Menurut ketentuan yang sudah
ditradisikan secara turun temurun di Tanah Banjar, orang yang paling berhak
menggantikan raja tua adalah putera tertuanya yang masih hidup, bukan cucunya.
Tapi, tradisi itu bisa saja dilanggar dan hak putera tertua itu bisa saja
gugur jika raja tua yang berkuasa menetapkan keputusan lain sebagaimana yang
dilakukan oleh Maharaja Sukarama.
“Bila aku wafat nanti maka yang
harus dinobatkan sebagai penggantiku adalah cucuku Pangeran Samudera,” ujar
Maharaja Sukarama di depan pertemuan resmi yang dihadiri oleh segenap petinggi
Kerajaan Negara Daha.
“Tidak bisa!,” teriak Pangeran
Temenggung tiba-tiba. “Aku lebih berhak dibandingkan Pangeran Samudera. Aku
anak sulung ayahanda yang masih hidup, sedangkan Pangeran Samudera cuma cucu
ayahanda dan lagi usianya masih terlalu muda untuk menjadi raja. Masih ingusan,
masih bau kencur, baru 20 tahun.”
Braaak ! Maharaja Sukarama
menggebrak meja. “Diam kau, Temenggung! Ini keputusanku, wasiatku, sabda
pandita ratu. Barang siapa melanggarnya akan kualat terkena kutukanku!”
teriak Maharaja Sukarama tak kalah sengitnya.
Pangeran Temenggung tertunduk
lesu begitu mendengar bentakan Maharaja Sukarama. Berbagai perasaan berkecamuk
jadi satu di hatinya : sedih, malu, dan marah. Para petinggi Kerajaan Negara
Daha lainnya diam membisu, termangu menyaksikan peristiwa dramatis itu.
“Aku bersumpah, selama hayat
masih dikandung badan, aku tidak akan membiarkan Pangeran Samudera naik tahta
sebagai raja di raja Tanah Banjar!,” ujar Pangeran Temenggung bersumpah di
dalam hatinya.
Menurut ceritanya, tak lama
kemudian Maharaja Sukarama mangkat karena usia tua. Segera setelah itu Pangeran
Temenggung menobatkan dirinya sebagai raja di raja Tanah Banjar. Para petinggi
Kerajaan Negara Daha lainnya tidak ada yang berani menggugat penobatan yang
tidak sah itu. Termasuk Pangeran Samudera sebagai pewaris sah tahta Kerajaan
Negara Daha sebagaimana yang sudah diwasiatkan dalam sabda pandita ratu
Maharaja Sukarama.
“Pangeran Samudera masih
terlalu muda untuk menduduki jabatan sebagai raja di raja Tanah Banjar, ia
harus bersabar menunggu hingga waktunya tiba baginya untuk berkuasa,” ujar
Pangeran Temenggung membela diri dari tuduhan telah melanggar sabda pandita
ratu Maharaja Sukamara.
Pangeran Samudera ketika itu
memang baru berusia 20 tahun, meskipun demikian tidak ada seorang pun yang
meragukan kemampuan kerjanya sebagai pemutar roda pemerintahan di Kerajaan
Negara Daha. Terbukti, semua tugas-tugas kerajaan yang dipercayakan kepadanya
selalu berhasil ditanganinya dengan hasil yang sangat memuaskan.
Kenyataan inilah yang membuat
Maharaja Sukarama lebih memilih Pangeran Samudera sebagai calon penggantinya
dengan mengesampingkan Pangeran Temenggung sebagai calon lain yang sesungguhnya
lebih berhak berdasarkan ketentuan yang sudah mentradisi sejak zaman dahulu
kala. Pangeran Temenggung sendiri memang bukanlah tokoh yang disukai oleh
segenap lapisan masyarakat di Kerajaan Negara Daha, karena ia dikenal sebagai
tokoh yang sok kuasa dan arogan.
Meskipun demikian,
Pangeran Samudera tidak begitu bereaksi menerima keputusan Pangeran Temenggung
yang secara tidak sah mengangkat dirinya sendiri sebagai pengganti mendiang
Maharaja Sukarama. Pangeran Samudera cuma diam saja dan ia sepertinya sudah
pula merelakan haknya menjadi raja di raja Tanah Banjar diambil-alih secara
paksa dan sepihak oleh Pangeran Temenggung.
