Memang sudah santer kawasan itu akan ditertibkan. Akan
tetapi warga yang terlanjur menghuni merasa tidak ada pilihan lain yang lebih
tepat, kecuali bertahan sampai tiba masanya datang penggusuran.
Namun selama bertahun-tahun kemudian penggusuran itu
belum juga dilaksanakan, sementara warga di situ akan bertambah. Selain
pertambahan karena kelahiran, setiap usai lebaran, natal, atau tahun baru, ada
saja warga yang membawa warga baru dari kampung yang ingin mengadu nasib di
Jakarta.
Mimpi Jakarta seperti dongeng rumah roti bagi sekumpulan
semut.
Kisahnya manis mengandung gula.
Namun Jakarta bukanlah gula-gula. Kadang mirip getah akar
brotowali, pahit di lidah.
Hal itulah yang dialami oleh ribuan penghuni di kawasan
yang akan ditertibkan itu. Kalau bukan menyanggupkan diri untuk kerja
serabutan, hidup benar-benar bersaing dengan kekalahan. Saat berangkat dari
desa tak ada yang bercita-cita menjadi pemulung, akan tetapi setelah tiba di
Jakarta, jadi apa pun mau asal bisa bebas dari kelaparan.
Tak ada yang enak jika perut keroncongan. Segalanya
menjadi pahit di bibir jika uang tak ada di saku. Pemulung adalah pekerjaan
paling sederhana, karena tidak membutuhkan biaya atau keahlian. Dengan modal
keranjang sampah yang bisa didapat di penumpukan sampah, yang dibutuhkan adalah
kenekatan untuk menjelajah kawasan tertentu yang mungkin menyimpan kertas,
beling, kawat besi, atau botol kosong. Meskipun persaingan cukup sengit di
lapangan, akan tetapi pemulung merupakan profesi yang tak jarang memberi tuan
di dalam hidup. Bagi yang mujur, bisa saja menemukan orang kaya yang
menyerahkan rumahnya untuk dibongkar yang jika dijual harga barang-barang
rongsokan bisa mencapai jutaan rupiah. Atau memulung merupakan batu loncatan
untuk menemukan pekerjaan yang lebih bergengsi, misalnya menjadi sopir, kenek
bus, atau pesuruh kantor, jika mujur bertemu dengan yang membutuhkan.
Jakarta selalu memberi kemungkinan tak terduga.
Namun nasib para penghuni di kawasan kumuh itu seperti
olahragawan amatiran yang berlari di tempat. Semuanya kelelahan dan bermandian
keringat, namun yang dinamakan nasib baik selalu menyisih. Di zaman masih ada
undian, penghuni kawasan itu hampir semuanya demam lot karena mimpi untuk
segera menjadi kaya menghinggapi semua kepala. Akan tetapi sampai kupon undian
ditarik karena jenis judi lotere ditiadakan, tak seorang pun yang mampu menjadi
konglomerat karena menang lotere. Satu dua orang pernah mendapat nomor buntut,
akan tetapi jumlah kemenangan jika ditotal menjadi lebih kecil dibandingkan
dana yang dikeluarkan untuk membeli kupon setiap hari. Utang pun jadi kian
bertumpuk!
Jika diperhatikan kehidupan warga di kawasan itu, sungguh
memelas. Pernah seorang peneliti ilmu-ilmu sosial mengatakan bahwa kehidupan
warga di situ seperti kahidupan buruh paksaan di zaman poonale sanctie. Namun
para warga, tampak sangat menikmati keadaan yang ada sehingga gelak tawa yang
berbaur dengan suara radio dan televisi yang disetel keras-keras menunjukkan
bahwa mereka tidak memiliki kekhawatiran. Masa depan dan masa kini menyatu di
dalam lagu-lagu dangdut yang merintih dari bilik-bilik kardus. Dari pagi hingga
jauh malam kawasan itu sangat ramai. Warung-warung makan tumbuh bagai kangkung
comberan. Kios-kios rokok serta barang ketengan hidup sampai subuh. Tangis bayi
dan suara pertengkaran saling bersaing sejak pagi. Anak-anak berkeliaran bagai
marmut dengan leleran ingus dan pakaian seadanya. Banyak dari mereka
berkeliaran tanpa baju atau celana dengan perut buncit kekurangan gizi.
