Kesibukannya
sangat tampak dari geraknya. Bukan hanya di ruang kerja, tetapi juga di dalam
mobil. Belum lagi melepas pager dan ponsel,
suara telepon memberitakan suatu hal penting. Ia kurangi tekanan pada
pedal gas, ia kurangi kecepatan agar bisa mendengar apa yang diinginkan
penelepon. Tangan, kaki, pikirannya sibuk.
Waktu baginya
adalah kerja. Kerja berarti kesibukan. Kesibukan berarti uang. Uang berarti
persaingan. Persaingan berarti taktik. Taktik berarti cara memenangkan
persaingan. Apakah sehat atau tidak, tak jadi soal, yang penting usaha berjalan
lancar, dan keuntungan dapat diraup. Bukankah keuntungan adalah tujuang akhir?
“Rapat penting hari ini,” suara sekretarisnya setibanya di kantor.
“Sudah kausiapkan segala sesuatunya?” ia membuka catatan agenda. Ia dapatkan catatan bahwa hari ini akan dibahas masalah pemasaran. Bagaimana memanfaatkan peluang di tengah globalisasi. AFTA sudah berjalan hampir di seluruh negeri.
“Rapat penting hari ini,” suara sekretarisnya setibanya di kantor.
“Sudah kausiapkan segala sesuatunya?” ia membuka catatan agenda. Ia dapatkan catatan bahwa hari ini akan dibahas masalah pemasaran. Bagaimana memanfaatkan peluang di tengah globalisasi. AFTA sudah berjalan hampir di seluruh negeri.
“Semuanya
beres,” ia dengar sekretarisnya, Lince, seorang sekretaris profesional. Ia
menyukai gadis itu karena cekatan, intelegensinya tinggi, kerjanya rapi, dan ia
penuh disiplin. “Semua kepala bagian telah hadir.”
“Hampir ia
belum siap mengatur napas, pekerjaan menyeruak dengan cepat. Rasanya belum
pulih seluruh tenaganya dalam istirahat semalam, hari ini sudah dimulai dengan
kerja yang lebih berat lagi.
Kepala
bagian pemasaran mengajukan beberapa metode pemasaran untuk memenangkan pasar.
“Banyak produk sejenis yang harus ditandingi dengan cara pemasaran dan
penjualan yang tepat-guna,” Kabag pemasaran itu menyampaikan pendapatnya. “Asal
didukung oleh iklan dan promosi yang sama gencar!”
“Secara insting ia dapat menyetujui gagasan kepala pemasaran. Tetapi biayanya? Lama promosi dan pengiklanan? Berapa perbandingan antara keuntungan dengan eksploitasi?
“Secara insting ia dapat menyetujui gagasan kepala pemasaran. Tetapi biayanya? Lama promosi dan pengiklanan? Berapa perbandingan antara keuntungan dengan eksploitasi?
“Cara yang
terbaik adalah kita memblokir pusat-pusat pasar yang secara kalkulatif sangat
menguntungkan,” suara kepala pemasaran. “Setelah itu diblok lagi pusat-pusat
pasar yang secara teoretik menguntungkan. Tahap akhir baru pemerataan.”
“Caranya?”
ia bertanya.
“Telah
dipaparkan di makalah, Bu Siska. “Metode ini jauh efisien dari modal-modal yang
pernah dijalankan.”
Rapat itu
membawa inspirasi baru lagi Siska untuk mengembangkan pasar. Semangatnya dalam
pemajuan perusahaan sungguh luar biasa. Didikasinya tak pernah surut, dan daya
majunya membuat dirinya meraih keberhasilan yang sukar disamai oleh karyawan
lain yang sebaya dengannya. Tak heran jika ia melejit sampai ke puncak
eksekutif.
“Rapat dan
rapat, lalu pertemuan dengan rekanan bisnis, resepsi, jamuan di hotel
berbintang, dan hari-hari yang pendek makin terasa lebih pendek. Waktu seperti
bersaing dengan pekerjaan, membuat segalanya serba cepat.