“Jika aku menggugat penobatan
Pangeran Temenggung, maka paman pasti marah besar dan perang saudara akan pecah
antara pendukung kami masing-masing. Itulah yang paling kutakutkan,” ujar
Pangeran Samudera di dalam hati. Didasari oleh pemikiran yang demikian itu maka
Pangeran Samudera lebih memilih berdiam diri saja.
Situasi dan kondisi yang
berlaku ketika itu memang lebih menguntungkan bagi para pendukung Pangeran
Temenggung. Mereka sudah berhasil menguasai keadaan yang memberi peluang bagi
Pangeran Temenggung untuk memenuhi ambisi pribadinya yang haus kekuasaan itu.
Para pendukung Pangeran Temenggung dikenal luas sebagai kumpulan orang-orang
yang suka berbuat sadis dan tak kenal ampun terhadap musuh-musuh politiknya.
Semuanya akan dibunuh dengan cara sekejam-kejamnya.
Penobatan Pangeran Temenggung
itu sendiri tidak berlangsung mulus, ketika ia mencoba mengenakan mahkota
pusaka di atas panggung penobatannya, ia langsung terhuyung-huyung. Mahkota
pusaka itu terlalu berat baginya, sehingga kepalanya tidak mampu menahannya.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu langsung menghubungkannya dengan
kutukan mendiang Maharaja Sukarama.
Meskipun keinginannya untuk
menjadi raja di raja Tanah Banjar telah tercapai, namun Pangeran Temenggung
masih tetap belum merasa puas juga. Ia masih merasa was-was jika di kemudian
hari Pangeran Samudera menyusun kekuatan bawah tanah untuk menggulingkan dirinya
secara diam-diam.
“Bagaimanapun juga kedudukanku
sebagai raja di raja Tanah Banjar masih belum aman sebelum Pangeran Samudera
berhasil kutamatkan riwayatnya. Lambat atau cepat kemenakanku itu akan
menggugat keabsahan kedudukanku sebagai raja di raja Tanah Banjar,” ujar
Pangeran Temenggung. “Pangeran Samudera harus dibunuh. Harus!.”
Untunglah, para pendukung setia
Pangeran Samudera yang berada di mana-mana itu berhasil memperoleh
bocoran rencana pembunuhan yang akan dilakukan secara rahasia oleh kaki tangan
Pangeran Temenggung atas diri Pangeran Samudera. Entah dengan alasan apa, salah
seorang anggota pasukan pembunuh misterius yang dibentuk oleh Pangeran
Temenggung berkhianat dan membelot ke pihak Pangeran Samudera.
“Gusti, sebaiknya anakda
meninggalkan Istana Daha ini secepatnya. Menurut berita-berita yang sampai
kepada hamba, kaki tangan Pangeran Temenggung telah merencanakan pembunuhan
terhadap diri anakda,” ujar Patih Arya Taranggana kepada Pangeran Samudera.
Pangeran Samudera yang ketika
itu masih berusia 20 tahun segera meninggalkan Istana Daha dengan menumpang
sebuah perahu kecil yang didayungnya sendiri menuju ke daerah Muara Banjar,
yaitu wilayah Kerajaan Negara Daha yang terletak paling jauh di hilir Sungai
Barito. Ia sengaja berangkat sendirian tanpa didampingi pengawal pribadi sama
sekali. Menurut pertimbangan Patih Arya Taranggana cara penyamaran yang
demikian itu jauh lebih aman dibandingkan jika Pangeran Samudera pergi
meninggalkan Istana Daha dengan cara dikawal oleh seorang atau sejumlah
pengawal pribadi.
Sesungguhnya, Pangeran Samudera
tidak mengetahui bahwa dirinya sebenarnya masih tetap dikawal, tetapi
pengawalannya dilakukan secara tertutup atau tidak langsung. Sesuai dengan
status Pangeran Samudera sebagai buronan yang paling dicari oleh kaki tangan
Pangeran Temenggung, maka pengawal pribadi Pangeran Samudera sengaja dipilihkan
orang-orang yang sakti mandraguna.
