Baru pertama
kali pasangan muda itu bertengkar dengan sengit. Sejak menikah dua tahun yang
lalu, baru kali ini mereka berduel mulut dengan saling menyalahkan.
Persoalannya
memang tidak sederhana.
Setelah dua
tahun menikah, mereka baru mendapatkan rumah pilihan yang didapat dengan susah
payah. Bukan hanya selama dua tahun harus berhemat, akan tetapi mendapatkan
kawasan yang benar-benar memenuhi idaman cukup sulit.
Pertama-tama
kawasan yang dipilih harus bebas banjir. Selain itu harus memberi kemudahan ke
tempat kerja. Juga kawasan itu tidak terganggu oleh polusi asap pabrik atau
polusi dari asap kendaraan bermotor. Di dalam kawasan harus tersedia kemudahan
seperti pasar, rumah sakit, tempat ibadah, dan sekolah. Meskipun mereka belum
memperoleh anak, akan tetapi sekolah cukup penting, jika nanti si bayi sudah
datang, alangkah sulit jika tak ada sekolah yang dekat. Karena mereka berdua
sama-sama bekerja. Dan yang terakhir, semua ketersediaan kemudahan itu sesuai
pula dengan kemampuan kantong.
Pada suatu
pameran perumahan akhirnya pilihan itu ditemukan juga. Daerah yang dipilih
sama-sama memenuhi keinginan mereka berdua. Husni merasa itulah pilihan
terakhir, dan Husnah sepakat dengan saran suaminya.
“Tapi kita
harus melihat sendiri,” Husni memegang tangan istrinya. “Sebaiknya jika musim
hujan.”
“Memang
harus kita hunting lokasi,” Husnah mengiyakan apa yang dikatakan suaminya.
“Melihat
dengan mata kepala sendiri. Banyak developer sekarang menipu calon pembelinya.
Dikatakan bebas banjir, tahu-tahu malah lebih dalam dari banjir
Ciliwung.”
Pada suatu
hari Minggu, dan kebetulan hari sedang hujan mereka berdua berangkat melihat
lokasi. Rumah-rumah itu dibangun di suatu tanah datar yang sudah diratakan.
Menurut kondisinya tanah itu bukan tanah bekas lahan sawah, tetapi tanah matang
yang dahulunya berupa lahan kebun atau tegalan. Jalan-jalannya sudah bagus,
listrik, air tahan masih dangkal, dan suasana kawasan memberi kesegaran jika
dibandingkan dengan kesumpekan Jakarta. Apalagi di kawasan Tambora, hunian
mereka selama ini, tempat yang baru ini terasa sangat nyaman. Untuk
pergi-pulang kerja dapat ditempuh dengan kendaraan umum dengan beberapa
alternatif.
Di mana lagi
mencari kawasan perumahan yang begini nyaman? Dengan harga dan angsuran yang
terjangkau kocek?
Seharian
mereka melihat rumah yang dipilih. Meskipun kecil, akan tetapi kondisinya
nyaman. Husnah yakin inilah rumah tempat mereka menikmati cinta, dan Husni
merasakan inilah rumah untuk pulang. Saat masih lanjang sering ia tak ingin
pulang, apalagi kalau rumah masih kebanjiran, rasanya sulit sekali untuk
bergerak. Lebih baik nginap di rumah teman, dan kondisi itu berlanjut setelah
ia bekerja. Namun rumah yang dipilih ini tampaknya merupakan rumah yang tidak
akan mengecewakan. Ia akan pulang setiap hari, lagi pula tak mungkin ia
membiarkan Husnah sendirian, jika ia tidak pulang. Tak ada alasan apa pun ia
tak pulang, karena rumahnya merupakan pilihan sendiri.
Tak terlalu sulit
segala urusan dibereskan. Uang muka, akad kredit, perjanjian angsuran, dan
kunci rumah.
Sebuah
kehidupan baru berdenyut seperti nadi.
Husni
tersenyum kepada Husnah. Senyum itu membuat hati istrinya berbunga-bunga.
Barang-barang
pun diangsur dibawa sampai tibanya mereka berdua pindah.
