“Tak
ada lagi yang ketinggalan?” Tamin menatap Tamah yang sedang memindahkan
barang-barang belanjaan dari kantung kecil ke kantung yang lebih besar.
“Termasuk gincu dan penebal alis?”
Tamah
tertawa dalam deru bus antarkota.
“Sepatu
bootmu saja ada, Min. Bahkan jarum dan obat luka.”
Mereka
tertawa bersama.
Bus
melaju dengan kencang. Kadang gerakan bus seperti disentak, kadang tak
tersangka menyalip ke bagian yang lapang dari kendaraan lainnya. Meskipun
berada di jalan yang mulus, bus melaju dalam kondisi yang tak begitu nyaman.
Kadang zig-zag.
“Barang-barang
yang tak dibutuhkan segera nanti dipak saja,” Tamin menunjuk tumpukan tas
plastik. “Waktu kita sangat singkat, Mah,” lanjut lelaki muda itu kepada
perempuan muda di sampingnya. “Jangan nanti malah merepotkan kita.”
“Merepotkan
apa?” Tamah memegang lengan Tamin. “Bukankah apa yang kita belanjain sesuai
dengan catatan kebutuhan?”
“Maksudku,
barang yang kita butuhkan di sini kita sendirikan, sedangkan yang kita perlukan
nanti di sana kita sisihkan.”
Mobil
terus menderu di jalan bebas hambatan.
“Memang
begitu, Tuan,” Tamah berkata sambil tertawa. “Katamu apa yang kurang bisa kita
beli di Banjarmasin
atau Palangkaraya.”
“Benar,
Nya,” Tamin juga tertawa. Ia merasa sungguh senang berdampingan dengan Tamah,
gadis yang diidamkannya karena cepat sekali menyesuaikan diri. Meskipun baru
setahun berkenalan di Jakarta ,
Tamah mantap di hati Tamin. Ia kemudian segera melamar, setelah berdua sama
sepakat membina rumah tangga. “Tamah memang guru terpuji,” Tamin melanjutkan.
“Insinyur
muda jangan terlalu menyanjung,” Tamah senyum di kulum. “Bisa pingsan yang
dikatakan.”
Tamin
juga tersenyum. Hatinya berbunga menghadapi hari-hari sibuk padat kerja. Telah
ia dapatkan izin pernikahan, dan selanjutnya surat berhenti berikut referensi. Ia telah
memutuskan untuk meninggalkan Jakarta
dengan keyakinan bahwa pilihannya tidak keliru. Seperti juga pilihannya pada
Tamah. Gadis itu lebih mudah, karena kerjanya sebagai guru tak usah berhenti
sebab dapat mutasi. Di tempat yang baru ia bisa mengajar di SD sampai SMU atau
SMK. Sebagai lulusan jurusan pendidikan, tenaga dan waktunya yang mungkin tak
cukup dan kemudian menjadi lelah untuk mengisi ruang-ruang sekolah di daerah.
Tamin
merasa lebih berdebar karena dipercaya ikut membuka lahan sejuta hektar.
“Proyek
ini membutuhkan sejumlah motivator,” ia ingat percakapannya dengan wakil pemda.
“Karena itu kami sangat berbahagia kalau yang ikut serta ada yang sarjana.”
Tamin
memang sarjana pertanian.
“Tapi
aku kekurangan pengalaman lapangan,” ia berkata dengan jujur. “Empat tahun
kuliah dan kemudian bekerja kantoran di Jakarta .
Namun aku ingin sekali menerapkan ilmu yang kudapatkan di bangku sekolah.”
“Pengalaman
akan menyertai di dalam kepanjangan waktu,” wakil pemda itu melihat kesungguhan
di mata Tamin. “Asal ada kemauan, jalan pasti terbuka.”
Ia
memang telah dengar anjangsana pemda tentang proyek raksasa di hutan belantara.
Ia dengar juga cuapan propaganda pencarian tenaga petani untuk lahan pencetakan
sawah baru. Bahkan ia juga membaca berita bahwa pihak transmigrasi telah
mendapatkan dana enam miliar untuk
menyiapkan pemukiman para transmigran. Namun sebenarnya Tamin sudah lama ingin
melakukan sesuatu yang berarti bukan hanya untuk dirinya sendiri, terutama ia
tertarik pada bidang penelitian. Kawasan pencetakan sawah baru diketahuinya
sebagai kawasan tanah bergambut. Bukankah tanah seperti itu merupakan objek
yang baik sekali untuk diteliti?
“Jika
Anda mau,” ia juga ingat kata-kata wakil pemda, “Anda harus berangkat berdua.”