Keberangkatan Pangeran Samudera
ke daerah Muara Banjar dibekali oleh Patih Arya Taranggana dengan bahan makanan
secukupnya dan seperangkat peralatan untuk menangkap ikan. Selama dalam
penyamarannya itu Pangeran Samudera sengaja mengenakan pakaian yang sangat
bersahaja, hal ini disesuaikan dengan profesi yang dilakoninya selama masa
penyamaran itu, yakni sebagai seorang nelayan sungai bernama Samidri.
Dari hari ke hari pekerjaannya
tidak lain adalah mencari ikan sambil menyusuri sungai-sungai besar dan kecil
yang mengalir di wilayah paling hilir Kerajaan Negara Daha, terutama sekali di
Sungai Barito, Sungai Kuin, dan Sungai Martapura.
Sejak pagi buta, Pangeran
Samudera sudah berangkat mencari ikan dan siang hari sekitar pukul 08.00-10.00
ia sudah mengayuh perahunya berkeliling kampung sambil menjajakan ikan hasil
tangkapannya hari itu. Semua kegiatannya itu dilakukan Pangeran Samudera tanpa
meninggalkan perahu kesayangannya, karena tempatnya mencari ikan memang di
sungai dan tempatnya menjajakan ikan hasil tangkapannya adalah para ibu rumah
tangga yang kesemuanya memang tinggal di perkampungan-perkampungan tepi sungai.
Pada suatu hari Samidri
menjajakan ikan hasil tangkapannya ke rumah keluarga Patih Masih yang terletak
persis di pusat keramaian kota Muara Banjar. Patih Masih adalah orang yang
paling berkuasa di wilayah paling hilir Kerajaan Negara Daha ini, karena ia
adalah Kepala Daerah Muara Banjar itu sendiri.
Sejak itulah keluarga Patih
Masih menjadi langganan tetap Samidri. Setiap kali ia berhasil menangkap ikan
Baung, Patin dan Udang Galah berukuran besar, ia pasti menawarkannya kepada
keluarga Patih Masih. Uniknya, tawaran Samidri itu selalu dipenuhi oleh isteri
Patih Masih. Isteri Patih Masih sendiri memang meminta kepada Samidri agar
membawakan ikan Baung, Patin dan Udang Galah itu langsung ke rumahnya.
“Jika kamu memperoleh ikan
Baung, Patin dan Udang Galah, jangan ragu-ragu bawa saja ke mari. Pasti
kubeli,” ujar isteri Patih Masih. Samidri cuma mengangguk sopan mengiyakan.
“Saya senang sekali memakan
sayur asam kepala ikan Baung, pepes Patin dan Udang Galah bakar,” ujar Patih
Masih pada suatu hari. Berbeda dengan langganannya yang lain, keluarga Patih
Masih adalah keluarga yang ramah tamah terhadap Samidri. Tidak jarang Patih
Masih mengajak Samidri berbincang-bincang. Mula-mula topik pembicaraan mereka
cuma terbatas pada hal-hal yang biasa-biasa saja, tetapi dari hari ke hari
topik pembicaraannya semakin meningkat saja hingga ke hal-hal yang lebih
serius.
Sikap Patih Masih yang demikian
itu bukannya tanpa alasan sama sekali, tetapi memang sengaja dilakukannya,
karena Patih Masih sendiri mulai menaruh curiga bahwa Samidri sesungguhnya
bukanlah seorang nelayan sungai biasa. Ada dua informasi rahasia yang
diterimanya dari petugas mata-mata yang setia kepadanya. Pertama, tentang
Pangeran Samudera yang sudah melarikan diri secara diam-diam dari Istana
Daha. Diperkirakan ia sekarang ini sudah berada di wilayah kekuasaan Patih
Masih dengan cara menyamar sebagai rakyat kebanyakan. Penyamaran itu terpaksa
dilakukannya untuk menghindarkan diri dari ancaman pembunuhan yang akan
dilakukan oleh kaki tangan musuh politiknya: Pangeran Temenggung. Selain
diterimanya dari petugas mata-mata, informasi rahasia ini juga diterimanya dari
utusan khusus Patih Arya Taranggana. Sedangkan informasi kedua adalah tentang
semakin banyaknya petugas mata-mata Pangeran Temenggung yang berkeliaran di kota
Muara Banjar. Mereka bekerja berdasarkan perintah yang diberikan langsung oleh
Pangeran Temenggung. Tujuannya ada dua, yakni: mencari informasi mengenai
keberadaan Pangeran samudera, dan memata-matai tingkah laku politik Patih Masih
yang akhir-akhir ini sangat mencurigakan.
