Robohnya Surau Kami adalah sebuah cerpen karya Ali Akbar Navis. Dengan
cerpen ini ia berkisah tentang seorang kakek penjaga surau yang sangat taat
beribadah. Suatu hari kakek itu mendegarkan kisah dari seseorang (Ajo Sidi) mengenai
Haji Saleh yang masuk neraka. Padahal Haji Saleh sangat taat beribadah di
masjid sama seperti dirinya (baca:kakek).
Dikisahkan
Ajo Sidi kepadanya bahwa segala ibadah telah dilakukan Haji Saleh dengan
kekhusyukan. Setelah dirinya diputuskan masuk neraka, ia pun protes. Dan, Allah
swt pun berkata kepadanya, "kamu tinggal di tanah Indonesia yang mahakaya
raya,tapi, engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniyaya semua.
Aku beri kau negeri yang kaya raya, tetapi kau malas. Kau lebih suka beribadah
saja, karena beribadah tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang."
Setelah
mendengarkan cerita itu, kakek menahan marah karena tersindir. Jiwanya tertekan
sekali. Akhirnya, kakek mengakhiri hidupnya dengan bubuh diri. Sungguh sangat
tragis.
Mau
membaca seluruh isi cerpen ini? Di bawah ini cerpen lengkapnya. Selamat menikmati.
ROBOHNYA SURAU KAMI
Kalau
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis,
Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan
sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang
kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan
temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir
melalui empat buah pancuran mandi.
Dan
di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di
sana dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah
bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
Kakek.
Sebagai
penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang
dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari
hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang
mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia
lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan
pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah
minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan
pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang
minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling
sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi
kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah
surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat
bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan
kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika
Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu
kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat
berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti
pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang
tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi. Dan biang keladi dari
kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya.
Beginilah kisahnya.
Sekali
hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena
aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia
duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke
depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu
yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau
cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek
begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu.
Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek,
“Pisau
siapa, Kek?”
“Ajo
Sidi.”
“Ajo
Sidi?”
Kakek
tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak
ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo
Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari.
Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya.
Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelakupelaku yang
diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo
akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak
pelakupelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor
katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin
berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami
sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba
aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi
telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek?
Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. “Apa ceritanya, Kek?”
“Siapa?”
“Ajo
Sidi.”
“Kurang
ajar dia,” Kakek menjawab.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan
pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya.”
“Kakek
marah?”
“Marah?
Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah
lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku
rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal
kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan
mengasihi orang yang sabar dan tawakal.”
Ingin
tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya
lagi Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”
Tapi
Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah
berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku,
bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa
yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua
pekerjaanku?”
Tapi
aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka
mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
“Sedari
muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga
seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari
kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah
Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor
enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka.
Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau
selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku
yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku
bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari
tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku
puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima
karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut.Masya Allah kataku bila aku
kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Ketika
Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu,
Kek?”
“Ia
tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”
Dan
aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku
mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku
menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
“Pada
suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa
orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di
tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang
yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang
yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh
itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke
dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada
dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk
neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang
masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat
ketemu nanti’. Bagai tak habishabisnya orang yang berantri begitu panjangnya.
Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala
sifat-Nya.
Akhirnya
sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan
mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku
Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku
tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya,
Tuhanku.’
‘apa
kerjamu di dunia?’
‘Aku
menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap
hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya,
Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu,
menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu
menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu
untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji
Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan.
Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang
belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya.
Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan
kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji
Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh
hawa panas neraka itu.
‘Lain
lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah
hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan
Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat
merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat
lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi
Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O,
o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah
kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun
bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh
tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya,
itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk
kamu.’
Dan
malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak
mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki
Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah
tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan
keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang
ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai
empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati
mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji
Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana
Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat
beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita.
Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya,
kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak
kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini
sungguh tidak adil.’
‘Memang
tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau
begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita
harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar.
Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau
Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di
dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita
protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa
kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi
pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu
tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok
sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’
sebuah suara menyela.
‘Setuju.
Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu
mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan
Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji
Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara
yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang
Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat
beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu
menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran- Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan
lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami.Tak sesat sedikitpun kami
membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau
panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal
yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami
menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang
Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian
di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami
ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O,
di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya,
benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya
yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang
lainnya, bukan?’
‘Benar.
Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak.
Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah
mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di
negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar.
Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di
negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya.
Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri
yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya,
Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan
hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar,
Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di
negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang
hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar,
Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting
bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau
rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar.
Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena
keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun
anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka
hafal di luar kepala.’
‘Tapi
seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada,
Tuhanku.’
‘Kalau
ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua.
Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka.
Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling
memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka
beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting
tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau
kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk
neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di
keraknya!”
Semua
menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa
jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah
yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani
bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada
malaikat yang menggiring mereka itu.
malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah
menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak.
Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan
kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu
kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis.
Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah
cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek. Dan
besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak
pergi menjenguk.
“Siapa
yang meninggal?” tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya.
Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan
sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga!
Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang.
Aku
cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku
tanya dia.
“Ia
sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak
ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah.
Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan
sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang
kemana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?”
tanyaku mengulangi hampa.
“Ya,
dia pergi kerja.”
Biodata
Singkat Pengarang
Haji Ali Akbar Navis merupakan salah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka Indonesia. Ia lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Lahir di Kampung
Jawa, Padangpanjang, Sumatera Barat pada 17 November 1924 dan meninggal
di Padang, Sumatera Barat, 22 Maret 2003 pada
umur 78 tahun.
Secara jujur aa menjadikan menulis sebagai alat dalam
kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami.
Kritik-kritik sosialnya begitu lancar mengalir secara apa adanya dalam rangka membangunkan
kesadaran setiap pribadi dengan tujuan agar hidup lebih bermakna.
Perkataannya yang paling terkenal ialah yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia sangat gelisah
melihat negeri ini yang digerogoti para koruptor. Dalam suatu kesempatan ia mengatakan bahwa kendati
menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan, tetapi jika dikasih memilih, ia
akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu
risikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh
para koruptor itu.
Dari
sumber-sumber terpercaya.
0 comments:
Post a Comment