…
Kakekku
dulu seorang waker atau pegawai
pabrik tebu pada masa Belanda. Atasannya adalah sinder, pengawas tanaman tebu, pabrik
yang sangat disegani di kotaku. Hampir setiap bulan mendapat jatah gula pasir.
Gula pasir di rumah Eyang hampir tidak pernah towong, karena Eyang tiap bulan selain mendapat gaji sebagai waker, juga mendapat jatah gula dari
pabrik.
Tanaman
tebu pada masa itu dilakukan secara intensif, dengan sistem pengairan yang
sangat baik karena dijaga sinder. Biasanya pabrik gula menyewa lahan milik
masyarakat untuk menanam tebu yang usianya sekitar 18 bulan.
Varietas
tebu yang ditanam pun adalah varietas unggul dalam pengertian masa itu, yaitu
ruas tebu besar, banyak air tebunya, dan berasa sangat manis. Ternyata sifat
banyak air tebunya dan berasa sangat manis ini menjadi magnet bagi anak-anak
seusia aku untuk “mencuri” tebu. .
Ada
hukum tidak tertulis bagi anak-anak kecil macam aku ini, yaitu boleh makan tebu
sekenyangnya asal di dalam kebun tebu. Dan sama sekali tidak boleh membawa
batangan tebu keluar dari kebun tebu. Jika itu yang dilakukan, maka anak-anak
kecil akan dikejar oleh penjaga tanaman tebu.
Di
kotaku ada pabrik gulanya namanya PG Mojo berada di tengah kota dan yang
membangun dulu pemerintahan Belanda. Setiap musim giling, mulai giling tebu
diadakan upacara ruwatan mantenan tebu yang kemudian dikenal dengan perayaan
Cembrengan (Cembengan)….
Jika Anda telah membaca penggalan cerita di
atas, mungkin ada rasa ingin berada di dalamnya. Menikmati indahnya kebun tebu,
juga merasakan manisnya air yang keluar dari batang-batang beruas itu. Dan yang
tak ketinggalan, kita dapat memperoleh hasil olahannya yang berkualitas, yakni
gula lokal dari varietas tebu unggul tanpa
harus mengimpornya.
Bahkan, agaknya ada harapan bersama pada masa datang kebutuhan gula dalam negeri terpenuhi
dari hasil tanah sendiri. Tapi, akankah petani tebu dan masyarakat Indonesia
akan jauh lebih mandiri dan sejahtera (tidak hanya sebatas gula, tapi kebutuhan
lainnya) daripada yang digambarkan dalam novel Sus S. Hardjono tersebut?
Sus S. Hardjono berhasil menyajikan novel keduanya
ini dengan baik. Ia menyebutnya dengan novel lirik. Sebuah novel yang apik dan
memotret kehidupan secara apa adanya. Sebelumnya ia juga menulis novel Sekar Jagat dan masih merampungkan calon
novel ketiganya, yakni Pengakuan Mendut.
Penulis kelahiran 5 November l969 di Sragen itu sudah aktif
menulis sejak tahun 1990-an. Bukan hanya novel yang ditulisnya, tetapi ia juga menulis puisi,
cerpen, dan geguritan. Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai media massa
yang terbit di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Nah, bagi pembaca yang berminat
membaca keseluruhan isi novel Surga yang Hilang, silakan menghubungi
penulisnya melalui akun facebook Sus S. Hardjono.
0 comments:
Post a Comment