Siska
menarik napas lega. Satu tahap dari pekerjaannya hari ini telah selesai.
Tinggal bagaimana pelaksanaan selanjutnya. Ia telah menandatangani semua yang
dibutuhkan, termasuk biaya yang diajukan.
Sejenak ia
melepaskan napas. Apakah ia maniak kerja? Hatinya selalu rusuh jika meninggalkan
pekerjaan, apalagi kalau pekerjaan itu setengah jadi, atau baru sedang dimulai.
Ia selalu ingin melihat hasilnya, dan ia selalu ingin semuanya berhasil. Karena
itu ia selalu berusaha untuk menyelesaikan semua pekerjaannya lebih cepat daripada
waktu yang ditentukan. Setelah itu ia selalu membuka kemungkinan lain untuk
pengembangan perusahaan. Tak heran kalau perusahaan yang dipegangnya telah
beranak-pinak.
Benarkah
ia maniak kerja?
Atau sama
saja dengan orang lain? Dengan para eksekutif lain yang lebih suka bekerja
lebih dari waktu seharusnya? Workaholic? Atau memang semua eksekutif demikian
sibuk? Karena semua eksekutif yang berhasil adalah orang-orang yang memang gila
kerja? Tetapi dirinya sendiri? Adakah lebih dari para eksekutif lainnya karena
ia tak sempat memikirkan diri sendiri? Atau ia memang tidak membutuhkan orang
lain? Seperti sopir? Sebagai eksekutif, ia mendapat fasilitas seperti sopir,
tetapi mengapa ia menolak sopir? Apakah ia membenci lelaki? Tetapi, bisa saja
ia menggunakan sopir wanita? Mengapa ia harus menyetir sendiri? Karena ia
memang suka menyetir? Karena ia gila kerja?
Sebenarnya
ia suka bersaing. Mengapa perusahaan yang dikelolanya cepat menanjak dan maju
pesat, karena ia memenangkan persaingan. Banyak perusahaan sejenis yang tumbang
karena kalah bersaing. Bahkan ada perusahaan raksasa yang hampir roboh kalau
tidak cepat-cepat mengadakan merger dengan perusahaan yang ia pimpin. Untuk
kiatnya mengelola bisnis yang aneka macam, ia selalu memompakan cara ampuh
dalam bersaing kepada karyawan dan managernya bahwa langkah pertama untuk
menenangkan pasar adalah menaklukkan selera konsumen. Setelah itu membuat
mereka kecanduan, dan kemudian menjadikan mereka maniak!
Bisnis itu
suatu keindahan!
Jika
keindahan itu dilakukan dengan jurus juru masak yang kesohor karena selalu
menghidangkan masakan yang lezat cita rasanya, orang lapar mana yang tak mau
makan, kalau doku tersedia di saku? Lalu mereka akan datang lagi dan lagi,
kalau lidah mereka selalu digoyang oleh kelezatan yang mahalezat?
Kiat jual
adalah menjadikan komoditas itu sebagai kebutuhan utama. “Seperti makanan,” ia
berkata kepada managernya. “Seperti pakaian. Seperti rumah. Siapa yang tak membutuhkannya?
Jadikan benda yang kita jual tingkat kebutuhannya seperti itu, meskipun bukan
makanan, bukan pakaian, dan bukan rumah.”
Bawahannya
makin kagum dengan ide-idenya yang cemerlang. Dan mereka merasa cocok bekerja
di bawah seorang yang kreaktif, karena mereka dapat belajar berbagai pengalaman
yang menakjubkan di bidang niaga. Bukankah, jika nanti mereka hengkang, mereka
sudah mendapat ilmu tanpa harus membayarnya lewat fakultas yang maham biayanya
di perguruan tinggi?
Sekretarisnya
memohon maaf, saat menyodorkan beberapa berkas yang harus ditandatanganinya,
saat Siska sedang tampak melamun.
“Ibu lagi
memikirkan apa?” sekretarisnya meletakkan berkas-berkas itu. “Apakah Ibu kurang
sehat?”
