4. Memasukkan
Unsur Humor yang Cerdas
Siapa yang
tidak suka humor? Asalkan tidak berlebihan seperti lawakan tanpa batas, saya
yakin siapa pun menyukainya. Maka, tak salah kalau kita menggunakan unsur ini.
Humor bisa kita munculkan dari dialog antar tokoh yang bermakna. Misalnya
dialog seorang kakak yang menggoda adiknya hingga terjadi balas kata yang
diakhiri dengan canda tawa, dapat diartikan sebagai bagian rasa sayang kakak
pada adiknya. Atau, bisa juga menghadirkan tokoh lucu seperti badut dalam pesta
ulang tahun. Humor seperti itu membuat pembaca tersenyum. Untuk bacaan anak
idealnya hindari lelucon tak segar sepertil memilih nama lucu pada tokoh
tertentu yang menjadi bahan tertawaan atau memunculkan tokoh laki-laki
berpakaian wanita.
5. Membuat
Ilustrasi yang Menarik
Yang tak kalah pentingnya adalah ilustrasi. Anak-anak pada umumnya menyukai hal-hal visual. Dengan ilustrasi gambar ini, menjadikan anak lebih tertarik membaca isinya sambil membayangkan ceritanya sesuai gambar yang dia lihat. Hal ini sangat membantu anak masuk ke dunia imajinasi penulis dan memudahkan mereka untuk memahami ceritanya.
6. Memperhatikan
Keterbacaan Teks (Mengukur Keterbacaannya)
Keterbacaan
dapat diartikan sebagai perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah
dipahami, dan diingat. Keterbacaan anak tingkat dasar tentu berbeda dengan
tingkat mahasiswa. Itulah sebabnya, cerita anak yang kita buat idealnya tingkat
keterbacaannya yang sesuai dengan anak tingkat dasar. Hal ini agar cerita yang
kita tulis dapat mereka cerna dengan mudah sehingga mereka berminat membacanya
sampai akhir.
Ada
berbagai formula atau rumus untuk mengukur tingkat keterbacaan teks atau
tulisan ini. Salah satu yang paling dikenal adalah grafik fry. Formula yang
diperkenalkan Edward Fry ini mendasarkan pada dua faktor, yakni
panjang-pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah
suku kata yang membentuk setiap kata dalam cerita. Berikut adalah grafik fry
beserta penjelasannya.
(Grafik Fry) |
Deretan
angka 2.0, 2.5 dan seterusnya di bagian samping grafik fry itu menunjukkan data
rata-rata jumlah kalimat per 100 kata (sampel). Sedangkan deretan angka 108,
112, dan seterusnya di bagian bawah itu menujukkan data jumlah suku kata per
100 kata (sampel). Sementara angka-angka yang berderet di bagian tengah grafik
dan berada di antara garis-garis penyekat dari grafik tersebut menunjukkan
perkiraan peringkat keterbacaan tulisan yang diukur. Angka 1 menujukkan
peringkat 1 yang artinya tulisan tersebut cocok untuk pembaca dengan level
peringkat baca 1. Di Indonesia, angka 1 itu bisa berarti kelas 1 SD.
Daerah
berwarna gelap yang terletak di sudut kanan atas dan di sudur kiri bawah
grafik, merupakan wilayah invalid. Artinya, jika hasil pengukuran keterbacaan
tulisan jatuh di dua daerah itu, maka tulisan tersebut kurang baik karena tidak
cocok untuk peringkat baca mana pun.
Ada lima langkah dalam penggunaan grafik ini
1. Pilihlah sampel dari tulisan yang akan
kita ukur tingkat keterbacaannya sebanyak 100 kata. Kata dalam hal ini
diartikan sebagai sekelompok lambang bahasa (berupa angka dan huruf) yang kiri
dan kanannya berpembatas spasi datar. Misalnya tangan, 2017, dan FKIP.
