Karena
bosan selalu menderita disapu banjir Ciliwung, Pono memutuskan untuk mengadu
untung ke luar Jawa. Rumah yang dibangunnya di bantaran kali dijualnya, dan
uang hasil penjualan rumah itu digunakannya untuk ongkos menuju Samarinda.
Saat
ia menemukan pekerjaan, uang itu masih tersisa, dan ditambah dengan uang yang
ditabungnya dari gaji yang tak terpakai, ia melamar Minah dari Kampung
Lempunah. Karena pekerjaannya sebagai penebang di hutan HPH di Sungai Nyuatan,
Minah diboyongnya ke camp tempatnya
bekerja. Selama setahun di camp Pono
sudah mempu membeli sebidang ladang dari Kepala Kampung Sentalar. Letak ladang
itu cukup strategis, berada pada sebuah tanjung sungai yang memanjang. Bagian
hulu tanjung, sungai membentuk lekukan sehingga air memusar saat membentur
tebing sungai. Bagian hilirnya tercapak sebuah teluk yang bagus sekali
dijadikan tempat pemandian dan tambatan rakit jamban.
Pono
merasa senang dengan ladang yang didapatnya dari keringat sendiri. Ladang itu
digarapnya jika tiba gilirannya mendapat cuti. Tanahnya subur dan apa saja yang
ditanam cepat sekali tumbuh dan menjadi pohon yang segar menghasilkan buah.
Dahulu
ia pernah menggarap tanah, sebagai petani penggarap saat masih tinggal di tepi
Kali Serayu. Akan tetapi banjir sering memusnahkan apa yang sudah dikerjakan
selama berbulan-bulan. Akhirnya Pono meninggalkan desa mengadu untung di
Jakarta. Ia terdampar di tepi Ciliwung dan bekerja serabutan hingga menemukan
pekerjaan tetap sebagai sopir perusahaan. Penghasilannya lumayan, dan dengan
kehematan yang dipaksakan ia akhirnya mampu membangun sebuah rumah di bantaran
kali. Namun banjir selalu datang mengganggu, membuat Pono harus hengkang, di
samping ia harus berjuang dengan kerja baru karena ia sendiri terkena
rasionalisasi. Taklah mudah bagi tenaga yang tidak memiliki ijazah dan keahlian
khusus untuk menemukan pekerjaan di Jakarta. Atas kebaikan hati kawannya Mista
ia akhirnya tiba di Samarinda.
Pono
membangun rumah di ladang yang baru di belinya itu. Istrinya membawa kedua
orang tuanya dari Lempunah, ke rumah baru mereka di tepi Sungai Nyuatan di
Kampung Sentalar, tak jauh dari camp HPH.
Jika
dilihat dari hilir maupun dari hulu rumah itu seperti sebuah istana di dalam
kerajaan dongengan. Atapnya dari genteng monier, dindingnya dari bata yang
dibuat sendiri, dan fondasinya dipasang dari batu kali yang diambil di udik
Sungai Anau, jauh di hulu Desa Sentalar. Bangunan itu memang lain dari bangunan
biasa di daerah itu karena bentuknya bukan rumah panggung. Menurut kepala desa,
ketinggian fondasi sudah cukup untuk menghindari luapan banjir, karena banjir
tertinggi di daerah itu paling-paling mencapai satu atau satu setengah meter di
atas permukaan tanah yang rata. Pono membangun rumahnya dengan membentuk tanah
seperti bukit meninggi dan di atas bukit itu bangunan itu didirikan.
Masyarakat
desa itu merasa kagum akan pilihan Pono pada arsitektur rumah itu. Ia
menggambari sendiri bagaimana membagi ruang dan membentuk bubungan atap,
bagaimana ornamen kusen, daun pintu, dan jendela. Sebuah rumah yang megah, dan
mengundang decak. Beberapa orang warga desa itu bahkan ingin meniru bentuk
bangunan yang dibuat Pono.