“Tak
apa-apa?” ia mengelak, meskipun sebenarnya ada pikiran yang begitu saja datang
menyeruak. Mengapa ia tiba-tiba teringat Handoyo?
Kapan
sebenarnya ia berpisah dari Handoyo? Ah, bukan berpisah, karena ia tidak pernah
bersahabat erat. Tetapi Handoyo yang pertama kali mengatakan ia cantik. Hampir
tak ia ingat waktunya, lama sekali sudah berlalu, mungkin semasa di SMP. Ya,
memang saat itu ia di SMP, saat Handoyo menyelipkan selembar surat di tasnya. “Fransiska cantik, Handoyo senang kamu.”
Ia senang
dikatakan cantik, juga hanya Handoyo yang menyebut namanya secara lengkap.
Hatinya berbunga, tapi ia lebih suka menaklukkan Handoyo dalam soal pelajaran.
Ia ingat, saat di SMA, sekali Handoyo menulis surat, menyatakan perasaan
hatinya. “Kamu cerdas,” tulis
Handoyo, “kamu ada bakat menjadi kaya.
Sayang kamu terlalu ambisius. Kamu bisa kehilangan cinta!”
Hampir ia
tersentak, di mana Handoyo saat ini? Suaranya yang terakhir ia terima saat
masih di fakultas. Tetapi semua surat Handoyo tak pernah ia balas. Benarkah
bahwa ia akan kehilangan cinta? Sudah berapa anak Handoyo? Istrinya tentunya
cantik. Apakah istri Handoyo juga wanita karier? Apakah ia hanya sebagai ibu
rumah tangga biasa? Siska ingat tiga surat Handoyo masih disimpannya di tas sekolah.
Segalanya yang berhubungan dengan kenang-kenangan masa silam semuanya disimpan
di tas sekolah itu. Mengapa kemarin tiba-tiba ia terpegang lagi tas itu dan
terbaca surat Handoyo?
Siska
menyiapkan semua pekerjaannya. Ia rapikan mejanya, ia ingin mengambil beberapa
jam untuk keperluan pribadi, untuk merenungi segala yang pernah dijalani.
Terlalu lama ia berjuang untuk ambisi dan kemajuan perusahaan, seakan tak ada
lagi waktu untuk privacy. Bahkan
tidak juga untuk cinta, rumah tangga, dan aktivitas sosial. Ia seluruhnya
terbenam di dalam rutin pekerjaan yang membelenggu di seluruh waktu.
Dahulu ia
membayangkan kebebasan dan kemerdekaan jika ia berkarier di luar rumah. Ia
merasa kasihan kepada para ibu rumah tangga yang hanya sibuk di rumah sepanjang
hari, terbelenggu oleh rutinitas. Tetapi setelah bertahun-tahun berkarier dan
menempuh sukses yang berkepanjangan, ia jadi seperti orang kehausan. Selalu
ingin memburu dan terus memburu keberhasilan yang datang bertubi-tubi. Tak
pernah ada rasa puas, karena keberhasilan itu selalu bersifat sementara, ada
keberhasilan lain yang belum dicapai, dan harus segera diraih. Setelah itu, ada
lagi sukses yang sudah ada di depan mata, dan membutuhkan stamina meraihnya.
Selalu begitu, dan selalu merasa dahaga untuk meraihnya.
Ia sudah
tiba di rumah.
Apa yang
kurang pada dirinya? Mobil mewah? Perabotan rumah tangga? Rumah saja nilainya
milyaran rupiah. Kemewahan? Apa yang kurang pada dirinya? Uang deposito? Apa
yang masih kurang jika hanya untuk diri pribadi? Biaya untuk keliling dunia?
Apa yang kurang? Segalanya telah tersedia dan itu karena kerja kerasnya! Segala
kemewahan dan kecukupan hidup telah ia raih, segala sukses dan pujian telah ia
terima. Itu semua karena kerja keras yang tak kepalang tanggung.
Ia menarik
napas dalam-dalam.