“Siapakah Samidri ini
sesungguhnya. Apakah ia seorang mata-mata Pangeran Temenggung? Apakah ia adalah
Pangeran Samudera yang sedang menyamar? Atau apakah ia bukan siapa-siapa?”
tanya Patih Masih kepada dirinya sendiri.
“Tapi melihat dari tingkah
lakunya yang sopan, Samidri mustahil mau mengabdikan dirinya pada Pangeran
Temenggung yang terkenal brutal, berangasan, ambisius, serakah dan pembangkang
sabda pandita ratu. Boleh jadi Samidri memang adalah Pangeran Samudera pewaris
sah tahta Kerajaan Negara Daha yang sekarang ini sedang berstatus sebagai
putera mahkota yang terbuang,” ujar Patih Masih.
Namun, nun jauh di lubuk
hatinya yang paling dalam Patih Masih berharap Samidri adalah Pangeran Samudera
yang sedang menyamar. Bukan petugas mata-mata Pangeran Temenggung. Bila Samidri
adalah Pangeran Samudera maka ia harus melindunginya dari ancaman pembunuhan
yang akan dilakukan oleh kaki tangan Pangeran Temenggung. Sebaliknya jika
Samidri adalah petugas mata-mata Pangeran Temenggung maka ia harus lebih
berhati-hati lagi menghadapinya.
Patih Masih termasuk salah
seorang pejabat tinggi Kerajaan Negara Daha yang sangat setia kepada mendiang
Maharaja Sukarama, karena itulah ia merasa sangat gerah ketika Pangeran
Temenggung naik tahta secara tidak sah sebagai raja baru di Kerajaan Negara
Daha. Ia menilai Pangeran Temenggung adalah raja yang lalim karena terlalu
tinggi dalam menetapkan upeti yang harus dibayarkan oleh kepala daerah yang
berada di wilayah kekuasaannya.
“Pangeran Temenggung bukanlah
orang yang berhak untuk menerima upeti itu. Ia bukan pengganti yang sah menurut
wasiat mendiang Maharaja Sukarama,” ujar Patih Masih beralasan.
Sikap pribadi Patih Masih yang
demikian itu sudah diketahui oleh Pangeran Temenggung, sehingga ia sudah
berusaha mencari-cari alasan yang tepat untuk memberhentikan Patih Masih dari
jabatannya selaku Kepala daerah Muara Banjar. Pengerahan petugas mata-mata yang
dilakukan secara besar-besaran diduga ada kaitannya dengan rencana
pemberhentian Patih Masih. Patih Masih sendiri juga sudah mengetahui rencana
busuk Pangeran Temenggung itu.
Dari hari ke hari hubungan
pribadi antara Samidri dan Patih Masih menjadi semakin akrab saja. Tidak jarang
keduanya terlibat dalam percakapan yang akrab sekali tak bedanya dengan
percakapan antara dua sahabat yang sepangkat sederajat. Pada suatu kesempatan
Patih Masih dengan hati-hati menanyakan asal-usul dan jatidiri Pangeran
Samudera yang sesungguhnya.
“Saya sebenarnya adalah
Pangeran Samudera yang terpaksa menyamar menjadi nelayan sungai dengan
nama Samidri karena takut dibunuh oleh kaki tangan Pangeran Temenggung yang
sekarang ini sedang berkuasa secara tidak sah sebagai raja di raja Tanah
Banjar. Meskipun Pangeran Temenggung adalah paman saya sendiri, namun ia tidak
main-main dengan ancamannya itu, ia memang sudah merencanakan untuk membunuh
saya.”