Bau kayu dan
bau tanah bercampur dengan bau cat memberi suasana baru bagi pasangan muda yang
sedang dipenuhi perasaan senang. Bukankah rumah merupakan salah satu tanda
keberhasilan perjuangan? Selama dua tahun menumpang antara rumah ibu dan rumah
mertua, baik Husnah maupun Husni merasa seperti dipingpong. Semua yang
dikerjakan seperti tak pernah mapan, karena semuanya sementara.
Kelelahan
karena kerja seharian membuat keduanya segera saja jatuh dalam tidur yang
lelap. Suasana rumah yang baru dan lingkungan yang masih terasa asing membuat
keduanya merasa tak perlu cepat-cepat mengadakan silaturahmi kepada para
tetangga. Tampaknya memang belum banyak penghuni kawasan itu, dan sejumlah
rumah masih kosong. Hujan yang jatuh sejak siang membuat keduanya enggan ke
luar, dan tidur merupakan pekerjaan yang paling tepat dilakukan.
Belum sempat
memasang ranjang, kasur digelar saja di dalam kamar, berdua tergeletak mirip
manusia tanpa nyawa.
Begitu
nyenyak mereka tertidur. Hujan yang lebat merupakan pelengkap sempurna
kenyenyakkan. Hingga hampir subuh mereka sama-sama terbangun karena kaget oleh
sesuatu yang ingin menyeruak dengan hebat memasuki kamar.
“Air!”
Husnah terpekik.
“Banjir!”
Husni juga terpekik kaget.
Kasur mereka
ternyata telah mengapung di atas air yang masuk menderu dari pintu.
Semua barang
yang diletakan di bawah mengapung. Sebentar saja air sudah mencapai lutut.
Keduanya
berbarengan menengok ke luar, kawasan perumahan ternyata telah berubah bagaikan
danau raksasa. Jika saja ada gelombang dan tanpa dihalangi rumah-rumah, mungkin
permukaannya akan menyerupai Lautan Indonesia.
Itulah
asal-muasal pasangan muda itu untuk pertama kalinya berkelahi. Sama saling
menyalahkan, mengapa tidak mengerem dulu membayar uang muka, sampai tiba masa
banjir tiba.
“Tapi kita
sudah lihat bersama saat hari hujan,” Husni membenarkan keputusan bersama.
“Tapi
sebelum banjir di Jakarta,” Husnah memelototkan mata. “Percuma kita buangkan
uang berjuta, kalau masih saja tidur di atas banjir, seperti kita di Tambora!”
“Kita bisa
klim, dan minta uang kembali!” Husni mengajukan pendapat.
“Percuma
saja. Dalam klausul surat perjanjian ada dikatakan bahwa uang muka tak dapat
ditarik kembali jika akad kredit sudah ditandatangani. . . .”
Pertengkaran
makin seru dan keduanya bersikeras dengan pendapat sendiri-sendiri. Sampai
akhirnya Husnah berlari ke dalam hujan memintas banjir, dan pulang ke Jakarta.
Beberapa
lamanya Husni mematung di depan pintu menatap kepergian istrinya dan banjir
yang makin meluap. Rupanya di bagian timur perumahan itu mengalir sebatang
sungai yang cukup besar, dan dua cabangnya melingkari kawasan perumahan.
Tanggul di bagian hulu bobol oleh derasnya arus banjir, air semuanya melimpah
ke areal perumahan. Jadilah perumahan itu kawasan yang mirip sebuah danau
buatan! Kalau hanya hujan biasa-biasa saja memang kawasan itu tidak akan
banjir, sebab airnya segera mengalir ke dalam kali, akan tetapi jika kali itu
tidak lagi mampu menampung curahan hujan yang terlalu banyak, banjir yang hebat
akan terjadi. Tanggul penahan banjir itu ternyata tidak mampu menyandang
benturan arus banjir.
***
Hampir
seharian Husni memberesi barang-barang yang masih berserakan basah oleh air.
Hujan yang terus turun membuat cuaca terasa dingin dan hawa panas sama sekali
tak ada.
Setelah
lewat tengah hari Husnah tak juga kembali. Husni hanya bisa memasak supermi
dengan cara mengangkat kompor dan tabung gas ke bagian yang lebih tinggi, dan
makanan yang seadanya itu dilahap dengan rakus.