Mengapa ia
tiba-tiba teringat Handoyo? Berapa lamakah ia sudah berpisah dari Handoyo?
Seselesai universitas? Setelah Handoyo mengajaknya bersaing soal kerja dan
keberhasilan? Hanya Handoyo yang berani mengatakan bahwa ia wanita yang akan
berhasil tetapi selalu haus keberhasilan!?
Benarkah
kata-kata Handoyo?
***
Apakah
yang kurang pada dirinya? Berapa piagam sanjungan, pujian, dan anugerah telah
ia terima sebagai buah kesuksesannya. Harta, uang, pangkat, dan jabatan ia
miliki, tetapi di mana kepuasannya?
Tiba-tiba
ia merasa lelah.
Apa lagi
yang akan dikejarnya? Hampir sepanjang waktu hidupnya hanya diisi oleh kerja.
Tak ia ingat berapa jumlah usianya kalau Handoyo tidak nelepon mengucapkan selamat
ulang tahun.
“Ulang
tahun keenam puluh?” ia bergumam pada dirinya sendiri. Matanya seperti dituntun
tangan kebenaran terpandang pada kaca besar di depannya. Hampir pangling ia
pada wajah itu, ada gurat-gurat yang mengendur dan tampak tua. Tiga puluh lima
tahun lalu ia sudah berpisah dari Handoyo. Saat usianya dua puluh lima. Ia
merasa makin lelah. Siapa suaminya? Hatinya panas dengan ucapan selamat ulang
tahun dari Handoyo. Bukankah perusahaan Handoyo yang bersaing keras ingin
mencaplok perusahaannya? Apakah ucapan selamat itu merupakan tantangan baru?
Segala tantangan seperti itu yang membuat ia lupa akan cintanya sendiri. Lupa
memeluk lelaki ke dadanya, hingga dada itu mengendur. Siapa lelaki yang akan
tertarik kepada wanita usia enam puluh tahun? Hanya lelaki pengeretan?
Lagi-lagi
ia merasa lelah. Adakah tantangan Handoyo kali ini harus dihadapi dan
dimenangkan? Sebagai perjuangan terakhir? Hadiah ulang tahun keenam puluh? Atau
Handoyo justru mau melamarnya karena lelaki itu juga belum mendapatkan jodoh?
Siska jadi
senyum sendiri. Apa enaknya jadi pengantin dalam usia enam puluh tahun?
Tidakkah hanya menampilkan suatu kelucuan? Suatu anekdot dua konglomerat?
Di cermin
tiba-tiba ia melihat wajahnya seperti wajah tiga puluh lima tahun yang lalu
saat berpisah dari Handoyo. Bagaimana wajah Handoyo? Masih seperti wajah di
usia dua puluh tahun?
***
Koran pagi
esok harinya ramai memuat tulisan besar-besar sebagai: headline tentang meninggal secara mendadak dua konglomerat yang
saling bersaing: Maria Fransiska Puteranto dan Bambang Handoyo karena sakit
jantung. “Menurut sumber yang layak dipercaya,” tulis sebuah koran yang suka
sensasi, “kedua konglomerat yang
sama-sama lajang itu sudah sepakat untuk menikah secara resmi, meskipun mereka
sudah lama hidup bersama. Namun di luar keduanya saling bersaing. Oleh kolusi
terakhir, keduanya terjerat utang yang mungkin menjadi kredit macet sekitar
empat sampai lima trilyun.
Sementara
koran dibaca sekian juta mata, dan percakapan dan gosip dari mulut ke mulut tentang
konglomerat yang meninggal itu, jenazah kedua konglomerat itu dengan segala
tata cara dan kebesaran upacara dimasukkan ke dalam liang lahat masing-masing,
di suatu tempat yang dipisahkan jarak ratusan kilometer. Selebihnya sesudah
itu, siapa yang tahu dengan pasti derita atau bahagia macam apa yang dialami di
alam kubur?
Jakarta, 5 Desember
1994
(Cerita buat Endang
dan Budi)
0 comments:
Post a Comment