip patin-patin. Entahlah,
mungkin muntah pasar bawah
mungkin batuk tanjung datuk
dari jembatan leighton kuhapus tetes air
merayap jatuh di pipinya yang keruh,
Entahlah, mungkin gertak tongkang
Mungkin gerah limbah
Dari jembatan leighton kusaksikan peluh air
terkenang sejarah sirih yang pedih. Entahlah,
mungkin sejarah pohon-pohon batu
mungkin rerak sendi tanah-tanah retak
dari jembatan leighton
siak begitu kepompong
rumbai, 10—11
(Sauk Seloko, Dewan Kesenian Jambi, 2012: 182)
Ada sejarah panjang diungkapkan oleh
penyairnya tentang keberadaan sungai Siak. Dari terkenang sejarah sirih yang
pedih” sampai “gertak tongkang/mungkin gerah limbah”. Meski “dari jembatan
letong/siak begitu kepompong,” kita bisa merasakan pengaruh atau kejayaan
sungai Siak sejak dahulu hingga kini. Dalam sejarahnya sungai Siak memegang
peranan penting sebagai jalur perdagangan atau pelayaran. Hilir Kali dinilai
strategis dan biasanya dijadikan sebagai ibu kota kerajaan tempat aktivitas
perpindahan antara kapal samudra dan perahu, seperti negeri-negeri di Sumatra
bagian timur – Palembang, Jambi, Indragiri, dan Siak. (Reid dalam Wasith 2006:
139). Sungai Siak juga dapat memberikan gambaran suasana yang romantis, seperti
yang ditulis Satmoko Budi Santosa dalam kutipan ini://demikianlah sampanmu
terayun-ayun/semanyun gadis-gadis melontar balasan pantun//. (Cincin Kawin
di Sungai Siak, hal. 283).
/3/
Kali, memegang peranan penting dalam
kehidupan manusia sejak dahulu sampai sekarang. Sebagai sebuah pilihan, tema
kali selalu menarik untuk dituliskan dalam bentuk puisi. Melalui puisi, kita
bisa melihat keberadaan dan segala peristiwa yang melingkupinya. M embaca imaji
atau citraan dalam puisi-puisi bertema Kali, dapat dilihat makna dan pesan yang
disampaikan penyairnya. Puisi-puisi tentang kali memiliki keragaman nilai dan
terus berkembang nilai-nilai estetiknya sebagai objek estetika dalam perjalanan
sejarahnya. Perjalanan sungai.
0 comments:
Post a Comment