Sulit membedakan antara kehidupan yang wajar dengan
selingkuh dan tipu daya. Semua saling mau mengembat dan semua bertahan diri
untuk tidak dimakan sesama kawan. Namun solidaritas jadi begitu tinggi jika
datang ancaman dari pihak luar. Bahkan isyu penggusuran dan penertiban yang
santer selama ini selalu menjadi bahan yang seakan mengenyangkan perut yang
keroncongan.
“Wong cilik selalu jadi korban,” Diman memandang
Ahan di kedai kopi Lik Marni. “Kita hanya numpang sebentar, kok, maunya digusur
saja.”
“Ya, ya. Mbok rakyat kecil
dikasih pekerjaan, kek,” Kiki menimpali. “Maunya gusur sana gusur sini. Orang
kaya dijadikan lebih merajalela.”
“Kita ‘kan menempati kawasan tanah negara. Kok nggerundel
digusur?” Kindur memandang pada Diman. “Syukur sudah dikasih waktu
bertahun-tahun tanpa harus membayar sewa.”
“Sewa gundul-mu,” Ahan memandang Kiki.
“Tak nyewa saja kita hampir mati kelaparan. Kadang memulung dikejar dikira
pencuri!”
“Kerja di kantor saja, kalau mau terhormat,” Hikmat ikut
bersuara dari ujung bangku kios rokok. “Bisa hidup enak. . . .”
“Kantor Mbah-mu?” Ahan bersuara agak tinggi. “Kau enak, istrimu jual jamu dan. . . .”
Ahan tidak meneruskan karena kata-kata yang akan ke luar
dari mulutnya akan membuat Hikmat blingsatan. Ia tak mau berkelahi lagi,
seperti dulu melawan Kasdu. Hasilnya tak ada, yang tinggal hanya rasa sakit di
seluruh badan.
Namun Hikmat memang malang. Sudahlah tidak mendapatkan
pekerjaan yang bisa menghasilkan cukup uang, istrinya menjadi pembicaraan umum
karena tukang selingkuh, dan setiap hari berkedok menjual jamu, sementara
kadang ditemukan mejeng di bahwa lampu remang-remang.
“Aku melihat sendiri, lho,” Toto berkata pada Tono. “Saat
pulang dari Bukit Duri. Dalam remang aku dapat mengenali Trimah, istri Hikmat.
Aku berusaha cepat-cepat menghindar,” Tono menjeling ke arah Hikmat. “Saat itu
Hikmat lagi tak pulang karena ikut borongan sebagai kenek bangunan di Bekasi.”
Percakapan dan gunjingan berbauran dengan ejekan,
sumpah-serapah, dan tangis kanak-kanak yang diributi oleh suara radio yang
melengking dengan lagu ratapan anak tiri. Lagu-lagu Melayu dan dangdut bersaing
dengan suara orkes kaleng yang ditabuh anak-anak telanjang dada. Segala bunyi
bersaing dengan ruapan bau busuk yang dibawa angin dari pembuangan sampah dan
bersenyawa dengan asap masakan di kedai-kedai tumbuh yang dijadikan lahan kaum
wanita.
Padat sekali kawasan itu.
Udara seakan terhembus dari satu hidung dan disedot oleh
hidung yang lain, membuat kesehatan warganya sangat memprihatinkan. Kadang kala
muntaber datang seperti hantu tanpa salam, kadang gondok atau cacingan
menggerogoti leher dan perut, dan tak jarang warga dihinggapi tularan TBC, dan
bahkan ada warga yang diketahui terinkubasi lepra.
Akan tetapi penyakit masih dapat diobati, namun yang
datang kemudian sangat mengenaskan. Di saat semua warga terlelap di subuh hari,
tiba-tiba saja kawasan itu dikepung oleh lidah api yang bagaikan lidah setan
melalap rumah-rumah kardus dan bangunan seadanya yang terbuat dari kayu dan
bahan-bahan murahan. Kawasan itu menyala bagaikan kebakaran hutan Kalimantan
yang diliput televisi. Para warga lintang pukang menyelamatkan apa saja yang
bisa dibawa, sementara lidah api menjulur makin memanjang oleh tiupan angin
dari arah laut.