“Ampun gusti, sungguh tak
dinyana. Sungguh tak diduga-duga. Dugaan hamba ternyata benar adanya,” ujar
Patih Masih sambil menghaturkan sembah kepada Pangeran Samudera. “Gusti harus
segera menobatkan diri sebagai raja di raja Tanah Banjar yang sah.”
Menurut ceritanya, dengan
mengandalkan diri pada dukungan yang diberikan oleh Patih Masih, Patih Muhur,
Patih Mahit, Patih Balit, Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung Manau,
Garuntung Waluh, Aria Malangkan, dan para pejabat tinggi Kerajaan Negara Daha
lainnya yang tetap setia kepada sabda pandita ratu Maharaja Sukarama, Pangeran
Samudera menobatkan dirinya sebagai raja di raja Tanah Banjar yang
berkedudukan di kota Muara Banjar. Sejak itulah kota Muara Banjar tidak lagi
berada di bawah kekuasaan Kerajaan Negara Daha.
“Hamba rakyatku sekalian, aku
adalah Pangeran Samudera anak Pangeran Manteri Jaya, cucu Maharaja Sukarama.
Sebagaimana hamba rakyatku ketahui, aku adalah pewaris sah tahta kerajaan yang
ditinggalkan oleh mendiang Maharaja Sukarama. Tapi, hak itu kemudian diserobot
oleh Pangeran Temenggung yang haus kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Aku yakin hamba rakyatku sekalian juga sudah mengetahui, karena ulah Pangeran
Temenggung itulah sehingga aku sampai berada di sini, di rumah Patih Masih,
bukan di Istana Daha sebagaimana mestinya,” ujar Pangeran Samudera memulai
pidato perkenalannya sebagai raja di raja Tanah Banjar di hadapan hamba
rakyatnya yang berkumpul di pendopo Istana Kuin atas undangan Patih Masih
sebagai tuan rumah.
“Istana Daha sekarang ini
dikuasai oleh Pangeran Temenggung yang demi ambisi pribadinya yang haus
kekuasaan telah tega mengkhianati sabda pandita ratu Maharaja Sukarama yang
bagaimanapun mestinya harus dihormati. Hamba rakyatku sekalian, sebagai pewaris
tahta kerajaan yang sah, aku pernah berdiam diri cukup lama tidak
mempermasalahkan tingkah laku Pangeran Temenggung yang telah mengambil hak
warisku itu.”
“Pada mulanya aku mengira,
Pangeran Temenggung sudah puas dengan sikapku yang acuh tak acuh terhadap tahta
kerajaan yang sekarang ini sudah dikuasainya itu. Ternyata tidak, selain telah
menyingkirkanku dari tahta kerajaan, ia juga telah merencanakan untuk
membunuhku. Pangeran Temenggung telah membentuk beberapa regu pasukan komando
dengan tugas khusus membunuhku di mana pun aku ditemukan. Beruntunglah aku,
karena rencana itu keburu dibocorkan oleh salah seorang anggota pasukan komando
yang berkhianat dan membelot karena alasan-alasan hati nurani dan kemanusian.”
“Hamba rakyatku sekalian,
perbuatan Pangeran Temenggung yang telah mengkhianati sabda pandita ratu
Maharaja Sukarama tidak boleh dibiarkan berlaru-larut. Jika kita tidak berusaha
menegakkan sabda pandita ratu Maharaja Sukarama itu, maka kita semua, tanpa kecuali,
akan terkena kutukannya. Tanah Banjar akan dilanda berbagai bencana yang tidak
tertanggungkan oleh kita semua. Pada kesempatan ini aku mengajak hamba rakyatku
sekalian untuk saling bahu membahu membantuku menegakkan sabda pandita ratu
Maharaja Sukarama.”
“Bersediakah kalian semuanya
membantuku ...?”
“Bersediaaa ....!”
“Sekali lagi!”
“Bersediaaa ...!”
