Atheis atau
yang dalam bahasa Indonesia baku adalah ateis, merupakan sebuah novel karangan Achdiyat Karta Mihardja yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun
1949. Secara singkat novel ini
mengisahkan kehidupan Hasan yang seorang muslim
muda dan diharapkan keluarganya agar terus berpegang teguh pada agama Islam. Meski demikian, di tengah
perjalanan hidupnya malah meragukan agamanya sendiri. Hal itu karena
pergaulannya dengan Rusli dan Kartini yang menganut ajaran Marxis (filsafat
materiasme historis dan dialektisnya Karl Marx). Ditambah lagi adanya pemgaruh
seorang penulis nihilisme ( sebuah pandangan filosofi bahwa dunia ini, terutama
keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan) bernama Anwar. Novel
ini sudah masuk dalam UNESCO
Collection of Representative Works.
Secara gamblang penulisnya ingin mengatakan
perlu kehatian-hatian dalam mencerna paham-paham atau ajaran-ajaran yang
menyimpang dari keyakinan dalam agama Islam. Ketika berhadapan dengan yang
demikian itu, maka idealnya segeralah meminta petunjuk dari-Nya agar tidak
terjerumus dalam kesesatan.
Tokoh dalam novel ini adalah Hasan, Rusli, Kartini, Raden
Wiradikarta, Ibu Hasan, dan Anwar. Berikut ringkasannya.
Hasan merupalan seorang putra pensiunan mantri guru bernama
Raden Wiradikarta di kampung Panyeredan. Sebuah kampung di lereng gunung
Telaga Bodas. Sebagai anak satu-satunya yang masih dari keluarga Raden
Wiradikarta, sejak kecil Hasan mendapat didikan agama secara mendalam. lburiya
selalu melatih Hasan menghafal ayat-ayat Alquran. Oleh karena itu, sejak kecil
ia .sudah dapat menghafal shahadat, shalawat, Surat Al-Ikhlas, Al-Fatihah, dan
sebagainya.
Setelah menamatkan sekolahnya, Hasan berusaha
melamar Rukmini untuk menjadi istrinya. Akan tetapi, temannya itu telah
dijanjikan untk seorang kaya di Jakarta (dulu Batavia). Kemudian orang tua
Hasan memintanya menikah dengan Fatimah dan ia menolak permintaan itu.
Ketika Hasan meningkat dewasa, ia mengikuti jejak orang
tuanya, berguru di Banten, mendalami syariat dan salah satu ilmu terikat. Lalu dia pindah ke Bandung untuk bekerja sebagai pegewai
pemerintah pendudukan Jepang.
Semenjak menganut ajaran spritual Islam, Hasan semakin rajin
melalukan ibadat. Sebagai akibatnya, pekerjaan kantornya sering terbengkelai.
Dari teman-temannya sekantor, dia mendapat gelar "Pak Kiai". Selain
itu, kesehatan badannya tidak pemah diperhatikan, bahkan hidupnya dikendalikan
oleh hal-hal yang tidak rasional. Misalnya, ia pernah mandi sampai 40 kali
semalam, tanpa menggunakan handuk sebagai pengering badannya. Tidak mustahil,
akhirnya, ia terkena penyakit TBC. Ia pernah juga berpuasa tujuh hari tujuh
malarn terus-menerus, dan selama tiga hari tiga malam mengunci diri di dalam
kamar tanpa makan, minum, dan tidur. Hasan adalah produk pendidikan lingkungan
yang tertutup, fanatik. Ia berkernbang menjadi manusia yang fanatik, sempit
pandangan hidupnya, dan kurang memiliki pengalaman.
Saat di Bandung itulah, Hasan bertemu
sahabatnya sewatu kecil dulu, yakni Rusli. Temannya ini memperkenalkannya
dengan seorang gadis bernama Kartini. Awalnya, Hasan yang mengetahui
Rusli dan Kartini adalah pengikut ajaran Marxis yang ateis itu, hendak
mengembalikan keduanya ke agama Islam. Akan tetapi sayang, dia tidak dapat
mengatasi argumentasi Rusli yang tentunya sangat menolak agama. ,
Bahkan, Hasanlah yang malah mulai meragukan
keimannnya. Lambat laun, dia pun kian sekuler. Bisa dikatakan kehadiran Rusli dan Kartini menyebabkan perubahan pada diri Hasan.
