oleh
Tirto Suwondo
Kita
harus percaya, sastra tidak hanya sekadar rentetan kata kosong belaka, tetapi
lebih daripada itu, sastra mampu memberikan kenikmatan (batin), membangun
keindahan (hidup), juga menambah kecerdasan (otak). Di tangan orang biasa,
kata-kata (bahasa) boleh jadi hanya sekadar piranti komunikasi biasa, tetapi
tak demikian di tangan pengarang. Oleh pengarang, kata-kata (bahasa) telah
dipilih, dikemas, dan diberi kekuatan yang luar biasa sehingga kata-kata (di
dalam sastra) itu mencerminkan
sesuatu yang memiliki empat sifat—angin, air, api, dan tanah—yang tak seorang
pun pernah lepas darinya. Baiklah, barangkali itu hanya teori. Sekarang, mari
kita coba buktikan. Dan untuk membuktikan, bacalah novel Upacara karya Korrie Layun Rampan. Kalau kita membaca novel Upacara itu secara utuh dan seksama,
segera kita akan menangkap beberapa hal.
Pertama, cobalah kita telusuri lebih
dahulu kisah hidup tokohnya. Tokoh ‘aku’ dalam novel ini digambarkan hidup di
sebuah masyarakat—Suku Benuaq, Dayak—di pedalaman
Kalimantan; dan masyarakat itu masih menjunjung tinggi tradisi budaya setempat
yang terwujud dalam bentuk upacara-upacara (kebaktian/religi). Setidaknya ada
empat upacara besar yang dilukiskan dalam novel ini, yakni balian (upacara yang dilakukan oleh dukun dalam hubungannya dengan nasuq juus atau pencarian jiwa yang
hilang); kewangkey (uapacara
penguburan tulang-belulang manusia); nalin
taun (pesta tahunan yang berupa upacara persembahan kepada para dewa untuk
menghindarkan kampung dari dosa dan malapetaka); dan pelulung (upacara perkawinan).
Selain
itu, masih ada beberapa upacara kecil-kecil, di antaranya ompong (upacara adat atau gengsi), senteau (mencari sebab-musabab penyakit), ngejakat (belian awal,
penyembuhan penykit ringan), tempong pusong
(saat pusar bayi tanggal); dan lain sebagainya (kalau disebut satu per satu,
ada puluhan lagi yang berhubungan dengan manusia, pembangunan rumah,
perladangan, seni-budaya, hutan alam, dan lain-lain). Dan setiap
diselenggarakan upacara, pengarang melukiskan secara detail/meyakinkan,
sehingga kita (pembaca) larut ke dalamnya dan sampai pada sebuah anggapan bahwa
upacara merupakan bagian dari kehidupan nyata dari kebaktian yang tak dapat
dihindarkan dari kehidupan masyarakat saat itu (Benuaq, Dayak). Dan dalam kaitan ini,
karena si aku lahir dan besar di masyarakat tersebut, mau tidak mau, ia harus
menerima sebagaimana adanya. Maka, ia pun tak kuasa menolak setiap
diselenggarakan upacara baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keperluan
(orang) lain.
Akan
tetapi, ketika ia dewasa dan telah mengenal cinta, yang bukan suatu kebetulan
dibarengi oleh perkembangan zaman, lebih-lebih ketika orang-orang luar (Barat)
mulai berdatangan dengan membawa misi yang dilandasi pikiran modern dan
rasional, dalam diri si aku pun berubah. Sehingga ia mulai bertanya, apa yang
dinamakan kehidupan itu harus dilalui dengan upacara? Atau memang hidup itu
upacara? Lalu apa tujuan hidup itu? Dan di tengah berbagai upacara itu,
bagaimana sesungguhnya Tuhan yang mahaesa seperti yang sering dikatakan oleh
orang Barat (Tuan Smith)?
Berangkat
dari sekian banyak pertanyaan itulah pikiran si aku kemudian goyah, bingung,
dan bahkan menyangsikan keberadaan/kebenaran upacara-upacara tersebut.
Kesangsian itu pula yang membuat ia kemudian tak percaya bahwa balian (dukun) yang mengatakan bahwa
gadis-gadis yang dicintai si aku dan hendak diperistri (Waning, Rie) akan
selalu mati muda akibat terkena kutukan. Itulah sebabnya, di akhir cerita, si
aku kemudian memiliki keyakinan penuh, bahwa tak seorang pun bisa meramalkan
kematian seseorang—kecuali Tuhan Yang Mahaesa—sehingga ia berani menikahi Ifing, adik Waning. Si aku
berpikir bahwa ia akan hidup bahagia sampai tua bersama Ifing istrinya dan
tidak lagi takut pada ramalan balian.