Hujan masih
terus juga tak mau berhenti sampai pukul tiga, Husni sudah kepayahan mebereskan
segalanya, juga memikirkan bagaimana keadaan Husnah. Apakah istrinya itu bisa
tiba dengan selamat di Jakarta, atau malah nyangsang di perjalanan karena
kecelakaan kendaraan atau tersangkut karena banjir. Pertengkaran sudah
dilupakannya, yang tersisa hanya rindu. Nanti saja dipikirkan bagaimana
mengurus barang-barang yang basah serta lapor kepada developer. Yang utama
bagaimana menemukan Husnah. Ia pun mengunci pintu, dan berjalan perlahan dalam
banjir yang telah mencapai pinggang. Ia harus berjalan sekitar satu kilometer
untuk mencapai jalan raya yang terbebas dari amukan banjir. Bersama beberapa
orang warga yang juga akan mengungsi, Husni berjalan sambil menjinjing
sepatunya. Celana panjangnya telah basah semuanya, tinggal baju yang ditariknya
di atas pinggang. Rasa dingin seperti menggigit, terutama karena guyuran hujan
yang makin deras. Payung yang melindungi kepala seperti mau robek oleh jatuhan
butiran hujan.
Saat ia tiba
di mulut jambatan yang memisahkan kawasan perumahan dengan jalan raya, beberapa
orang sudah berkerumun di kedua ujung jembatan itu. Tak ada orang yang berani
menyeberang karena jembatan itu telah kebanjiran, dan air sudah mencapai batas
hampir satu meter di atas permukaan jembatan. Air menderu-deru dan kadang kala
ada kampar kayu yang hanyut atau pohon-pohon yang tercabur oleh banjir karena
tanah di tebing sungai jadi longsor.
“Hati-hati
kalau nekat nyeberang,” seorang lelaki tua berkata pada Husni. “Arus deras
sekali.”
“Tapi aku
harus ke Jakarta,” Husni merasa sangat menyesal mengapa harus bertengkar
dengan istrinya. Ia ingin minta maaf pada Husnah atas kejadian subuh tadi agar
tak terulang lagi. Bukankah mereka berdua tidak ada yang bersalah, mereka hanya
korban dari pilihan yang salah. Pada saat itu juga Husnah merasa menyesal
mengapa ia keburu nafsu ngambek meninggalkan suaminya yang justru sedang capai
mengurus barang-barang yang basah. Mengapa ia jadi begitu tega meninggalkan
Husni sendiri? Ibunya pun menyesalkan mengapa Husnah pergi sendiri.
“Kamu harus
pulang segera,” ibunya berkata pada Husnah. “Bawa adik Husni. . . .”
Husnah pun
segera pergi ke rumah mertuanya. Jika ada adik Husni tentu dapat membantu
membereskan barang-barang yang kebasahan. Pada saat Husni sedang menyeberang
jembatan yang kebanjiran, saat itu juga Husnah sedang menyeberang jembatan yang
juga kebanjiran. Kali Blombongan yang deras dan sedang banjir, tampak mengamuk,
namun Husnah harus tiba di rumah mertuanya dan membawa iparnya ke rumah mereka
yang baru. Beberapa orang yang berada di ujung jembatan mengingatkan Husnah
agar hati-hati, dan seorang yang agak tua justru minta dibimbing Husnah.
Pada saat
orang-orang yang berada di jembatan yang diseberangi Husni berteriak karena
melihat Husni ditabrak kampar kayu yang hanyut dari hulu, saat itu pula para
pelintas Kali Blombongan di Tambora berteriak saat melihat Husnah dan seorang
wanita tua sedang berjuang di tengah arus sungai yang menggelombang deras.
Permukaan air yang hampir semeter di atas permukaan jembatan, membuat kedua
penyeberang itu doyong ke hilir dan beberapa detik kemudian tampak kibaran
rambut dan kain mereka hanyut bersama arus yang menderu. Hanya sekali warga
yang berjubel di ujung jembatan melihat kepala salah seorang menyembul, sesudah
itu tak tampak lagi. Pada saat yang sama para pengungsi berteriak karena Husni
terlibas kampar dan hanyut tak muncul-muncul lagi. Beberapa orang berusaha
melakukan pertolongan dengan mengejar ke arah hilir, tapi sia-sia. Arus begitu
deras dengan banjir yang makin dalam, sementara hujan terus mengucur dari
langit.