Tiga
tahun lamanya ia membangun rumah itu. Sebenarnya membangunnya tidaklah lama,
akan tetapi biaya bangunannya membutuhkan waktu, membuat bangunan itu
terseret-seret dalam penyelesaiannya. Namun, saat benar-benar selesai, rumah
itu sungguh membawa kenikmatan bagi penghuninya, dan kedua orang mertuanya
merasa tenang tinggal di situ, terutama karena satu-satunya anak mereka, Minah,
telah mulai mengandung.
Pono
merasa ia harus lebih giat bekerja demi istri dan anaknya yang akan lahir. Pada
hari-hari terakhir sering ia harus menginap beberapa hari di barak pedalaman,
karena harus menyelesaikan pekerjaan penebangan. Pohon-pohon keruing dan
meranti yang lebih dekat ke arah camp
sudah habis dibabat, tinggal pohon-pohon Borneo atau kamper yang jauh di
pedalaman hutan di sela-sela bukit dan lembah yang cukup sulit dicapai dengan
alat berat. Namun pohon-pohon itu harus ditebang dan dibawa ke penumpukan log
di camp tepi Sungai Nyuatan.
Mengingat
istri, rumah, dan anaknya yang akan lahir, Pono merasa seperti mendapat tenaga
baru. Tanah ladang yang tadinya tersisa telah diubahnya menjadi lahan yang
berguna ditanami palawija. Bahkan di sekeliling rumahnya ditanaminya dengan sayur-mayur
yang setiap seminggu sekali dibawa mertuanya ke camp atau ke kota kecamatan. Bahkan kadang mertuanya menjual
sayur-mayur itu hingga ke Long Iram dan Melak. Lumayan untuk menambah belanja.
Membayangkan
hidupnya kini bersama istri yang setia dan telaten membantu di belakang suami,
ia merasa suatu tuah yang tak bertara. Beberapa tahun ia mengabdi pada tanah di
sepanjang Kali Serayu yang tandus dan setiap musim digilas banjir Jakarta,
rasanya hidup di rumah sendiri yang dibangun dengan keringat perjuangan, sangat
membesarkan hati. Hidup jadi berguna, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi
terutama berguna untuk anak turunan. Ia membayangkan anaknya yang lasak, sehat,
dan cerdas yang akan dilahirkan istrinya, sungguh suatu anugerah. Bukankah Allah
Ta’ala telah membimbingnya kepada suatu perjuangan yang memperlihatkan dimensi
baru di dalam hidupnya. Sama saja apakah orang tinggal di Jawa atau Sumatera,
Irian, atau Sulawesi. Bahkan Jakarta yang memberinya banyak pelajaran dan
kemudian rumah yang dibangunnya di Desa Sentalar saat ia bekerja di camp penebangan HPH di pedalaman,
memberinya pengetahuan tentang hidup yang sebenarnya.
Saat
ia berangkat terakhir ia ingat ia berpesan kepada istrinya agar lebih hati-hati
menjaga diri. “Bulan-bulan sekarang ini waktunya hujan banyak turun dan mungkin
akan banjir,” ia ingat ia berkata. “Kandunganmu harus membuat kau hati-hati.”
Istrinya
diam tersenyum manja.
“Mas
Pono juga harus hati-hati, Nah,” ia berkata waktu itu. “Sementara kau baru
pertama kali ini mengandung.”
“Ya.
Tapi ‘kan ada Ayah dan Ibu.”
Pono
merasa aman karena istrinya ada bersama kedua orang tuanya sendiri. Dengan
bantuan orang sekampung, tentu mereka akan dapat terhindar dari segala bencana.
Apalagi letak rumahnya yang berada di tanah genting, orang-orang dari bagian
hulu dan hilir dapat dengan mudah tahu apa yang terjadi pada mereka.
