Tak dapat kusembunyikan bahwa aku mencintai wanita itu.
Bukan hanya karena ia cantik dan kemudian menderita di bawah tekanan suaminya,
akan tetapi hatiku mengatakan bahwa aku mencintainya karena cinta itu sendiri.
Karena itu aku harus mengamankan hati dan diriku, aku harus mencari pondokan
yang baru. Terlibat cinta dengan istri induk semang kurasa bukanlah hal yang
terpuji. Bukan hanya induk semang, terlibat cinta dengan wanita yang masih
berumah tangga bukanlah perbuatan yang dapat dibanggakan.
Meskipun masih tersisa waktu tiga bulan lagi, akan tetapi
aku pamit juga. Tak kutahan mendengar percekcokan suami istri itu, kadangkala
melewati batas, dan buahnya adalah derita si istri dalam tangis atau teriakan
minta tolong. Kadang kala keduanya sama meninggalkan bekas lebam-biru karena
saling pukul-memukul dengan kayu.
Sedih jika aku mendengar teriakan atau tangisan si istri.
Rasaku ingin kurangkul ia ke dada, kulindungi dari lelaki jahat yang
menyakitinya, akan tetapi tak mungkin kulakukan hal itu karena ia memang istri
lelaki itu. Lebih-lebih jika anak gadis mereka ikut menangis, rasanya ingin aku
menjadi pahlawan untuk kedua wanita itu. Yang satu ingin kulindung karena aku
mencintainya, yang lain ingin kulindung karena ketidakmampuannya melindungi
diri sendiri. Dalam usianya yang baru tiga tahun, ia sama sekali tidak memahami
apa yang dipersengketakan orang tuanya.
Aku pamit dengan berat hati. Terlebih jika memikirkan
bagaimana nasib wanita itu di bawah kekejaman lelaki yang menjadi suaminya. Si
istri yang seperti gadis baru mekar dengan suami yang cukup berumur itukah
sumber sengketa? Saat kusalami untuk pamit, kurasakan genggaman wanita itu
seperti suatu isyarat bahwa ia meminta perlindunganku, karena ia lebih menerima
bahasa cintaku yang tak pernah kuucapkan.
Aku terbebas dari masalah orang lain. Di tempat kosku
yang baru aku lebih bisa konsentrasi, karena tidak lagi diganggu oleh kegaduhan
orang bertengkar dengan segala sumpah serapah. Tak terasa aku telah berkejaran
dengan waktu, dan sepuluh tahun aku tidak melihat dengan mata kepalaku sendiri
wanita yang kucintai secara diam-diam. Selama setahun aku mondok di rumahnya,
selama itu aku memendam perasaan hati, alangkah berbahagianya jika di suatu
ketika ia mungkin kujadikannya istri.
Akan tetapi ia istri lelaki lain. Tak ada keberanianku
untuk merebutnya dari suaminya, apalagi kalau mengingat bahwa aku saat itu
hanya mahasiswa yang miskin, sementara ia merupakan istri lelaki yang cukup
beruang. Dari kamar rumah sewaan saja suaminya dapat memetik jutaan rupiah.
Sementara aku? Untuk membayar sewa kos saja harus meminta kiriman. Apa yang
bisa kubanggakan?
Namun mata wanita itu adalah mata yang mengundang belas
kasihan. Kurasa deritanya seperti kurasakan denyut nadiku. Genggamannya melepas
aku pergi seperti ucapan agar aku balik kembali di suatu ketika. Menjemputnya
dan membebaskannya dari belenggu seorang lelaki yang jahat.
Adakah ia memang tidak mencintai lelaki itu?
Ia kawin paksa?
Karena harta?
Bergidik bulu romaku jika membayangkan bahwa wanita itu
mau saja terus berada di bawah kekejaman karena harta?! Tetapi hatiku
mengatakan lain. Matanya yang sering kutatap jika aku berpapasan saat pergi
atau pulang kuliah, menandakan bahwa ia benar-benar menderita. Ia bukanlah tipe
wanita yang mengagungkan harta.
Lalu mengapa ia tetap bertahan di rumah itu?
Dan mempunyai anak?
Sepuluh tahun yang lalu rasanya seperti sepulas mimpi.
Ya, segalanya seperti mimpi.
Wanita itu tiba-tiba berada di depanku untuk tujuan
wawancara penerimaan karyawan.
***
“Retno Setyawati,” kudengan suaraku sendiri. Ia merupakan
peserta terakhir. Saat mata kami saling bertemu, ketika ia melangkah
melewati ambang pintu, kulihat ia
tertegun sesaat. Sepuluh tahun yang lalu wajah itu hampir tidak berubah, hanya
garis-garis kedewasaan tampak menegas pada sorot matanya.
Aku persilakan ia duduk. Sepuluh tahun yang lalu tak
pernah aku duduk berhadap-hadapan dengan wanita itu, meskipun ingin sekali aku
memegang tangannya, mengelus jemarinya yang mulus, atau membujuk saat ia
tersedu di balik pintu, karena ia istri lelaki yang memiliki kamar sewaan
tempat aku mondok.
“Pak Bambang Stiajit?” kudengar suaranya ke luar dari
bibir yang bagus berwarna merah karena sehat.
“Ya,” suaraku seperti bersipongang di dalam gua. “Yang
sepuluh tahun lalu indekos di tempat Ibu. Sudah enam tahun aku berada di kantor
ini.”
Wawancara berjalan lancar, akan tetapi lebih banyak
melenceng pada hal-hal yang bersifat pribadi.
Wanita itu mengisahkan pengalaman hidupnya, perkawinan,
pekerjaan, dan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya.
