Secara umum, novel karya Ahmad Tohari ini mengangkat
persoalan kepemimpinan di Desa Tanggir yang berada di kaki Bukit Cibalak tahun
1970-an. Hampir semua masyarakat di desa itu bersikap mengikuti saja segala keputusan
kepala desa meski salah sekalipun. Dan, hanya seorang pemuda berusia 24 tahun bernama
Pambudi yang berani melawan pemimpin desanya yang licik.
Dikisahkan, dalam waktu dekat (masa itu) masyarakat Desa
Tanggir akan melaksanakan pemilihan kepala desa yang baru. Ada lima orang calon
yang akan berlaga. Kelima calon kepala desa pun mulai mengadakan trik jitu masing-masing
untuk mendapatkan suara terbanyak dari masyarakat di sana. Ada yang
terang-terangan dalam bentuk pencitraan, atau sebaliknya dari pintu ke pintu.
Dari
kelimanya, hanya ada dua calon yang kuat, yakni pak Dirga dan pak Badi. Bisa dikatakan
dalam pemilihan kepala desa ini ada dua kandidat yang bersaing sengit. Lalu
siapakah pemenangnya yang berhak menduduki jabatan sebagai Kepala Desa Tanggir?
Pemilihan
dimulai. Satu persatu masyarakat yang cukup umur melaksanakan pemilihan. Setelah
dihitung, pak Dirga lah yang memenangkannya. Cerita kian menanjak. Sebab, pak
Dirga banyak melakukan kecurangan dalam pengelolaan kas desa. Pambudi yang
merupakan pengurus lumbung koperasi di desa itu sangat kecewa dengan hal
tersebut.
Ditambah
lagi, pak Dirga bekerja sama dengan tengkulak. Tentu saja hal ini mengakibatkan
sulitnya lumbung padi desa mendapatkan keuntungan. Puncak dari kekecewaan
Pambudi terhadap pak Dirga ialah saat kepala desa baru itu menolak seorang
warga yang hendak meminjam padi. Perempuan tua itu bernama mbok Ralem yang sangat memerlukan uang untuk mengobati kanker
ganasnya.
Setelah
mengundurkan diri dari koperasi desa, Pambudi berniat menolong mbok Ralem. Ia mendatangi
kantor Kalawarta di Yogyakarta. Tujuannya ke kantor surat kabat itu mengusulkan
kepada pemimpinnya agar dibuka dompet amal untuk pengobatan mbok Ralem. Pemimpin
Kalawarta tertarik dan menyetujui usul Pambudi. Di
posisi lain, pak Dirga semakin berang terhadap Pambudi karena dengan
dimasukkanya kondisi mbok Ralem di dalam koran, ia mendapatkan kemarahan dari
bupati yang mengagapnya lalai sebagai kepala desa. Maka, teror mulai
dilancarkan kepala desa yang licik ini kepada Pambudi. Bahkan pak Dirga menyerang
mantan pengurus koperasi desa itu dengan guna-guna. Karena kekejian itulah,
Pambudi tak tahan dan memutuskan meninggalkan desanya menuju Yogyakarta.
Di
kota gudeg itulah, Pambudi bertekad melanjutkan studinya, yakni kuliah. Untuk
menopang kehidupan dan dalam persiapan mengikuti ujian masuk peguruan tinggi,
ia bekerja sebagai pelayan toko milik nyonya Wibawa sekaligus sebagai pembantu
di rumah majikannya itu. Jadi tak heran bahwa Pambudi menjadi akrab dengan Mulyani
yang merupakan putri majikannya.
Mendekati
ujian masuk perguruan tinggi, Pambudi pulang kampung, tapi ternyata namanya
sudah tercoreng oleh fitnah dari pak Dirga. Ia difitnah menggelapkan uang sebesar
Rp125 ribu saat bekerja di koperasi desa.
Hari
berganti hari dan suatu ketika Pambudi mendapatkan tawaran bekerja di Harian
Kalawarta. Alasan surat kabar tersebut menawarkan pekerjaan itu tak lain karena
usulan Pambudi mengenai dompet amal waktu membatu mbok Ralem kala itu. Alhasil,
dengan diterimanya Pambudi bekerja di Kalawarta, ia harus berhenti bekerja
sebagai pelayan toko dan pembantu rumah tangga.
Pambudi
berkembang menjadi tangan kanan pak Barkah yang merupakan pemilik Kalawarta. Nah,
saat bekerja di surat kabar inilah
Pambudi membalas perbuatan pak Dirga dengan menulis kolom yang mengkritik Desa Tanggir.
Akhirnya, pak Dirga pun diberhentikan
sebagai kepala desa oleh pak camat.
Sedang
cerita asmara sebagai bumbu dalam novel ini, yakni antara Pambudi dan Sanis
dikisahkan tidak berjodoh. Sementara hubungan Pambudi dan Mulyani tetap
berlanjut, bahkan keduanya mengakui perasaan masing-masing dengan cara yang
romantis.
Biodata
singkat Ahmad Tohari
Ahmad Tohari merupakan sastrawan dan
budayawan Indonesia. Ia lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah pada 13 Juni 1948.
Saat ini berumur 70 tahun.
Dari karya-karyanya, Ronggeng
Dukuh Paruk merupakan karya monumentalnya.
Novel itu sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan diangkat dalam film layar
lebar berjudul Sang Penari. Dalam bidang akademis, ia pernah mengenyam bangku kuliah,
yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (antara
1967--1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto (antara
1974—1975), dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal
Soedirman(antara 1975—1976).
Selain karya sastra,tulisan-tulisannya yang berisi gagasan kebudayaan dimuat di berbagai media massa. Di samping itu, ia juga menjadi pembicara di berbagai diskusi/seminar kebudayaan.
Selain karya sastra,tulisan-tulisannya yang berisi gagasan kebudayaan dimuat di berbagai media massa. Di samping itu, ia juga menjadi pembicara di berbagai diskusi/seminar kebudayaan.
0 comments:
Post a Comment