Nah,
dengan menelusuri sejarah hidup dan lukisan pengalaman batin si aku tatkala
menyaksikan sekaligus menjalani berbagai macam upacara itu, diakui atau tidak,
kita merasa mendapatkan kenikmatan tertentu. Kenikmatan itu timbul tidak hanya
karena dalam batin kita juga muncul sekian banyak pertanyaan seperti yang ada
di dalam pikiran si aku, tetapi juga seolah kita dibawa serta menghayati alam
pikiran dan kehidupan orang Benuaq (Dayak), bahkan seakan kita sendiri merasa
terjun ke dalam dunia gaib mereka, ke dalam kosmos dan kepercayaan mereka. Kita
tak dapat membayangkan—ini akan menimbulkan kenikmatan tertentu—bagaimana
seandainya kita adalah si aku dan bagaimana menghadapi upacara-upacara itu?
Nah, lintasan dan kenyataan itulah, yang, dalam tataran tertentu, membawa kita
pada suatu suasana yang menikmatkan. Dan kenikmatan serupa juga akan kita
rasakan tatkala kita mengandaikan diri sebagai si aku yang ‘dipermainkan’ nasib
dalam bertualang cinta.
Kedua, ketika kita mengikuti alur
petualangan cinta si aku, mulai dari kisah asmaranya dengan Waning sampai
pernikahannya dengan Ifing, hidup kita juga terasa lebih indah seindah kehidupan si aku dan
Ifing. Hal itu terasa ketika kita menyaksikan di akhir cerita si aku berhasil
meyakinkan diri bahwa tiada seorang pun yang bisa menentukan nasib/takdir
seseorang kecuali Tuhan Yang Mahaesa. Keyakinan diri si aku itu—sehingga ia
berani memutuskan menikahi Ifing—tidak lain adalah suatu kemenangan, dan
kemenangan si aku melawan mitos dan ramalan balian
tentang “siapa pun gadis yang dinikahi si aku akan mati muda” adalah suatu
keindahan, sementara keindahan hidup si aku bersama Ifing adalah keindahan
hidup kita juga. Jadi, keyakinan dan kemenangan si aku menjadi cermin yang
meyakinkan kita bahwa di dalam kehidupan ini
kita diharapkan tidak berpaling ke yang lain kecuali kepada Tuhan Yang
Mahaesa.
Memang,
kalau kita hanya membaca dan meresapi kisah kehidupan si aku di akhir cerita,
pernikahan si aku dengan Ifing belum bisa menjadi cermin keindahan hidup sebuah keluarga. Sebab pernikahan
semacam itu hanyalah merupakan peristiwa biasa sebagaimana pernikahan pada
umumnya. Barulah pernikahan itu menjadi tidak biasa, menjadi istimewa, dan
terasa lebih indah, karena dibumbui oleh berbagai peristiwa sebelumnya.
Kehidupan si aku dan Ifing tidaklah indah tanpa adanya kisah tentang
ketidakmengertian si aku mengapa Waning, gadis yang pertama dicintainya, harus
meninggal di mulut buaya. Pernikahan si aku dengan Ifing juga takkan terasa
indah jika tidak diawali dengan peristiwa mengapa Rie harus mati di air terjun
yang menurut balian memang
dikehendaki Dewa Air. Jadi, kalau kita cermati benang merahnya, peristiwa demi
peristiwa yang terjadi sebelumnya menjadi semacam suspense dan foreshadowing
sehingga bersatunya si aku dan Ifing ke dalam suatu ikatan keluarga terasa
melegakan dan membahagiakan; dengan begitu terasa lebih indah.
