MAMAN
S. TAWIE. Lahir di desa Lokpaikat,
Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, 25 September 1957. Pendidikan STM
Hastemsin Banjarmasin, Selesai 1976. Mulai menulis puisi sejak 1974. Kemudian
menulis cerpen dan esei. Sejumlah karya sastra dipublikasikan di majalah surat
kabar lokal dan nasional: BanjarmasinPost,
Dinamika Berita, Media Masyarakat, Radar
Banjarmasin, Zaman, Terbit, Topik, Merdeka, Pehta, Eksponen, Suara Karya, Benta Buana, Kompas, dan Horison.
Kumpulan puisi yang sudah diterbitkan:
Jam(1980)Sajak-Sajak Dahaga (1981), Dinding
Kaca (1982), Kebun di Belakang Rumah
(1995), dan Nyanyian Dusun (2000).
Beberapa puisi juga terdapat dalam antologi bersama: Terminal Banjarmasin (1984), Tamu
Malam (Banjarmasin, 1992). Pemberontakyang Gagal (Bandung, 1998), Datang
Dari Masa Depan (Tasikmalaya, 2000), dan lain-lain.
Kegiatan sastra yang pernah diikuti:
Forum Penyair 8 Kota Se-Kalsel (1982) di Banjarmasin, Siklus 5 Penyair Kalsel
(1983) di Banjarmasin, Puisi Indonesia 87 (1987) di TIM Jakarta, Festival Puisi
Kalimantan (1992) di Banjarmasin, dan Diskusi Sastra BMKN 1995 di Balai Budaya
Jakarta. Desember I999 menerima Hadiah Seni dari Gubernur Kalsel.
Berikut tiga
contoh Puisi Maman S.
Tawie di Buku Kalimantan
dalam Puisi Indonesia.
Demikianlah,
Kemarau Itu Telah Susut ke Balik Pintu
kabut
Mare
Katingan
yang kehilangan senja
dan
bianglala
Samba
hampir tanpa cuaca
langit
pucat pasi
manakala
dermaga Danum sunyi
adakah
kau dengar
gema
hutan terbakar
gemuruhnya
di hulu hatiku
dan
surya pun layu
sebelum
embun Tewang pergi
ohoi,
kilat mandau di matamu
menoreh
dinding pagi
tapi
sempatkah kau tahu
lelatu
menghempas Ngaju
di
utara sana
geleparnya
adalah petaka
waktu
pun bilur
membiru
demikianlah,
kemarau itu
telah
susut ke balik pintu
dan
bayang-bayang hujan
pada
cendawan
menyeru
debu agar kernbali ke tanah
menyeru
jejakku agar kembali ke rumah
Malam
Terluka di Pesisir
saat matahari terbanting dan terkapar
di
baIik punggung senja
kudengar
risik kabar tentang malam yang terluka
sejarah
pun lantas menggeliat
mengorak
misteri sekeping bumi pesisir :
Kurau
yang kusam
disungkup
dendam
aku
pun tahu dari cerita lama, Mathilda
tentang
desing beribu peluru yang menyobek dingin malam
tentang
kabut mesiu yang menuba keheningan mencekam
lalu
pada puncak kesaksian
legam
udara bersepuh merah
mengental
dalam genangan darah
apa
yang bakal kau genggam lagi, Mathilda
sedang
setangkup permata dilanda angkara
apa
yang bakal kau kidungkan lagi, Mathilda
sedang
buah hati sayang terlepas dari rengkuhan
direnggut
muslihat perang
hanya
tinggal satu cara :
pegang
erat senjata
lalu
angkat
berondong
tumbal maksiat
sungguh
tak terduga pada mulanya
kalau
maut mempersingkat usia
malam
pun berkobar nyala, memberangus berpuluh jiwa
dan
rupanya perjalananmu telah sampai, Mathilda
ke
batas marcapada
lantaran
tangan-tangan durjana
musim
pun beringsut kian memperjauh jarak
kini
entah sudah berapa mataharilewat
bergenderang
semangat
Keterangan.
Kurau adalah
sebuah kecamatan paling selatan di Kabupaten Tanah Laut
Nyanyian Dusun
siapa
yang membebaskan langkah
dari
kesepian lembah
saat
fajar menempa cuaca
jadi
logam-logam cahaya
siapa
yang membekaskan penat
di
keberdiaman langkan dan teratak
saat
angin menayang keluh kesah
dari
gerimis yang luruh membasuh tanah
siapa
yang masih setia di sini
menunggu
ketipak ladam kuda
sedang
riak darah di hulu nadi
belum
mengombak di muara
0 comments:
Post a Comment