CERPEN YULIATI PUSPITA SARI
Mataku tak lepas memandangi wajah keriput
itu. Tangannya begitu gesit menganyam
helaian purun kering. Aku kagum
dengannya. Usia senja tak membuatnya
putus semangat. Bermodal kemampuannya membuat
tikar purun, ia mencoba bertahan untuk hidup. Bukannya tak punya anak, tapi
naluri keibuannya membuatnya tak tega membebani mereka. Anak-anaknya juga
mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengannya, mereka juga harus berjuang keras
untuk bertahan hidup.
“Mau bagaimana lagi, Cu, anak-anak Nini juga sama melaratnya
seperti Nini,” katanya sambil mengunyah sirih yang sudah menjadi
kebiasaanya.
Aku tersenyum getir.
“Terlalu miskinkah anak-anaknya sehingga untuk
merawat ibu yang telah melahirkan mereka saja mereka tak mampu?” rintihku di
dalam hati.
Lurus pandanganku menatap ke luar rumah. Tampak hamparan purun yang berderet rapi siap
menantang mentari yang begitu terik menerpanya.
“Anak-anak Nini di mana sekarang?”
“Jauh. Ada yang di Kotabaru, Balikpapan,
Pontianak, bahkan ada yang merantau ke Sumatera.” Nini ramlah menerawang, entah apa yang ada di
benaknya. Nini Ramlah menarik napas
dalam-dalamnya. Guratan di wajahnya seolah
mempertegas derita hidup yang harus dilaluinya. Celoteh riang anak-anak yang
begitu asyik bermain di halaman menghadirkan kenangan masa silam nini Ramlah
tentang anak-anaknya.
“Jauh sekali ya, Ni…”
“Di sini sudah sulit mencari kerja, Cu…, apalagi
anak-anak nini tak ada yang sekolah tinggi.”
Kucermati kata-katanya. Lapangan kerja sekarang
memang sudah semakin sempit, sungguh tak sebanding dengan para pencarinya. Entah bagaimana nasibku kelak. Abah bukan penguasa. Ia hanya pegawai rendahan. Akankah aku
sanggup bertahan dalam pergumulan yang menurutku miring itu? Ataukah aku harus ‘tersingkir’ seperti kakak
tertuaku yang saat ini hidup jauh di perantauan, terpisah dengan keluarga demi
mendapatkan pekerjaan?
Masih lekat dalam ingatanku cerita abah tentang
pegawai baru di kantornya yang begitu mudah pindah kerja kembali ke tanah
asalnya tanpa sempat kerja sehari pun di kantor tempat abah bekerja. Usut punya
usut, ternyata hubungannya begitu dekat dengan sang penguasa. Permainan apa lagi ini? Abah bilang ini lah jenis nepotisme gaya
baru.
Kutemukan lelah yang begitu sangat di wajah keriput
perempuan tua yang
sekarang duduk di hadapanku.
Kasihan nini Ramlah, setua ini masih harus bekerja. Mengecap kebahagiaan berkumpul bersama anak
dan cucu sepertinya hanya bisa hadir di mimpinya.
“Diminum dulu airnya, Cu.”
“Alhamdulillah…”
Segelas air ini terasa begitu sejuk membasahi
kerongkonganku yang kering. Kutatap lagi
wajah tua di hadapanku. Ia masih asyik
dengan anyaman tikar purunnya. Sesekali ia membuang sapah
di mulutnya pada peludahan di sampingnya. Warna merah gambir menghiasi bibir
tuanya.
“Ada pesanan ya, Ni?” Kucoba mengusir
keheningan.
Nini Ramlah mengangguk.
“Iya, Cu, ada pesanan dari bu Haji, tikar purun
untuk alas sajadah,” katanya dengan mata berbinar.
“Pasti di bayar mahal ya, Ni, untuk pesanan khusus?”
Nini Ramlah tersenyum.
“Alhamdulillah cukup untuk makan, Cu. Lagi pula, yang namanya rezeki dari Allah,
banyak atau pun sedikit, wajib kita syukuri.”
Aku kagum dengannya. Kesempitan hidup tak membuatnya lupa untuk
bersyukur.
***
Terik matahari masih enggan bersahabat dengan
orang-orang yang melintas di jalan.
Berdesakan di dalam mikrolet membuat tubuhku semakin gerah. Keringat
mulai membasahi pakaianku.
Seorang pengemis mengulurkan tangannya dari balik
jendela mikrolet yang sedang berhenti di lampu merah. Kuhela napas panjang. Ia
masih muda, tapi penampilannya sengaja dipoles sedemikian rupa untuk menarik belas
kasihan orang lain. Kemalasan, inilah salah satu potret buram negeri ini.
Terbayang wajah tua kelabu yang entah apakah
masih asyik dengan anyaman tikar purunnya. Sudah lumayan lama aku tidak
menemuinya karena tenggelam dalam tumpukan data yang siap untuk diolah. Nini
Ramlah, ia tahu banyak tentang tikar purun yang menjadi objek
penelitianku. Aku berhutang jasa
kepadanya. Data-data yang diberikannya
menghantarkanku untuk menjadi seorang sarjana.
“Assalamualaikum, Ni...” Aku senang bisa melihat perempuan tua itu lagi.
“Waalaikumussalamussalam...” Nini Ramlah terlihat
kaget dengan kedatanganku. Mungkin ia tidak menyangka kalau hari ini aku akan
ke rumahnya.
“Ayo masuk, Cu,” lanjutnya lagi.
Kucium tangan keriputnya.