Teriakan dan tangis yang naik ke langit tak menghalangi
api melalap semua kawasan. Hanya sekitar sejam kawasan itu jadi rata karena
habis dimangsa si jago merah. Tak ada yang tahu dari mana asal api, yang
dilihat oleh warga kawasan itu sudah hampir merata dinyalai api.
Musnah segala yang dapat dikumpulkan dengan susah payah.
Api sangat dibutuhkan sebagai teman kehidupan, seperti
air merupakan sumber kekuatan. Akan tetapi api dan air kadang menjadi seteru
manusia karena bila tak terkendali akan menghabiskan harta benda dan nyawa.
Pagi hari kawasan itu telah dipatok dengan tulisan
dilarang mendirikan bangunan.
Para warga yang terkena musibah dengan susah payah
mengumpulkan sisa-sisa lalapan api. Sebagian besar dari mereka merambah
kawasan di sebelahnya, sebuah bantaran kali kering yang memang telah
ditandai dengan papan larangan untuk mendirikan bangunan.
Namun ke manakah ribuan warga itu pergi? Selama
bertahun-tahun mereka menghuni kawasan yang telah terbakar itu dan setelah
terbakar tempat itu telah kembali menjadi milik negara! Hanya bantaran kali
kering itu merupakan lahan yang masih terbuka, dan para warga saling berebutan
mematok untuk mendirikan gubuk-gubuk darurat.
Musibah itu cukup mengenaskan. Namun kehidupan lebih
berharga untuk diperjuangkan, dan para warga merasa bersyukur sebab masih bisa
mendirikan tempat berteduh seadanya di bantaran kali kering itu. Namun bantuan
yang diulurkan para dermawan, belum seluruhnya sampai ke para penderita
musibah, kejadian lain datang seperti malakulmaut merayap di dalam kegelapan
malam. Hujan yang jatuh seperti ditumpahkan dari langit membuat kesengsaraan baru.
“Mengapa tidak waktu kebakaran hujan turun. . . ,” para wanita seperti
menyumpahi awan dan langit. “Setelah kita di sini baru hujan datang lagi!”
Namun hujan tak pernah mendengar sumpah-serapah. Malam
gulita itu terus diguyur hujan yang sangat lebat, dan ketika fajar pagi tiba
bantaran kali kering itu telah dipenuhi oleh arus yang deras. Semua gubuk
darurat yang dibangun serabutan hanyut dibawa arus dan banjir merata di daerah
itu.
Sejauh mata memandang dataran air merata hingga mencapai
tepi laut. Dan dua hari setelah banjir reda, kegemparan baru terjadi. Ditemukan
empat sosok manusia dalam dua sarung, semuanya tanpa nyawa. Saat diperiksa oleh
petugas, ternyata di dalam satu sarung ditemukan mayat Hikmat bersama istri
Tono dan mayat Ahan bersama dengan istri Hikmat. Keempat mayat itu ditemukan di
bawah timbunan kardus, tersuruk bersama gubuk yang hanyut, dan nyangsang di
kedung pasir basah.
Hampir semua warga terbelalak mata.
Api dan air memang sumber kehidupan, tetapi api dan air
juga sumber kematian. Adakah para peselingkuh sadar bahwa mereka akan tersuruk
ke dalam lumpur banjir dan kematian yang nista?
Beberapa orang ibu meludah ke tanah sambil menutup
hidung. Sejumlah anak bertelanjang dada terus bermain dengan lumpur dan
comberan. Di bawah gerimis beberapa lelaki saling memandang dan saling bertanya
di mana keempat jisim itu dikebumikan?
Arus kali kering tinggal menyisakan sedikit airnya,
mengalir pelahan sekali….Seperti tanpa kejadian!
Jakarta, 6 Maret 1996
(Untuk Drs.Juan Jenau)
(Untuk Drs.Juan Jenau)
0 comments:
Post a Comment