Dahulu ingin sekali aku memiliki saat seperti ini untuk
dapat bercakap-cakap dengannya, akan tetapi aku harus menahan diri. Namun kini
wanita di depanku ini justru membawa kehadirannya tanpa kuminta. Adakah memang
takdir yang menentukan bahwa aku harus bertemu lagi dengan Retno Setyawati?
Memangkah segala yang terjadi di dalam hidup ini telah diatur oleh kekuasaan
yang tak kelihatan?
“Setelah Bapak pergi, aku merasa seperti sebatang kara di
dunia ini,” suara itu menyimpan kegetiran yang perih. “Akhirnya satu per satu
anak-anak kos di situ pergi juga. Setelah lulus SMA aku juga pergi!”
“Bercerai?”
“Tak kutahan hidup di bawah kekejaman dan luka trauma. .
. .”
“Waktu itu sebenarnya Anda nyambi sekolah?”
“Aku terpaksa melahirkan saat akan ujian SMP. Setahun
kemudian aku ikut ujian ekstrane, dan masuk SMA.”
Tak kutahu jika wanita itu berjuang dengan mendidik
dirinya sendiri kalau dilihat bahwa kehidupan keluarganya sangat mapan. Apa
lagi yang dicari?
“Selepas SMA aku minta talak tiga dan aku menjadi TKW.”
“TKW?”
“Ngeri kedengarannya. Akan tetapi aku menjalaninya dengan
pertolongan Allah. Tiga tahun lamanya aku mengumpulkan uang, dan aku kembali ke
Indonesia. Aku masuk universitas. Baru sebulan lalu aku diwisuda.”
Hampir mulutku ternganga. Betapa Retno Setyawati berjuang
untuk dirinya sendiri. Tetapi mengapa ia bercerai? Karena selalu bertengkar
dengan suaminya? Karena selalu disakiti? Mengapa pula ia menikah saat masih di
SMP?
Kulihat tanggal lahir pada ijazahnya, baru dua puluh
delapan tahun. Masih muda. Baru delapan belas saat aku mondok di rumahnya, dan
saat itu ia sedang merampungkan SMA? Karena niat sekolahnya itukah ia selalu
bertengkar dengan suaminya?
Tak kutanyakan mengapa ia melamar di kantor tempatku
bekerja sebab yang ingin kuketahui adalah mengapa ia menikah dan kemudian
bercerai. Di mana anaknya? Mengapa tadi ia mengatakan luka trauma?
“Di mana mantan suamimu?”
“Di rumahnya. . . .”
“Anakmu?”
“Bersama kakaknya.”
“Kakak? Jadi Anda sudah punya anak sebelum itu?”
“Belum.”
“Belum? Lalu kakak anakmu itu siapa?”
***
Retno Setyawati menceriterakan latar belakang hidup
pribadinya bahwa ia sebenarnya diambil orang tua mantan suaminya dari panti
asuhan.
“Sampai kelas dua SMP aku rasanya bahagia,” bibir itu
mulai dengan pengakuan. “Sampai segalanya terjadi.”
“Kau diperkosa calon suamimu?”
“Bukan!”
“Lalu?”
“Ia sebenarnya tumbal. Ia biseks!”
“Tumbal biseks?
Jadi kalian sering bertengkar karena ia biseks? Karena mantan suamimu
itu suka nyeleweng?”
“Salah satunya memang itu. Selebihnya karena trauma.”
Sulit aku menduga apa yang dimaksud Retno Setyawati.
“Trauma? Maksudmu apa?”
“Saat aku hamil ayah ibu mantan suamiku itu meninggal
dalam kecelakaan pesawat udara.”
“Apa hubungannya dengan trauma?”
“Aku sebelumnya dinikahkan dengan mantan suamiku itu.”
“Kau dipaksa?”
“Lebih daripada itu!”
Retno menceriterakan bahwa akhirnya ia harus menerima
perkawinan itu karena terpaksa. Satu-satunya lelaki yang bisa menutup aib
hanyalah mantan suaminya itu.
“Mengapa?” aku makin penasaran.
“Bapak tadi menanyakan anakku.”
“Ya. Kakak anakku itu mantan suamiku.”
“Mantan suamimu? Aku tak mengerti,” aku makin penasaran.
“Aku menderita trauma karena aku diperkosa ayah mantan
suamiku itu. Itulah sebabnya hanya mantan suamiku itu yang mampu menutup aib
keluarga. Bagaimana mungkin aku hidup dengan luka hati semacam itu? Aku
melahirkan anak dari ayah suamiku sendiri!”
“Jadi mantan suamimu itu kakak anakmu?”
“Ya. . . .”
***
Ruwet sekali kisah hidup Retno Setyawati. Akan tetapi
saat wawancara kuakhiri, aku sudah tahu bahwa aku harus menyelamatkan Retno.
Sepuluh tahun yang lalu aku yakin aku mencintainya, dan kini kurasa aku tetap
mencintainya. Nanti akan kukatakan bahwa ia tidak lulus sebagai karyawan akan tetapi
ia lulus tes sebagai istri!
Di mobil aku bersiul kepada kemacetan Jakarta sambil
mencari alamat Retno Setyawati. Umurku baru dua puluh sembilan, dan Retno dua
puluh delapan. Masih berapa tahun lagi ia mampu melahirkan bukan karena trauma
tetapi karena cinta.
Aku terus bersiul kepada kehidupan. . . .
Jakarta, 30 Januari
1996
(Kado untuk D di
Perumnas III Bekasi)
0 comments:
Post a Comment