Hari hempir
gelap dan hujan menambah cepatnya malam tiba. Ibu Husnah berharap anaknya sudah
tiba di rumah mertuanya, sementara adik Husni sudah menyusul ke rumah kakaknya
ingin tahu apakah kawasan perumahan yang dipilih kakaknya bebas dari banjir.
Ibu Husni
menyumpahi banjir, seperti juga ibu Husnah. Ayah Husni sesaat menatap langit,
sementara dalam saat yang bersamaan ayah Husnah juga menatap langit.
Di kejauhan
hanya ada warna gelap. Dalam mata kedua lelaki yang sudah agak tua itu
hanya ada warna gelap. Udara basah dan curahan hujan makin lebat.
Orang-orang
di pinggiran jembatan Kali Blombongan dan jembatan perumahan baru masih juga
terpaku atas kejadian barusan. Mereka seperti disihir mimpi buruk.
Hujan makin
deras dan banjir di mana-mana. . . .
“Semoga
anakku selamat.” Ibu Husnah berkata sendiri seperti berkata kepada hujan.
“Semoga Husni dan Husnah tak kebanjiran,” ibu Husni berkata kepada banjir yang
menggenangi di dalam rumahnya. “Bosan aku hidup di dalam banjir begini. . . .”
Jakarta
banjir di mana-mana. . . .
Jakarta, 13
Februari 1996
(Pro Jamal
D. Rahman dan Dimas Arika Miharja)
Biodata Korrie Layun Rampan
Korrie Layun
Rampan lahir di Samarinda, Kalimantan Timur, 17 Agustus 1953—meninggal 19 November
2015. Selama kuliah di Jogjakarta –dalam bidang ekonomi keuangan, publisistik,
dan hukum sampai S2—bergabung dengan Persada
Studi Klub—sebuah klub sastra--yang diasuh penyair Umbu Landu Paranggi.
Di dalam grup ini telah lahir sejumlah sastrawan ternama seperti Emha Ainun
Nadjib, Linus Suryadi AG, Achmad Munif, Arwan Tuti Artha, Suyono Achmad Suhadi,
R.S. Rudhatan, Ragil Suwarna Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi
Santosa, Suminto A. Sayuti, Mustofa W. Hasyim, Naning Indratni, Sri Setya
Rahayu Suhardi, Slamet Riyadi, Slamet Kuntohaditomo, B. Priyono Sudiono,
Sutirman Eka Ardhana, Saiff Bakham, Agus Dermawan T., Yudhistira ANM Massardi,
Darwis Khudori, Jabrohim, Sujarwanto, Gunoto Saparie, Yoko S. Passandaran, dan
lain-lain.
Sejak 1978
bekerja di Jakarta sebagai wartawan dan editor buku untuk sejumlah penerbit. Pernah beberapa tahun menyiar di RRI dan TVRI Studio Pusat,
Jakarta, mengajar, dan terakhir menjabat Direktur Keuangan merangkap Redaktur
Pelaksana Majalah Sarinah, Jakarta. Sejak Maret 2001 menjadi Pemimpin
Umum/Pemimpin Redaksi Koran Sentawar Pos yang terbit di Barong Tongkok,
Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Di samping itu ia juga mengajar di
Universitas Sendawar di Melak, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Dalam Pemilu 2004
ia sempat duduk beberapa bulan sebagai anggota Panwaslu dan kemudian
mengundurkan diri karena mengikuti pencalegan. Dalam Pemilu Legislatif itu ia
dipercayai konstituen untuk duduk di
DPRD Kabupaten Kutai Barat periode 2004-2009, dan sempat menjabat Ketua Komisi
I.
Telah menulis
sekitar 300 judul buku sastra, meliputi novel, kumpulan cerita pendek, kumpulan
puisi, esai, dan kritik sastra. Novelnya Upacara
dan Api Awan Asap meraih hadiah
Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta, 1976 dan 1998. Beberapa
cerpen, esai, resensi buku, cerita film, dan karya jurnalistiknya mendapat hadiah dari berbagai sayembara.
