Senja ini datang
lagi. Rona keemasan itu seakan mohon diri dengan santun. Suaranya lembut
melantunkan doa-doa yang amat khusyuk. Dan anehnya hanya aku yang mampu
memahaminya. Pelabuhan yang menyandarkan kapal-kapal pengharapan hilir mudik
dengan lenggana. Di sudut loket penyeberangan itu masih sama seperti lima tahun
lalu. Pohon mahoni dengan kursi panjang. Disanalah kukayuh harapanku menemui
lelaki bercambang dengan mata sayu. Ya, lima tahun lamanya rinduku mangkrak,
seakan semuanya baik-baik saja. Lelaki itu tak kunjung tiba. Masih terngiang
janjinya diujung senja itu. Kulepas kepergiannya bersama datangnya kejora yang
begitu kilap. Seakan bintang itu memberiku kekuatan akan janjinya yang didengar
seluruh semesta. “Wira akan memenuhi
janjinya untukmu”. Kata kejora malam itu.
Kupandangi
lekat-lekat langit yang legam di pesisir ini. Kucoba ajak bicara bintang
gemintang yang tak pernah ingkar menemui malam. Meski cahayanya kadang harus
tenggelam karena mendung yang didesak hujan berebut bumi. Rindu ini menangis. Menatapmu pun tak mampu. Haruskah
aku menaruh harap pada hujan yang datang esok pagi? Kau sapa dedauanan yang
dicumbui embun malam. Kau hapus jejak itu dikehijauan warnanya. Betapa
menyakitkannya rinduku. Memekat seperti tanah liat disepanjang jalan menuju
rumahku, Kejora, Masihkah kiranya rindu yang ia ucapkan mengalir biru
atau luntur oleh air laut yang memasin? Aku masih menaruhnya cukup apik disudut
hatiku. “Wira!”, lelaki itu selalu kusebut. Namanya cukup berat mengisi
kerongkonganku kering tercekat rindu. Rasa cemburu itu terus menggelitik hati
yang menyimpan tanya. “Apakah hati lelaki itu sudah terjamah wanita lain?.”
Mataku berpidah
menatap jauh diujung-ujung kapal yang mulai tertelan malam. Riuh suara deru
mobil terus mengantre kapal yang datang. Begitu juga hatiku, terus menunggu
dengan rapi. Ditempat ini, Wira selalu memberiku kekuatan tentang sebuah
perjuangan.
“Hidup hanya sebatas
perjalanan pagi sampai senja yang terus berganti malam. Bintang, bulan, dan
matahari adalah warna yang menghiasi setiap langkah itu. Sehingga kita bisa
memandang gunung itu tinggi, laut itu biru, dan langit itu luas. Juga aku bisa
membedakan wajahmu dan senja yang merona itu. Semua tampak manis.” Kata Wira
yang selalu menenangkanku.
“Bagiku pernikahan
adalah kapal dan pelayaran adalah proses untuk saling memahami berjuang
mengarungi samudra kehidupan. Untuk menyeberangi kita memerlukan kompas sebagai
penunjuk arah. Namun kadang pelayaran itu tak mesti berjalan dengan baik. Angin
sering mengombang ambing layar juga cuaca kadang siri. Kabut tebal sering
menghadang diperjalanan.” Jawabku tak kalah memberikan argumen.
“Diyang kau tahu
alasanku mengabdikan diriku untuk sosial? Salah satu yang menjadi alasanku
adalah cinta. Aku masih menyangsikan soal cinta. Aku tak ingin membuat wanita
menangis. Sejak ibuku meninggal, aku seakan kehilangan kendali. Ibu berjuang
sendiri membesarkan kelima putranya, dan aku adalah putra bungsu yang selalu
menemaninya. Namun pertemuanku denganmu seakan aku menemukan wanita itu
kembali. Kau tampak kuat memikul hidupmu.”
“Entahlah, apakah aku
kuat seperti yang kau lihat.” Tukasku mengakhiri perbincangan itu.
***
Kuakui semenjak
menjadi single parent untuk putra
semata wayangku. Hidupku seakan limbung. Lelaki itu sudah pergi meninggalkanku
mengejar mega-mega yang membawanya ke bulan. Ntah mengapa Wira telah membuka
hatiku kembali yang lama terkunci. Pemuda yang singgah beberapa bulan sebagai
relawan pendidikan di tanah Borneo ini. Senyumnya ramah menyapa bocah bocah
pesisir ini. Kelakarnya manis menyuarakan nyanyian anak-anak negeri.
Wira, terakhir ia
kabarkan mengabdikan diri di tanah Papua. Itu kudengar satu tahun lalu melalui
pesan smartphonenya. Kabarnya kian
kabur, ntah karena signal atau apa.