Ketiga, itu tadi satu sisi tentang
kisah kehidupan tokoh. Sekarang, mari kita lihat apa yang muncul di balik
kata-kata (bahasa) ciptaan pengarang. Karena kata-kata (bahasa) adalah simbol, dan simbol adalah cara
penyampaian sesuatu untuk maksud lain, tentu saja di balik novel ini juga ada
maksud lain. Dan, setelah menikmati dan menghayati novel ini, satu hal yang
segera kita tangkap adalah bahwa pengarang ingin membongkar mitos. Agaknya
Korrie ingin membuka mata masyarakat, bahwa mitos—berbagai macam upacara yang
dilakukan sejak manusia lahir, remaja, dewasa, menikah, sampai mati—itu tidak
layak lagi untuk dijadikan pegangan hidup dan hanya merupakan pemborosan
belaka. Jadi, yang layak dikerjakan demi hidup dan kehidupan hanyalah tindakan
rasional dan akal sehat. Selain itu, Korrie juga ingin menunjukkan kepada
masyarakat (pembaca) bahwa manusia itu ciptaan Tuhan Yang Mahaesa sehingga ia
mau tak mau harus dan hanya boleh berpaling pada-Nya. Lebih dari itu, dalam
novel ini Korrie secara implisit juga melakukan protes atas dampak modernisasi
dan dehumanisasi. Hal ini ia lakukan karena saat itu banyak terjadi malapetaka
akibat orang-oprang Barat (pendatang) suka mempermainkan gadis-gadis Dayak di
samping merusak (menggunduli) hutan.
Itulah,
antara lain, sisi tertentu yang mencerdaskan (otak) kita dari karya sastra, tak
terkecuali dari novel Upacara. Dan
contoh ini hanya sebagian kecil saja, sebab sisi-sisi lain yang menderaskan otak itu masih banyak.
Taruhlah misalnya pilihan kata-katanya yang diambil dari bahasa daerah (Dayak).
Melalui kata-kata bahasa daerah itu—misalnya, anan la lumut ‘perjalanan ke surga’, lamin ‘rumah panjang suku Dayak’, selolo ‘sobekan daun pisang sebagai sarana perdukunan’, burey ‘pupur yang dibuat dari tepung
beras’, dan sebagainya—kita akan memperoleh banyak pengetahuan tentang
kebudayaan Dayak di Kalimantan. Karena itu, membaca novel ini berarti sekaligus
belajar tentang etnologi budaya Dayak, seperti halnya kita belajar kebudayaan
Jawa dari novel Ronggeng Dukuh Paruk
Ahmad Tohari atau Para Priyayi Umar
Kayam; atau belajar kebudayaan Minang dari karya Wisran Hadi dan Darman Moenir;
atau belajar kebudayaan Bali dari karya Oka Rusmini.
Demikianlah,
ulasan sepintas—yang nikmat, indah, dan mencerdaskan—atas novel pertama karya
Korrie Layun Rampan yang pernah memenangkan sayembara penulisan novel DKJ 1976.
Kalau dilihat estetika strukturnya, memang novel ini tidak begitu istimewa,
lebih-lebih segi alur dan sistem pengalurannya. Hanya saja, yang membuat novel
ini menarik adalah aspek lokalitasnya pada awal 1970-an memang merupakan
sesuatu yang baru dalam kancah sastra Indonesia. Selain itu, yang lebih menarik
lagi, dalam novel ini Korrie mampu menghindar dari kecenderungan untuk
menciptakan karya kitsch.
Hal
tersebut terlihat pada usahanya mengakhiri cerita. Di akhir cerita, Korrie
mampu menjaga keseimbangan untuk tidak secara frontal menolak mitos. Dan itu
agaknya merupakan suatu kesengajaan agar tidak dianggap sebagai ‘pengkhianat’
terhadap kepercayaan dan tradisi budaya daerah suku itu (Benuaq). Buktinya, di
akhir ia tidak mengemukakan apakah perkawinan si aku dan Ifing langgeng sampai
tua atau tidak. Dan langgeng atau tidak perkawinan mereka, Korrie menyerahkan
sepenuhnya pada tafsiran pembaca. Sebab, kalau mereka digambarkan langgeng
sampai tua, misalnya, berarti niat Korrie membongkar mitos terlalu kentara
(eksplisit); dan tentu saja ini tak bagus bagi sastra yang bermain di dunia
simbol.(*)
Catatan:
1).
Tulisan ini dikutip dari majalah Horison
No. 11, Th. XLII, November 2007, “Kakilangit”, 131/November 2007, hlm. 7-8.
2).
Tirto Suwondo, sastrawan, peneliti, esais, Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah. Ia
telah menulis sejumlah buku berupa hasil kajian, kritik dastra, esai, dan
cerita anak-anak.
0 comments:
Post a Comment