Tahun 2004 ia mendapat anugerah Kaltim Post Award 2004 dan tahun 2006 ia
memperoleh Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia atas dedikasi,
kreativitas, prestasi, inovasi, kontinyuitas, dan kesetiaannya dalam bidang
sastra selama lebih dari tiga puluh tahun. Tanggal 10 Februari 2009 ia dianugerahi Hadiah Pelopor Sastra
Kalimantan Timur dari Pemerintah Kota Balikpapan. Tahun 2010 mendapat hadiah Citra
Darma Pustaloka dari Badan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta. Sampai
21 Januari 2012 ia telah menerima 16 hadiah secara nasional.
Ia juga menulis
sekitar 100 judul buku cerita anak-anak, di antaranya ada yang mendapat hadiah
Yayasan Buku Utama Depdikbud/Depdiknas yaitu Cuaca di Atas Gunung dan Lembah (1985) dan Manusia Langit (1997). Sejumlah bukunya dijadikan bacaan utama dan
referensi di tingkat SD, SLTP, SMU, dan perguruan tinggi. Ia juga menerjemahkan
sekitar 100 judul buku cerita anak-anak dan puluhan judul cerita pendek dari para cerpenis dunia
seperti Leo Tolstoy, Knut Hamsun, Anton Chekov, O’Henry, Luigi Pirandello, dan
lain-lain.
Sejumlah karyanya
telah dipilih untuk puluhan antologi karya sastra terkemuka seperti Laut Biru Langit Biru (ed. Ajip Rosidi, 1977), Antologi Cerpen dan Esai (ed. Pamusuk Eneste, 1983), Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia
(ed. Korrie Layun Rampan, 1985), Cerita
Pendek Indonesia 4 (ed. Satyagraha Hoerip, 1986), Tonggak 4 (ed. Linus Suryadi AG, 1987), Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (ed. Suratman Markasan, DBP Kuala
Lumpur, Malaysia, 1991), Antologi Puisi
Indonesia 1997 (ed. Slamet Sukirnanto, dkk., 1997), Jakarta dalam Puisi Mutakhir
(ed. Korrie Layun Rampan, dkk.,
2000), Sumber Terpilih Sejarah
Sastra Indonesia Abad XX (ed. E.U. Kratz, 2000), Dari Fansuri ke Handayani (ed. Taufiq Ismail, dkk., 2001), Horison Sastra Indonesia 2 Kitab Cerita Pendek
(ed. Taufiq Ismail, dkk. 2002), Pembisik
(ed. Ahmadun Yosi Herfanda, 2002), Dua
Kelamin bagi Midin (ed. Seno Gumira Ajidarma, Kompas, 2003), Bingkisan Petir (ed. Korrie Layun
Rampan, 2005), Tujuh (ed. Ita Dian
Novita, 2005), dan lain-lain.
Ia sering menjadi
juri dalam berbagai lomba penulisan, di antaranya tahun 1999 dan 2000 menjadi
ketua juri penulisan sinopsis dan resensi buku di Klub Perpustakaan Indonesia
(KPI) dan lomba penulisan buku bacaan Pusat Perbukuan, Depdiknas, Jakarta.
Di antara
kumpulan puisinya yang sudah diterbitkan adalah: Matahari Pingsan di Ubun-ubun, Cermin
Sang Waktu, Alibi, Mata, Sawan, Putih! Putih! Putih! (bersama Gunoto
Saparie—cetak ulang ke-2, 2008), Nyanyian
Kekasih, Nyanyian Ibadah, Undangan
Sahabat Rohani, dan Upacara Bulan.
Sejumlah puisinya disertakan dalam antologi puisi bersama: Bulaksumur Malioboro (ed. Halim HD, 1975), Tonggak IV (ed. Linus Suryadi AG), Dermaga II (1975), Bandarmasih (1975), Dari
Negeri Poci 2 (ed. F. Rahardi, 1994), Trotoar
(ed. Ayid Suyitno PS dkk., 1996), Antologi
Puisi Indonesia 1997 (ed. Slamet Sukirnanto dkk., 1997), Jakarta dalam Puisi Mutakhir (ed. Korrie
Layun Rampan, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Slamet Rahardjo Rais, 2000), Resonansi Indonesia (ed. Ahmadun Yosi
Herfanda, 2000), Nyanyian Integrasi
Bangsa (ed. Korrie Layun Rampan, 2000), Samarinda
Kota Tercinta (2007).
0 comments:
Post a Comment