Sejak lama pribadi Pangeran
Samudera telah menempati posisi tersendiri di hati sebagian besar hamba
rakyatnya. Keperwiraannya di berbagai medan pertempuran telah teruji. Begitu
pula dengan kehalusan budi pekertinya dan ketulusan pribadinya telah dikenal
luas di seantero Kerajaan Negara Daha.
Berbeda halnya dengan Pangeran
Temenggung, sejak usia muda memang dikenal luas sebagai tokoh yang tidak
simpatik, sombong, licik, semaunya, suka berfoya-foya, dan mata keranjang atau
suka mengganggu anak isteri orang. Akibat sikap-sikap buruknya itulah maka
Maharaja Sukarama terpaksa mengesampingkan hak anak sulungnya ini sebagai calon
penggantinya kelak.
“Tidak ada yang lebih berbahaya
bagi suatu negara di muka bumi ini, selain daripada mengangkat raja baru yang
nyata-nyata tidak disukai rakyatnya,” ujar Maharaja Sukarama menjelaskan
keputusannya mengapa ia sampai mengesampingkan Pangeran Temenggung sebagai
calon penggantinya. Penjelasan dimaksud disampaikan kepada kalangan terbatas,
yakni para pejabat tinggi kerajaan dan kerabat istana yang merasa penasaran
dengan keputusannya yang menyalahi tradisi kerajaan itu.
Demikianlah, sebagai tokoh yang
memang dicintai oleh rakyatnya, maka dalam waktu singkat Pangeran Samudera
telah berhasil menghimpun kekuatan yang cukup menggiriskan hati Pangeran
Temenggung.
Sulit dilukiskan bagaimana
murkanya Pangeran Temenggung begitu mengetahui bahwa Pangeran Samudera masih
hidup. Bahkan, telah pula memaklumkan dirinya sebagai raja di raja Tanah Banjar
yang berkedudukan di kota Muara Banjar. Dalam waktu singkat ia segera
mengerahkan segenap kekuatan pasukan perangnya untuk mengepung kota Muara
Banjar dari delapan penjuru angin. Tapi Pangeran Samudera tidak mau menyerah
begitu saja, apalagi pasukan perang yang setia kepadanya ternyata juga sangat
tangguh.
Meskipun demikian, Pangeran
Samudera menyadari bahwa pasukan perang lokal yang setia kepadanya kurang
memadai jumlahnya, sehubungan dengan itu ia kemudian meminta saran kepada
Patih Masih. Atas saran Patih Masih, Pangeran Samudera mengirim utusan khusus
ke Kerajaan Demak untuk meminta bantuan pasukan perang kepada Sultan
Terenggono. Permintaan bantuan pasukan perang itu disetujui oleh Sultan
Terenggono dengan syarat Pangeran Samudera bersedia memeluk agama Islam
jika nanti berhasil mengalahkan Pangeran Temenggung dalam perang saudara
dimaksud.
Begitu Pangeran Samudera
menyetujui syarat itu, maka Sultan Demak kemudian mengirimkan 2.000 orang
anggota pasukan perangnya yang sudah terlatih, bersenjata lengkap, dan sudah
berpengalaman di berbagai medan pertempuran. Pasukan perang Kerajaan Demak
dipimpin oleh seorang ulama berpangkat jenderal bernama : Khatib Dayan.
Perang saudara memperebutkan kekuasaan
sebagai raja di raja Tanah Banjar berlangsung dengan dahsyad, sengit, brutal,
dan berlarut-larut. Perang saudara itu berlangsung berlarut-larut karena
kekuatan pasukan tempur kedua belah pihak memang seimbang, sama-sama tangguh,
dan sama-sama setia kepada rajanya masing-masing. Sudah banyak korban
berjatuhan di kedua belah pihak. Masing-masing pihak mengklaim telah berhasil
mengalahkan lawan-lawannya di berbagai medan pertempuran.
Jika tertarik membaca bagian selanjutnya, silakan beli novelnya melalui tautan ini.
Jika tertarik membaca bagian selanjutnya, silakan beli novelnya melalui tautan ini.
0 comments:
Post a Comment