Tidak
sedikit orang beranggapan sastrawan itu manusia yang istimewa. Tidak sekadar
mahir berkata-kata indah, tetapi juga memiliki kematangan jiwa, baik dari sisi
intelektual, emosional, spiritual, sosial, maupun sisi-sisi lainnya dalam hidup
dan kehidupan. Singkat kata, sastrawan dianggap sebagai manusia arif dan
bijaksana. Itulah sebabnya, tak jarang pula orang yang dikenal masyarakat
sebagai sastrawan, enggan disebut sastrawan karena merasa belum pantas
menyandang sebutan istimewa itu.
Mungkin
anggapan seperti itu tidak seratus persen salah. Dan tidak pula seratus persen
benar. Yang jelas, sastrawan itu manusia biasa. Bukan diciptakan dari api,
bukan pula dari cahaya, apalagi setaraf dengan nabi. Tidak!
Seperti
manusia umumnya, sastrawan punya
akal, punya hati. Hidup berdampingan dengan manusia-manusia lainnya. Bisa di
sebuah desa, atau bisa di kota dalam sebuah negara. Dalam kaitannya dengan yang
terakhir tadi, tak
bisa dipungkiri bahwa sastrawan
merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri yang memiliki identitas sebagai
warga negara tertentu. Sebut saja Indonesia, Malaysia, atau negara lainnya.
Sudah barang
tentu, sastrawan masuk dalam perkara “pemimpin dan rakyat”. Ya,
kalau ia bukan pemimpin, ya rakyat. Artinya, sastrawan hidup di wilayah yang di dalamnya ada orang
yang memimpin dan orang-orang yang dipimpin (kebanyakan sastrawan ada di area ini).
Lalu, apakah
sastrawan hanya sekadar dipimpin atau memimpin (lingkup politik) dalam sebuah negara? Tentu tidak.
Semua yang hidup
pastilah bergerak. Terutama
manusia. Ada perenungan terhadap dunia sekitar, termasuk juga dalam hal
kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dengan
permasalahan di masyarakat, khususnya kesejahteraan. Jika ia penyair, hasil kontemplasi batinnya bisa diwujudkan dalam bentuk puisi. Begitu
pula dengan sastrawan yang menggeluti genre-genre lainnya. Pemikiran mereka (baca: para
sastrawan) misalnya, beragam. Ada yang berisi kritik terhadap pemerintah, ada
pula yang sebaliknya. Karena, kembali kepada hal dasar bahwa pemikiran manusia tidak
semuanya sama.
Nah, berikut
adalah contoh puisi-puisi bertema politik karya Radhar Panca Dahana yang
termuat dalam buku sekumpulan puisi politiknya
berjudul Manusia Istana.
SEJILID KOMIK KRITIK-POLITIK
tapi ia
sudah jadi sinema
di
bioskop dan dividi rumah tangga
hiburan
murah tampaknya mewah
negeri
indah di tumpukan sampah.
di
paripurna perlemen, kursi kabinet
meja
hakim, seragam polisi, tongkat
jenderal
hingga pemimpin pilihan
publik,
katanya.
cerita-retorika
dimainkan
kebijakan
diputuskan
perdebatan
digulirkan
ramai
benar rumah negara kita
seolah
benar negeri ini ditata
tapi di
ujung telepon
atau
sudut ruang pemerintahan
tekanan
tawar-menawar dan ancaman
mendahului
semua cerita
melampaui
segala prakira
hanya
beberapa kepala berbunyi kapita
pakaian
necis, rambut kelimis
membuat
semua yang merasa kuasa
tak
berdaya: jadi kelinci lucu
atau
bidak-bidak yang berlagak lagu
membuat
politik menjelma kronik
jadi
gosip berpilin kritik.
tata
negara kini tata
kapita
ekonomi
mesin: rakyat diperalat
konstitusi
tinggal katakata mati
bukan
lagi singgasana berkuasa
gergasi
modal tak kasat mata
intelijen
jadi darahnya
triliuner
lokal makelarnya
dan komik
pun terus cerita
pahlawan
palsu genit bergaya
media
massa memamahnya
kita
mengunyahnya.
dan
kemiskinan jadi jambannya
kebodohan
hasil residunya
bencana
di ampas masa depannya.
di kursi
penonton
sinema
itu tetap memesona
wanita
cantik hero yang tampan
negeri
kini tinggal hiburan
direproduksi
untuk bisnis sampingan.
betapa
lucu gaya pimpinan
pahlawan
lugu tidur kemalaman
rakyat
senang menjadi korban.
komik
ini, komik politik
entertainment
tak ada habisnya
kesenangan
di sisa jiwa.