2. Hitunglah jumlah kalimat dari
sampel
Contoh
sampel:
Pada suatu hari Inu ikut ayahnya ke
bank. Di bank itu banyak orang. Di loket tabungan ada yang mengambil uang. Ada
juga yang menyimpan uang. Di loket yang lain orang-orang juga antri. Ada juga
beberapa petugas bank duduk di luar loket-loket antrian. Mereka melayani
orang-orang yang bertanya tentang cara-cara menabung atau hal-hal lain. Ayah
Inu berada di barisan loket tabungan. Inu menunggu ayahnya di ruang tunggu. Dia
memperhatikan kesibukan orang-orang di tempat itu. Waktu Inu melihat satu kursi
kosong di depan petugas yang melayani pertanyaan, dia segera berdiri. Inu
mendekati kursi itu. Petugas pun mengerti, lalu dia mempersilakan Inu duduk dan menawarkan bantuan yang
mungkin dapat dia berikan.
(Diambil
dari buku Lancar Berbahasa Indonesia 2
untuk SD kelas 4, karangan Dendy Sugono)
Pada contoh
di atas, kalimat terakhir, yakni kalimat ke-13 tidak seluruhnya terpakai ke
dalam hitungan seratus. Kata keseratusnya jatuh pada kata duduk. Kata tersebut
merupakan kata ke-8 dari 16 kata yang terdapat pada kalimat terakhir itu.
Dengan
demikian, jumlah kata dalam kalimat sisa tersebut yang masuk dalam sampel, ada
8 kata. Kedelapan kata itu adalah, Petugas
pun mengerti, lalu dia mempersilakan Inu duduk.
Nah, 8 kata itu dibagi dengan jumlah keseluruhan katanya, yang
berjumlah 16 kata dalam kalimat tersebut. Untuk lebih jelasnya lihat
penghitungan ini: 8 / 16= 0,5.
Adapun
jumlah kalimat utuh dalam contoh di atas itu ada 12, maka total kalimat yang
ada dalam 100 kata adalah 12 + 0,5= 12,5 kalimat.
3. Hitunglah jumlah suku kata dari sampel
(100 kata)
Dari sampel
di atas, terdapat 228 suku kata. Karena grafik ini semula digunakan untuk
mengukur teks berbahasa Inggris, maka diperlukan pemodifikasian. Caranya dengan
membandingkan suku kata bahasa Inggris dan suku kata bahasa Indonesia.
Berdasarkan penelitian, perbandingan suku kata antara dua bahasa itu adalah
6:10 (6 suku kata bahasa Inggris sama dengan 10 suka kata bahasa Indonesia).
Dengan begitu, jika dalam sampel ada 228 suku kata, jumlah itu dikali dengan
6:10 atau 0,6, yakni 228 x 0,6= 136,8 atau dibulatkan 137 suku kata.
4. Plotkan jumlah kalimat dan jumlah suku
kata tersebut di atas hingga mendapatkan titik temu pada grafik fry
Titik temu
ini menunjukkan tingkat kelas pembaca yang diperkirakan mampu membaca tulisan
yang dihitung keterbacaannya ini. Titik temu antara jumlah kalimat (12,5) dan
jumlah suku kata (137) jatuh di wilayah 4, artinya teks ini cocok di kelas
pembaca 4. Angka 4 untuk di Indonesia bisa kita maknai kelas 4 SD.
5. Menambah dan mengurangi satu angkat
dari peringkat baca
Grafik fry ini sifatnya hanya perkiraan. Dapat saja menyimpang ke
atas, maupun ke bawah. Itulah sebabnya, peringkat keterbacaan yang didapat dari
penghitungan hendaknya ditambah atau dikurangi satu angka. Maka, dari sampel
itu 4-1=3 dan 4=1=5. Artinya, teks sampel tersebut cocok untuk anak kelas 3, 4,
dan 5 sekolah dasar.
0 comments:
Post a Comment