“Berdua?
Dengan siapa?”
“Dengan
istri.”
“Istri?”
“Anda
belum beristri?”
“Belum.”
“Itu
syarat kami,” wakil pemda itu menekankan soal syarat. “Tapi ‘kan syarat yang ringan,” sang wakil
tersenyum sendiri. “Masa sarjana akan kewalahan mencari pendamping diri?”
Ia
tersenyum dalam hati. Bukankah Tamah telah siap menjadi istri? Ia memang belum
dibicarakan secara serius kapan waktu mereka meresmikan hubungan setelah
setahun pacaran. Namun dari pembicaraan selintasan Tamah justru ingin segera
resmi sebagai suami istri.
“Persiapan
memang ada,” ia berkata jujur, “tapi waktunya belum ditetapkan.”
“Tetapkan
saja secepatnya,” sang wakil ikut senang. “Kami selalu menanti kabar gembira.”
Baru
sebulan yang lalu pertemuan itu terjadi. Kini Tamin bersama Tamah telah sepakat
untuk tidak lagi menunda pernikahan setelah lamaran disampaikan. Adik Tamah
menjemput dari Sukabumi, dan tiga hari lagi ijab kabul berikut resepsi diselenggarakan.
“Kami
akan tempatkan Anda berdua sebagai transmigran umum berbantuan,” Tamin ingat
ucapan pejabat teras di kantor transmigrasi kemarin. “Keinginan menjadi
transmigran dari kalangan sarjana kami dukung sepenuhnya,” lanjut pejabat itu.
Tamin
sebenarnya hampir tertawa. Kisah dirinya mirip sebuah pamflet propaganda.
“Bahkan,”
lanjut pejabat teras itu, “jika Anda berdua ingin cepat, kami bisa usahakan
membantu penerbangan ke Banjarmasin atau Palangkaraya, sebelum menuju kawasan
lahan.”
Tamin
ingat ia hanya mengangguk saja. Ia sebenarnya tidak ingin diistimewakan. Bahkan
ia ingin berangkat bersama keluarga transmigran yang benar-benar berasal dari
desa. Bukankah nanti ia akan menjadi motivator mereka? Mengapa ia harus tidak
berada di dalam rombongan bersama?
Ia pun
mendaftar waktu keberangkatan.
“Tapi
ia harus bersama istri,” pejabat itu mengerling kepada Tamah. “Anda berdua
belum menikah?”
“Baru
akan,” Tamin mengedipkan mata pada Tamah. “Besok kami akan pulang ke Sukabumi
untuk tujuan perkawinan.”
Urusan
di kantor itu tak bertele-tele, karena semua surat yang dibutuhkan akan segera
dilengkapkan. Kepastian waktu sudah diketahui, tinggal mereka menyelesaikan
ijab-kabul dan resepsi di Sukabumi.
“Kok
dari tadi tersenyum sendiri?” Tamah mengejutkan Tamin. “Sedang memikirkan pacar
lama di Jakarta ?”
“Memikirkan
kita, Mah. Semua urusan seperti mimpi. Kok kita nekat meninggalkan pekerjaan
yang sudah pasti untuk berangkat pada sesuatu yang belum pasti. Apa kau mampu
hidup di hutan sawah baru. . .?”
“Jadi
Tamin masih ragu?”
“Tidak!”
“Lalu.
. .?”
***
Bus
terus melaju.
Tarmizi,
adik Tamah, yang menjemput dari Sukabumi tampak sedang tertidur, mungkin
kelelahan. Pemuda itu juga mengatakan ia tertarik ikut jika nanti sudah lulus
universitas. “Hanya beratnya,” tadi ia berkata kepada Tamah, “mengapa harus
menikah. Maksud Tarmizi, mengapa diharuskan mempunyai istri.”
“Agar
tidak menciptakan kesulitan baru,” Tamah berkata sekenanya. “Coba kalau berbuat
skandal di tempat baru? Siapa yang malu?”
“Tapi
aku ingin sekali mengolah sawah, Mah,” Tarmizi seperti merengek. “Rasanya kaya
raya karena disediakan dua hektar lahan. Siapa yang memberi tanah seluas itu di
Sukabumi?”
“Tak
ada, “ Tamah menjawab seperti orang tolol. “Hanya trasmigran yang disediakan. Itu
untuk siapa yang mau datang memenuhi syarat yang ditetapkan. Jangan nanti sawah
yang dicetak dijual lagi.”
Bus
terguncang tetapi Tarmizi tampak nyenyak sekali.