Kehidupan Rusli dan Kartini, menurut Hasan, serba menarik. Hasan jatuh cinta
pada Kartini. Ia ingin berumah tangga dengan Kartini. Rasa cinta itu yang
memupuk kelemahan Hasan dan merupakan awal dari segala perubahan hidupnya. Ia
berusaha menyenangkan dan menarik Kartini, bahkan ia rela mengorban- kan
segalanya: Imannya luntur, hubungan dengan ayahnya menjadi putus. Hanyutlah
Hasan dalam kehidupan yang dianut oleh Kartini dan kawan-kawannya: modern,
bebas, dan berdasar- kan paham marxis.
Walaupun banyak tingkah laku Kartini yang bertentangan dengan
ajaran agama Islam, Hasan tetap mencintainya. Semua gerak-gerik dan tingkah
laku Kartini diterimanya dengan senang, dengan harapan agar Kartini tetap
menjadi miliknya.
Ditengah-tengah kembang-kempisnya harapan Hasan untuk dapat
hidup bersama Kartini, muncullah Anwar yang menaruh hati juga pada Kartini.
Perasaan cemburu Hasan menutupi segala kelemahannya. Kini tidak ada pantangan
lagi bagi Hasan, seperti bioskop, makan masakan cina, bergaul dengan wanita
yang bukan muhrimnya, mengikuti pertemuan yang memperdalam marxis, bahkan
menyangkal adanya Tuhan.
Perkawinan yang mereka lakukan ternyata tidak membuahkan
kebahagiaan. Kartini meneruskan kebiasaan hidup bebas, pergi tanpa suaminya.
Terjadilah pertengkaran, yaitu ketika Hasan menunggu kedatangan Kartiri. Saat
itu Kartini datang bersama-sama dengan Anwar. Memuncaklah kemarahan Hasan.
Kartini ditempelengnya dan terjadilah perpisahan. Dalam perjalanan hidup
selanjutnya, Hasan akhirnya insyaf kembali ke jalan yang benar, jalan agamanya.
Mendengar ayahnya sakit parah, Hasan mengunjungi ayahnya tetapi diusir oleh
ayahnya. Ayahnya meninggal. Sejak itu ia telah kehilangan segala-galanya, ayah,
istri, bahkan tujuan hidupnya.
Dan, dalam keadaan sakit-sakitan, Hasan seorang
jurnalis dan menyerahkan suatu tulisan berisi riwayat hidupnya kepda seorang
jurnalis. Sang jurnalis ini bersedia menerbitkan karya Hasan itu bilamana
terjadi sesuatu kepada Hasan.
Tak lama setelah itu, Hasan keluar rumah dan
tertembak oleh patroli Jepang. Dia akhirnya meninggal seusai mendapatkan
siksaan. Kata terakhir yang terucap dari mulutnya adalah "Allahu Akbar".
Disarikan
dari berbagai sumber.
Tentang Penulis Novel Atheis
Achdiat Karta Mihardja lahir di Cibatu, Garut, Jawa
Barat, 6 Maret 1911—meninggal di Canberra, Australia, 8 Juli 2010 pada
umur 99 tahun dan lebih dikenal dengan nama pena singkatnya Achdiat
K. Mihardja.
Ia berpendidikan AMS-A Solo dan juga Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia. Ia pernah bekerja sebagai guru di perguruan Taman Siswa, redaktur Balai Pustaka, Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1956-1961), dan sejak 1961 hingga pensiun dosen kesusastraan Indonesia pada Australian National University, Canberra, Australia.
Achdiat juga pernah menjadi redaktur Harian Bintang Timur dan Majalah Gelombang Zaman (Garut), Spektra, Pujangga Baru, Konfrontasi, dan Indonesia.
Ia berpendidikan AMS-A Solo dan juga Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia. Ia pernah bekerja sebagai guru di perguruan Taman Siswa, redaktur Balai Pustaka, Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1956-1961), dan sejak 1961 hingga pensiun dosen kesusastraan Indonesia pada Australian National University, Canberra, Australia.
Achdiat juga pernah menjadi redaktur Harian Bintang Timur dan Majalah Gelombang Zaman (Garut), Spektra, Pujangga Baru, Konfrontasi, dan Indonesia.
0 comments:
Post a Comment