DEMONKRASI PAGI INI
belum lewat jam enam pagi.
2.100 kaki memadati garasi
seri E, alphard, camry, dan satu pintu
lamborghini, sejak subuh pergi
berganti spanduk dan slogan,
megafon, kamera dividi, dan
sarapan pagi, lengkap:
nasi padang, telor, sambal,
ayam panggang, dan tusuk gigi.
“saudarasaudara,
mari kita mulai
dengan
santiaji!”
keserakahan
dan korupsi
jadi urat
nadi di negeri ini
kita
adalah darahnya saudarasaudara!
keparat
dan bajingan asing
komprador
yang melulu bising
mengisi
kantor dan rekening
lalu
kita, jadi nasabahnya, saudara!
jadi,
janganlah bimbang
mari
berjuang dan menang!
lawan
perusak negara, lawan
ayo,
bariskan ambisi
kuras
habis negeri ini.
merdeka!
merdeka!
merdeka
kekayaan kita.
lewat sedikit jam tujuh pagi
2.100 bersalin 10.000 sepatu
memacu nafsu, mengepal tinju
hari ini
parlemen, istana, mahkamah,
kejaksaan,
dan ka-pe-u kita serbu!
turunkan
penguasa dan penipu
benalu
kesejahteraan
juga
kerakusan kita.
hahaha …
tak perlu ragu, saudaraku
semua ada
ganjarannya
semua
aman kantongnya
semua
ikut saja denganku
elitelit
yang demonkratis
demondemon
yang bau amis
lipat
10.000 jadi 10 juta
jarah 10
juta jadi semiliar harta
selamatkan
semua,
lengkap
dengan subsidi, be-el-te,
hibah,
pinjaman, valuta, saham,
dan
kapital segala modal.
kabarkan
pada semua
turun ke
jalan naik singgasana
di bank
terdekat kita bersua
berbagi
rizki dan sedikit kuasa
tanpa
tanya tanpa mengapa.
demonkrasi
.. hidup demonkrasi
dengarlah
aku bersumpah
kita akan
jadi sejarah
membela
tanah tumpah darah
demi
bangsa tegak dan gagah
demi
harta kita melimpah
bersekutu
sedikit dengan penjajah
sekadar
taktik, tak apalah
yang
penting, kita tak pernah kalah
hahaha …
tak pernah kalah.
demonkrasi
…
hidup
demonkrasi!
KAMPANYE HARI KE-5
“wahai
durga kala
hujani
kami dengan ludahmu
pengapkan
hidung dengan dusta
dan biar
mereka, seratus juta telinga
mendengar:
dunia milik mereka!
bangsa
jadi nasibnya
kuasa
adalah tuhannya
uang
untuknya menyerah
utang
seraplah dalam darah”
“rakyatku,
kalian
bukan batu terinjak
bukan
tanah tandus terbajak
bangkit
rakyatku,
lawan
pemimpin tipu,
pengempit
hartamu,
penjajah
palsu dan agama hantu,
sebab
semua itu, rakyatku
semua itu
… milikku!”
“hahaha …
milikku!”
“demi
pendiri bangsa ini,
aku
bersaksi, kitalah bukti
kedaulatan
sampai mati, hati
mengecoh
nurani, dan ekonomi
= harga
diri.
maka,
lihat aku … lihat aku!!!
masa
dalam mimpimu, pilihan
tanpa
sangsi, penguasa segala
kroni,
penyambung lidah korporasi
setia
berjanji: makmurlah negeri
kokohlah
jati diri, sejati dalam janji
untuk
sendiri menanggung upeti
pada
pemimpin abadi:
tuan
modal bijak bestari.”
“hahaha
…”
“pilihlah
aku, tak salah lagi.”
Demikianlah contoh puisi-puisi Radhar Panca Dahana. Siapakah ia? Lahir di Jakarta, 26 Maret 1965. Ia seorang alumnus EHESS Paris, Prancis. Selain
sebagai pengajar sosiologi di Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, ia juga dikenal sebagai
sastrawan dan budawan terkemuka Indonesia. Adapun kumpulan puisinya adalah, Simfoni Duapuluh (1985), Lalu Waktu (1994), Lalu Batu (2003), Lalu Aku (2011)
dan Manusia Istana (2015). Buku prosa Masa Depan Kesunyian(1996), Ganjar
& Si Leungli (1997), Cerita-cerita dari Negeri Asap (2005).
Di samping itu, ia
juga menulis buku esai-esai seni, humaniora, buku teater, dan komik. Buku teaternya Republik Reptil (2010), Teater
dalam Tiga Dunia (2012),Pekcang dan Marita (2014) dan buku komiknya Mat Jagung (2009).
0 comments:
Post a Comment