Ditempat inilah terakhir kali kugenggam jemarinya. Kita nikmati angin musim
yang serak parau.
“Diyang, kamu harus
kuat ya. Meski aku jauh dari matamu, kau tetap bisa ungkapkan keluh kesahmu.
Tulislah tentang banyak hal ke email
pribadiku. Aku akan baca dan terus memberimu waktu.” Katanya dengan tatapan
meyakinkan.
“Tentu Wir, aku akan
menulis untukmu.”
“Suatu hari kita akan
bertemu lagi ditempat ini, semoga kau tak menggantikannya dengan lelaki lain
Yang.”
“Aku menyangsikanmu
Wir, apakah aku pantas untuk kau perjuangkan. Kamu tahukan keadaanku. Aku single parent. Tak banyak yang bisa
menerimanya. Ketika kau pergi dan lambat laun melupakanku pun tak masalah jika
cinta kita harus kandas karena aku hanya butuh keseriusan dan cinta yang tulus,
bukan karena iba atau terpaksa”.
“Kamu masih tak yakin
kesungguhanku?” matanya menatapku lekat.
“Aku tak ingin
siapapun lelaki itu mencintaiku karena iba.”
“Sudahlah, kau
terlalu memikirkan perasaanmu. Senja itu sebagai saksi dan pelabuhan ini adalah
penghulunya. Kita akan menjadi pengantin di tempat ini.”
Genggaman itu kian
renggang. Kapal itu telah merampasnya. Meregang bersama senja yang tenang.
Ombak bergulir memainkan rasa yang tumpah bersama gemericiknya jangkar yang
mulai ditarik awak kapal. Sunset di langit barat meredup seakan memaknai hatiku
disenja itu.
***
Gatra semata
wayangku. Ntah apa yang harus mama katakan kelak padamu, Nak. Tentang ayahmu
yang jauh disinggasananya. Tak seharusnya kau telan malam sunyi. Begitu
menyakitkannya gelap itu. Suara tangismu bergaung mesra melucuti kesedihan
ibumu. Setiap lelaki yang menggendongmu kau tampak ceria. Apakah kau rindukan
ayahmu? Semakin perih rasaku melihat kedekatanmu dengan Wira lelaki seberang
itu Nak. Kalian bercengkrama di bawah mega-mega yang sebentar-sebentar pergi
karena malam adalah teman kita hari-hari.
Gatra putraku, suatu
hari nanti kau akan tahu lelaki perkasa bukanlah ia yang punya harta dan
rupawan wajahnya. Kau lelaki kecilku, setiap doa kusebut namamu memohon kepada
yang Esa kau menjadi lelaki tangguh dan memuliakan wanitamu dan menjadi idola
anak-anakmu.
Aku cukup tahu diri
menjadi single parent bukanlah hal yang mudah. Apa pun alasannya janda selalu
disudutkan pada sesuatu yang negatif dengan lebel pengganggu. Aku yakin tak seorang pun di dunia ini mau
menyandang status itu. Karena pernikahan adalah janji kepada sang maha hidup.
Meski perceraian itu sangat perih ini adalah episode yang harus aku lalui. Aku
tahu tuhan sangat membenci ini meskipun tak dilarang.
Barangkali ini adalah
alas an, aku tak ingin dekat dengan lelaki manapun termasuk Wira.
Seandainya cinta itu
tak meninggalkan sepi, tak meninggalkan angan-angan dan berakhir dengan
kepahitan aku masih mempercayainya. Dan ini bukan masalah percaya atau tidak.
Tapi aku semakin yakin bahwa pembuktian cinta itu tak harus diawali dengan
perkawinan. Jika pada akhirnya kesepianlah yang memagutnya dengan seribu kisah
lara.
***
Mia
Ismed merupakan nama pena dari Ngatmiyatun,
S.Pd. Lahir di Lampung Timur tanggal 8 Agustus 1982 silam. Tahun 2005 ia menyelesaikan pendidikannya yang terakhir
di Universitas Negeri Yogyakarta. Saat ini ia mengababdi sebagai penerus Oemar
Bakri di SMP Negeri 2 Simpang Empat. Baginya menulis adalah candu. Menyuarakan
kegelisahan hati, karena seni menulis masalah hati. Riak-riak kata
mengumandangkan kisah yang tak pernah usai. Beberapa tulisannya dimuat dalam
berbagai event, baik bergenre sastra
maupun artikel ilmiah. Alamat kantor: SMP NEGERI 2 Simpang Empat, Jalan Mutiara
Indah, Ds Gunung Besar, Kec. Simpang Empat, Kab. Tanah Bumbu, Kalimantan
Selatan, telepon: 081255536722, posel: ikoisya@gmail.com, dan akun facebook: mia ismed.
0 comments:
Post a Comment