Micky
Hidayat termasuk sastrawan terkemuka Indonesia. Pria yang lahir di
Banjarmasin, 4 Mei 1959 itu mulai bergiat menulis puisi sejak tahun 1978. Di
samping puisi, ia juga menulis esai sastra, ulasan/kritik sastra dan teater,
reportase seni, resensi, artikel masalah sosial, politik, dan gerakan mahasiswa,
di sejumlah media cetak daerah dan nasional antara lain, Pelita, Republika,
dan Majalah Horison, serta di beberapa Jurnal Sastra.
Kumpulan puisi tunggalnya Meditasi
Rindu (Tahura Media, Banjarmasin, 2008, dan Penerbit Bukupop, Jakarta,
2009). Pembicaraan atas puisi-puisinya terhimpun dalam buku Memikirkan
Sajak-sajak Micky Hidayat (Pustaka Puitika, Yogyakarta, 2016).
Puisi-puisinya juga diterbitkan dalam antologi bersama di berbagai
event/forum dan festival sastra lokal dan nasional. Ia juga menjadi editor
beberapa buku antologi sastra karya sastrawan Kalimantan Selatan. Mengikuti
berbagai forum sastra dan pembacaan puisi di Kalimantan Selatan dan berbagai
daerah di tanah air.
Berikut
salah satu puisinya berjudul Meditasi
Rindu.
Meditasi Rindu
1
Mengingat
kembali dirimu
Keterasingan
dan sunyi pun menyapa
Menulisi
airmata, di antara kata-kata liar buruanku
Mengaliri
duka cita tak pernah terucapkan
Sekelompok
camar membelah laut
Kumandang
takbir melayang-layang di udara
Menyusun
riwayat dunia yang tak pernah tamat kubaca
2
Tiba-tiba
rinduku padamu
Menjelma
sebuah menara menjulang
Mengajari
udara beterbangan
Dengan
kesabaran
Mengusik
cuaca dan angin
Cahaya
matahari mengirimkan salam dan doa
Yang
tumpah dalam kenikmatan ruang dan waktu
Dalam
keheningan sempurna
3
Bayang-bayang
wajahmu
Menjelma
rembulan dan bintang-bintang
Di
hamparan sajadah kebijaksanaan
Kekhusyukan
tasbih dan tahmid
Dengan
kesetiaan samudera
Berkelebatan
ayat-ayat
Berkilauan
rahasia-rahasia
Tebing-tebing
mimpi dunia
Yang
diselimuti kabut
Dalam
tahajud sunyi
4
Mendaki,
mendaki
Mendakilah!
Semadi,
semadi
Semadilah!
Hingga
ke puncak dzikir kembara
Telah
engkau reguk kehidupan fana dengan airmata
Telah
engkau enyahkan kilau-kemilau dan kecemasan dunia
Menuju
ketenangan maha sempuma
5
Telah
engkau baca beribu ayat
Hingga
menerangi alam semesta
Telah
engkau tuntaskan tafakkur dalam keheningan
Berkhalwat
dalam selawat
Cahaya
nabi dan para rasul
Mengembara
dalam mahsyar
Bertakbir
tak habis-habis takbir
Di
keluasan sajadah
Hingga
sujud dalam rakaat demi rakaatmu
Menyentuh
surga
6
Dan
aku di sini, di puncak kerinduan ini
Beribu
tahun memunguti kesepian tak terperi
Dalam
ketidakberdayaan, di ruang kefanaanku
Dan
menanti, akankah kau datang lagi dengan senyum
Kemudian
pergi tanpa pamit bersama mimpiku
Juga
rindu tak terpuaskan
7
Sebagaimana
sajak-sajak yang mengalir
Dari
kawah batinku, pada setiap puncak pendakianku
Selalu
saja menulisi kecemasan dunia
Menangisi
luka bulan, bintang-bintang dan matahari
Mentasbihkan
kebijakan dan kebajikan
Mendzikirkan
kebaikan dan kebenaran
Dan
kubakar segala keburukan
Yang
pernah kau ajarkan diam-diam padaku
Seperti
kediaman batu-batu
8
O,
bapak, sebagaimana puisi-puisimu
Yang
kini tak bisa lagi bicara
Tetapi
masih berulang-ulang kubaca
Aku
baca!
Sebagaimana
aku terus belajar mengeja
Dan
mencari kata-kata
Sebagaimana
aku terus belajar membaca
Isyarat
dan gerak zaman
Sambil
mengumandangkan ayat-ayat kebenaran
Dengan
cahaya dzikir dan airmata doa
Mengkristal
dalam jiwamu yang mawar
Bersemayam
cahaya maha cahaya-Mu
0 comments:
Post a Comment