Sementara
di Sukabumi rumah Tamah sudah dihias dengan semarak. Aroma pengantin mengoar
dari seluruh bilik dan ruang dalam hingga ke beranda. Hampir semua keluarga
sudah hadir menanti kedatangan dari Jakarta .
Perkawinan ini menjadi buah bibir karena memiliki keunikannya, sebab kedua
mempelai akan segera hengkang ke tanah seberang. Kaum keluarga ingin berjumpa,
sebab entah kapan bisa bertemu, jika Tamah dan Tamin sudah pergi dari Sukabumi.
Undangan ribuan lembar sudah disebar dengan catatan bahwa kedua mempelai lebih
suka menerima kado berupa uang daripada barang karena mereka akan segera pergi
transmigrasi.
Bus
berguncang lagi saat Tamah membayangkan dirinya menjadi guru di lahan sejuta
hektar. Betapa banyaknya murid sekolah, betapa dirinya seperti wanita primadona
di tengah tepuk sorak anak-anak yang bergembira menjelang panen tiba. Sementara
Tamin lagi-lagi tersenyum sendiri saat terlintas dirinya sedang berdiam di sisi
unggun api di tepi aliran pengairan luasan tanah sejuta hektar. Ia berdua Tamah
sedang memanggang ikan hasil tangkapan dari waduk raksasa yang dirancangnya
untuk mengairi tanah sawah. Waduk, ikan, padi, palawija, sayur-mayur, dan
buah-buahan yang mengenyangkan Indonesia
raya terhampar di pelupuk mata.
Alangkah
membahagiakan.
Bus
berguncang lagi Tamah merasa ada benturan yang keras sekali. Tamin memegang
Tamah yang limbung dan Tarmizi ambruk bersama sejumlah tas plastik belanjaan.
Beberapa penumpang bahkan seperti terbang jatuh dari jok menggelosor ke bawah.
Beberapa orang anak berteriak dan menangis, sejumlah wanita berseru nama ibu,
dan sejumlah penumpang lelaki istiqfar menyebut asma Allah.
Cepat
sekali kejadiannya, seperti sebuah mimpi neraka. Tak seorang pun penumpang
memperhatikan saat bus menyalip dari kanan ke kiri lalu melaju di bahu jalan.
Ternyata di bahu jalan tol itu berjajar tiga kendaraan sedang berhenti untuk
mendinginkan mesin yang panas.
Jam
nahas dalam benturan yang keras menyulutkan api dari mobil yang nyangsang di
moncong bus antarkota. Kebakaran terjadi dengan cepat dalam bus yang tertutup
rapat. Puluhan penumpang terpanggang hidup-hidup tanpa dapat meloloskan diri.
Pintu hidroliknya ngadat? Mengapa tak ada pintu darurat? Sopirnya teler? Mabuk ecstasy?
Petugas
jalan raya yang membantu tak mampu segera memadamkan api yang mengojah langit.
Saat televisi menayangkan kejadian mengenaskan itu, kengerian mengetuk
hati-nurani. Sejumlah mayat tumpang tindih di depan pintu legam terbakar
seperti arang. Sejumlah pamirsa istigfar dengan hati trenyuh. “Dosa siapa
hingga muncul cobaan begini? Dosa apa gerangan hingga cobaan bertubi-tubi?” Sementara
di Sukabumi ayah ibu Tamah dan Tamin sama saling berdoa, “Dijauhkan Allah
kiranya bencana pada anak-anak kami.” Para
petugas lahan sejuta hektar juga melihat peristiwa itu di televisi dan mereka
ikut sedih. “Untung di sini tak ada jalan tol?” seorang petugas berkata kepada
rekannya. Dari semua pemirsa itu tak ada yang tahu, siapa saja penumpang bus
nahas tersebut.
Di
Sukabumi keluarga Tamah dan Tamin dan Tarmizi terus menanti. Saat petugas
mengevakuasi para korban dilakukan visum, roh Tamah dan Tamin dan Tarmizi naik
ke keabadian.
“Kok
kita tak jadi ke lahan sejuta hektar?” suara Tamah gemetar. “Lagi, Tarmizi ikut
serta? ‘Kan
ia belum menikah. Tak boleh ‘kan
ikut transmigrasi?”
“Kita
juga belum sempat menikah, Mah. Kapan kita bisa jadi transmigran?” Tamin
memandang ke wajah Tamah.
Tarmizi
tak bereaksi. Sementara mereka terus melayang seperti kapas kering dalam tiupan
angin siang yang panas.
Jakarta, 1 April 1996
(Kado untuk Mas Iman Budhi
Santosa)
0 comments:
Post a Comment