Entah kenapa, hari ini kulihat nini Ramlah agak
lain dari biasanya. Tak ada anyaman
tikar purun di tangannya.
“Apa
kabar, Ni?” Aku mencoba berbasa-basi.
“Alhamdulillah, baik, Cu.”
Kuletakkan sebungkus pisang goreng yang kubeli di
jalan tadi. Seperti biasa, nini Ramlah pun menyuguhi aku secangkir air bening
yang begitu sejuk membasahi kerongkonganku yang kering.
“Tikarnya mana, Ni?”
Mataku menjelajah ke setiap sudut ruangan,
tapi tak kutemukan anyaman-anyaman itu.
“Apa yang mau dibuat anyaman, Cu, purun-purunnya
sudah tidak ada lagi...”
“Maksud Nini?”
Nini ramlah menarik napas dalam. Kebisuan begitu
kuat bertahta di antara kami. Wajahnya
tak seceria tadi. Kutangkap bias kesedihan yang begitu dalam dari wajahnya.
“Semua warga telah sepakat, mau tak mau nini juga
harus ikut...,” ucapnya mengambang.
Ingatanku melayang pada spanduk besar yang
terpampang di pinggir jalan tadi.
“Benarkah nini Ramlah harus ikut pergi dari tanah
kelahirannya demi toleransi dengan orang-orang di
sekitarnya yang telah tergiur dengan setumpuk uang yang ditawarkan pada mereka?”
gumamku lirih.
Satu lagi cerita asli tentang negeri ini akan
tergantikan. Sawah, rumah papan, dan padang purun akan disulap entah jadi apa.
Tak ada yang bisa kulakukan, bahkan sekadar mengusir kesedihan yang melingkupi
nini Ramlah.
Nini Ramlah beranjak dari duduknya. Kakinya tak
lagi gesit menopang tubuh rentanya. Kupapah tubuh tuanya menuruni anak tangga
yang tak seberapa tinggi.
“Panas, Ni.” Selembar kertas koran kuletakkan
sejajar di atas kepalanya. Sekadar
menghalau panas yang sangat menyengat.
“Tak apa, Cu, Nini sudah terbiasa dengan panas.”
Nini Ramlah tersenyum hambar.
Pandangannya lurus menatap padang purun yang
sebagian purun-purunnya sudah ditebas habis. Aku tak mengerti apa yang sekarang
sedang bermain di benaknya. Aku hanya bisa menangkap raut kesedihan yang
teramat sangat dari wajah tuanya.
Tubuhnya masih tetap mematung seakan tak peduli dengan sengatan mentari.
“Upik, Ujang, Fahri, ayo naik, sebentar lagi
Magrib!”
Perempuan itu menggelengkan kepala melihat kelakuan ketiga anaknya.
“Segera mandi lalu pergi ke mushalla. Abahmu
sudah pergi duluan.”
Ketiganya masuk ke dalam rumah sambil
mengibas-ngibaskan tangannya ke rambut mereka yang dipenuhi serpihan buah
purun.
“Ma, habis Magrib nanti Rahmah akan belajar ngaji
di rumah acil ipit, ya?”
Gadis kecil berjilbab putih muncul dari balik
pintu kamar. Dengan takzim diciumnya tangan ibunya.
“Hati-hati di jalan, Mah, selesai Isya langsung
pulang ke rumah, ya...”
Rahmah mengangguk. Ia berlari-lari kecil menuju
mushalla arah utara desa. Ramlah mengantarkan kepergian anaknya sampai pintu
rumah. Diusapnya perutnya yang membuncit.
“Semoga kelak kamu juga akan jadi anak yang
saleh, Nak,” gumamnya lirih pada janin yang ada dalam kandungannya.
“Ni, sebaiknya kita kembali ke rumah, kasihan
Nini sudah terlalu lama berdiri di sini.” Kupegang tangan kurusnya. Nini Ramlah
terperanjat.
Sepertinya ia baru sadar dari alam hayalnya yang
entah menceritakan tentang apa.
“Allah mungkin sudah mempersiapkan rencana
lain yang lebih baik untuk Nini daripada sekadar menghabiskan hari tua dengan
menganyam tikar purun,” kata nini Ramlah seolah mencoba berdamai dengan kemelut
yang melanda hatinya.
***
“TAMAN PESONA INDAH.” Gerbang itu begitu megah dan telah menyulap
daerah pinggiran ini menjadi kota yang ramai. Tak ada tikar purun di sini,
karena yang ada hanya karpet warna-warni. Tak ada bakul purun, karena kantong-kantong
plastik telah siap mengganti posisinya. Kutarik napas dalam-dalam. Entah di mana nini Ramlah sekarang. Aku
kehilangan jejaknya semenjak transaksi jual beli permukiman itu terjadi. Mungkin ia akan terkejut jika tahu di atas
tanahnya telah berdiri sebuah rumah mewah dan tentunya tanpa tikar purun di
dalamnya.
Aku berdiri mematung. Rumah ini dibeli suamiku
tujuh bulan yang lalu dari rekan bisnisnya yang pindah ke kota lain. Sesosok bayangan renta menari-nari dalam
ingatanku. Beberapa tahun yang lalu, aku
dan sesosok tubuh renta itu pernah berdiri di sini memandang padang purun yang
sebagian purunnya sudah di tebas habis. oo
Kertak Hanyar, 2008
Catatan.
Acil = bibi / tante
Sapah = ampas kinangan
Yuliati Puspita Sari pernah aktif di Forum Lingkar Pena wilayah Kalimantan Selatan sejak tahun 2001.
Beberapa cerpennya pernah dimuat di media cetak.
0 comments:
Post a Comment