Saat
ia naik ketinting manuju camp ia
merasa semangatnya makin bertambah. Dengan uang gaji yang terakhir nanti ia
akan menambah luas kebun kacang tanah dan kacang hijau. Kedelai dan ubi jalar
juga sangat kurang pemasoknya. Jika uang sudah ditangan, dan ia dapat giliran
cuti barang seminggu, ia akan mengupah orang-orang desa mengerjakan kebun itu.
Penyelesaiannya akan dapat diawasi oleh mertuanya, dan hasilnya akan dapat
dipaneni beberapa bulan lagi.
Pono
merasa gairahnya bertambah.
Ketika
ia mendapat bagian menebang di bagian yang jauh ke dalam, ia merasa harus
menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dari seharusnya. Ia dapat masuk ke
kawasan pokok-pokok pohon yang akan ditebang kemudian baru alat-alat berat
menyusulnya untuk menarik kayu gelondong yang telah ditebang. Dengan demikian
kerja lebih efisien dan waktu dapat lebih diperpendek.
Akan
tetapi pada hari ketiga ia mondok di barak hutan, alat-alat berat amat sulit
melewati kedalaman air yang makin naik, dan banjir menampakkan gejala yang
makin meninggi. Karena hujan makin menjadi-jadi, beberapa bagian hutan telah
berubah menjadi arus sungai yang menderu mencari bagian palung yang merendah ke
arah aliran sungai yang hidup. Arus sungai-sungai kecil itu begitu deras dan
menderu-deru menuju sungai yang lebih besar.
Pekerjaannya
amat terganggu. Terutama pengangkutannya sama sekali lumpuh. Tak ada alat berat
yang mampu berjalan di dalam banjir atau melewati lurah yang telah terisi
dengan air. Untuk pulang ke camp juga
susah karena kendaraan-kendaraan pengangkut tertahan lebih seratus kilometer di
tepi sungai yang sedang meluap.
Selama
seminggu Pono bersama regunya tertahan di hutan penebangan. Pekerjaan tidak
dapat dilakukan dengan baik karena hujan turun tak menentu, dan gerimis hampir
tak henti sepanjang hari. Pada hari kedelapan rombongan itu memutuskan untuk
pulang, karena persediaan makanan sudah habis, sementara kiriman dari camp di bawah tak kunjung tiba.
Segala peralatan mereka tinggalkan di barak
penebangan.
Hampir
sore baru rombongan itu bertemu dengan penjemput yang juga berjalan kaki karena
kendaraan tidak bisa melewati jembatan darurat yang jebol dilanda banjir.
Bahan-bahan makanan yang dibawa ditinggal di pinggir kali di dalam kendaraan
yang memuatnya. Esok harinya baru mereka tiba di camp dan Pono merasa sangat terperanjat karena air telah meluap
begitu tinggi.
“Bagaimana
tak tinggi,” pimpinan camp berkata,
“kalau hujan terus-menerus turun di pehuluan sungai. Mungkin banjir akan lebih
lama.”
Camp yang dibangun di atas bukit
itu terasa dekat dengan bibir air.
Dengan
merasa was-was Pono minta izin untuk menghilir melihat istrinya dan kedua
mertuanya di rumah. Ia pun segera menghilir dengan ketinting menuju Desa
Sentalar. Hatinya makin was-was setelah melihat permukaan air jauh di atas
tebing sungai. Jika di musim kemarau tebing-tebing kedua sisi sungai tampak
tinggi, kini tebing itu tak kelihatan lagi. Yang muncul hanya pucuk-pucuk
gelagah yang terbuai-buai karena arus air yang deras serta rimbunan pohon-pohon
tepi air serta kaitan suluran rotan yang kadang menahan kampar kayu yang hanyut
dari hulu.
Jarak
antara camp itu dengan rumah dapat
ditempuh kurang dari dua jam. Ingin rasanya Pono terbang dengan ketinting itu
untuk dapat melihat keadaan rumah dan keluarganya. Melihat tingginya permukaan
air pasti rumahnya kebanjiran.
