Beratus-ratus
tahun yang lalu di Sungai Tanginin, di sebelah hilir Kampung Jabiren, tinggal
suatu keluarga besar yang mendiami kurang lebih lima buah rumah. Sesepuh mereka
adalah seorang nenek bernama Nenek Uwan.
Pada
suatu hari Nenek Uwan dengan dua orang cucunya memancing di simpang Sungai
Tanginin, dengan membwa penangguk dan bakul tempat ikan. Menjelang tengah hari
hujan turun disertai badai, kilat, dan halilintar. Ketiga orang itu tersambar
halilintar dan menjelma menjadi batu. Para
anak dan cucu yang di rumah cemas dan berusaha mencari mereka. Setelah sampai
di tepi simpang Sungai Tanginin mereka melihat batu yang menyerupai seorang
nenek dan dua anak kecil berpelukan. Mereka yakin bahwa batu itu adalah ketiga
orang yang mereka cari.
Karena
takut akan kemungkinan terjadinya musibah yang serupa, mereka berusaha mencari
tempat baru yang aman. Tempat baru yang mereka temukan adalah di dekat Sungai
Palabangan. Semua harta diangkuti ke tempat baru itu, setelah didirikan rumah
betang. Akan tetapi, tidak lama kemudian ada berita bahwa akan datang perampok
dari hulu Kahayan merampok harta mereka.
Mereka
pun meminta bantuan kepada makhluk halus. Kemudian turunlah makhluk halus
perempuan bernama Pampahilep yang bersedia membantu dengan syarat mereka
dilarang membuang gabah dan dedak di Palabangan dan diharapkan mereka memindahkan
tempat tinggal ke hulu Sungai Palabangan, agar kokok ayam dan suara babi mereka
tidak terdengar gerombolan perampok. Mereka menuruti apa yang dikatakan
Pampahilep.
Mereka
hidup tenteram di tempat baru yang disarankan Pampahilep. Mulai saat itu pula
sebagai tanda terima kasih kepada Pampahilep, mereka sering bernazar dan
berpesta di hulu Sungai Palabangan. Sampai sekarang di tempat itu masih
terdapat sebuah tanggul kayu besar yang disebut Tunggul Balu. Begitu pula dengan batu yang menyerupai seorang nenek
dan dua anak kecil di simpang Sungai Tanginin dan dinamakan Saka Batu.
0 comments:
Post a Comment