Dari
agak kejauhan Pono dapat melihat ke arah rumahnya. Ia kaget luar biasa karena
tampak rumahnya yang bagaikan sebuah benteng di tengah lautan sedang diterjang
oleh ribuah gelondong kayu yang dihanyutkan pengusaha HPH yang berasal dari
udik sungai. Kayu-kayu gelondong itu tidak lagi mengikuti arus sungai yang berkelok
ke arah tanjung, tetapi menerabas lewat tanah genting dari tanjung yang
panjang. Air tampak berderu-deru dengan gelombang yang meninggi melewati
kawasan genting itu, dan kayu gelondong itu dengan sesukanya membentur dinding
rumah. Dengan kekuatan air dari hulu yang begitu deras dan berat ribuan kubik
kayu gelondong, Pono melihat rumahnya seperti sebuah pohon yang sedikit demi
sedikit tercerabut akarnya dan segera tumbang.
Ketinting
Pono terhalang oleh ribuan gelondong yang mendobrak tembok rumahnya itu. Dengan
gugup ia melompat meninggalkan ketintingnya, naik ke atas kayu gelondong yang
terus menggelesor menghilir dalam terabasan tanah genting itu—tempat rumahnya didirikan—dan segera ia berlari di
atas kayu gelondong ke arah rumah. Masih sekitar dua puluh meter dari rumah, ia
melihat rumah itu ambruk, dan dari dalam masih ia dengar suara teriakan seorang
wanita. Teriakan Minah.
“Tolong!
Tolong! Tolong! Mas Pono, toloooongngng. . . !”
Orang-orang
di kampung itu juga berdatangan dengan perahu dan berusaha menolong dengan
menahan penghiliran kayu-kayu gelondong itu. akan tetapi tenaga mereka tidak
mampu menahan kekuatan alam yang terus menggusur rumah itu seperti sebuah kapal
perusak yang mendobrak mangsanya, seakan menyeterika kawasan itu dengan gerusan
kayu oleh dorongan derasnya arus banjir.
Rupanya
Minah bersama kedua orang tuanya telah pindah dari kamar bawah ke plafon rumah,
karena banjir telah hampir mencapai pinggiran bawah atap.
Hanya
beberapa detik kejadian itu berlangsung, dan teriakan Minah tak terdengar lagi,
sebab rumah itu telah roboh dan terhanyut ke dalam arus sungai yang lebih dalam
di bagian hilir. Kayu-kayu gelondong itu seperti itik-itik yang tanpa dosa
berenang di air yang membuat mereka bersuka. Kayu-kayu mati itu terus menghilir
mengikuti arus sungai seperti pasukan yang menang perang.
Dengan
badan manggigil Pono melompat ke lunas ketintingnya. Dengan SSB kepala desa ia
melaporkan kejadian itu kepada camat dan polisi di kecamatan. Akan tetapi lebih
sepuluh hari pencarian dilakukan, jisim ketiga penghuni rumah itu tak juga
ditemukan. Bahkan setelah sebulan kemudian banjir itu surut seluruhnya dari
kawasan dataran rumahnya, Pono belum juga menemukan jasad tiga orang yang
dicintainya, empat bersama bayi yang dikandung Minah.
Di
bekas rumahnya dan seluruh ladang kebunnya tampak bersih setelah banjir reda.
Tak sepokok tanaman pun yang tersisa, kecuali lumpur dan tunggul kayu yang
mulai membusuk. Fondasi rumahnya ikut tercabut dan di tempat itu hanya ada
lumpur yang kotor dan butek. Mirip sebuah kawasan kuburan massal yang diratakan
untuk menghilangkan jejak.
Selebihnya
kosong. . . .
Mata
Pono menatap kekosongan itu dengan
perasaan yang kosong. . . .
Dadanya
perih! Perih. . . sekali!
Jakarta, 11 Februari 1996
(Hadiah untuk Jailani Djenung
dan kelahiran Kecamatan Nyuatan yang beribu kota di Dempar)
0 comments:
Post a Comment