Bara
api baru saja padam. Beberapa saat tadi bara itu bagaikan pijaran sebuah tanur
peleburan baja. Merah menyala!
Asap
dari sisa kebakaran itu masih membubung ke angkasa. Kesibukan di sekitar area
yang barusan saja dilibas api tampak masih menjadi-jadi. Ada yang mengais, ada
yang berteriak, dan memanggil-manggil, ada yang tersedu bertangisan seperti
kesetanan. Tampak sejumlah petugas keamanan—yang berjaga-jaga—dan beberapa regu
dari dinas pemadam kebakaran sedang menyelesaikan tugas akhir mematikan bara
api.
Pada
saat itu ada dua bayangan yang melesat di udara, bagaikan meteor. Tak seorang
pun yang melihat, akan tetapi kedua nyawa yang berwujud roh itu sedang
melayang-layang bagaikan sepasang burung dara yang lasak bermain di angkasa.
“Katamu
kita akan menjadi TKI. Kok kita bukannya berangkat bersama kawan-kawan?” yang
seorang menowel kuping kawan di sebelahnya. “Kau jangan menjebak aku, Toiri. .
. .”
“Menjebak
bagaimana? Siapa yang bilang kita berdua bukan pergi sebagai TKI?” kawan yang
ditanya balik menowel kuping temannya. “Bahkan kita akan lebih dari siapa pun
juga!”
“Tapi
kita ini seperti terbang melayang? Belum pernah aku merasa berjalan seperti
ini. Kita bukannya ke sawah selayaknya bekerja. Tidak juga seperti kita
berangkat ke Jakarta.”
“Berarti
kita telah mengalami sesuatu yang hebat. Suatu kemenangan.”
“Hebat
dan menang macam apa? Menang dalam pertandingan apa?”
“Kita
menemukan pembebasan!”
“Pembebasan?
Dari apa?”
“Dari
kekalahan hingga kita menjadi TKI.”
“Kau
jangan ngawur, Toiri. Kau ‘kan tak pernah menyentuh alkohol. Apalagi rugi
uangmu untuk membeli ecstasy. Tapi
mabukmu kenapa bisa di tengah jaga?”
Kedua
orang terus melayang.
“Tak
ada aku mabuk. Bahkan aku sedang kasihan pada Sri.”
Kawan
Toiri juga ingat istrinya Ratmini. Baru tiga bulan lalu dinikahi. “Aku juga
ingat istriku, Toiri. ‘Demi untuk mengubah nasib,’ aku membujuk agar diberikan
izin menjadi TKI. Kau mendingan, sudah menikah lebih setahun lalu.”
“Sama
saja, Jo. Tiga bulan atau setahun menikah, tak beda. Suami-istri mana yang mau
berjauhan? Kalau bukan karena miskin, mana aku mau membuang diri menjadi TKI?”
Dengan
bergandengan tangan kedua karib itu melayang dalam udara terbuka. Seakan mereka
sedang bermain dengan elang atau pesawat terbang. Mega-mega yang berarak
dilalui begitu saja. Mereka rasakan tubuh tiba-tiba menjadi ringan, mirip kapas
yang ditiupkan angin siang.
“Tapi
hatimu lebih berpuasi, Toiri. Sedang aku? Ratmini saja menitikkan air mata saat
aku melangkah pergi.”
“Kau
kira Sri tidak begitu? Aku pun semedut di
dada.”
“Aku
lebih lagi,” Marjo menandang kepada Toiri. “Mini ingin jika keberangkatan kita
tertunda sehari dua.”
“Inginku
juga begitu, Jo. Tapi pihak pengirim tenaga kerja memaksa. Jika kita tak mau
berangkat tepat waktu, tenaga lain yang akan menggantikan. Rasanya kesempatan
langka tak mungkin tak kita rebutkan.”
Mereka
terus mengawang dalam awan gemawan. Jauh di bawah Jakarta terhampar rumah.
Bersaing antara gedung-gedung tinggi dan kawasan kumuh. Bersaing pula dengan
asap pabrik dan asap kendaraan di jalan raya. Kota bersaing dengan keriuhannya
sendiri.
“Hidup
memang kian keras dan kejam,” Marjo seperti menyesalkan. “Kalau tak sigap
berebutan, akan kelindas sendiri!”
“Seperti
kita ini,” Toiri menyahuti. “Selepas SMA kita tak bisa kuliah karena tak ada
biaya. Padi sawahku tahun tadi habis apes karena pupuk tak tersedia. Jalan
satu-satunya menjadi TKI dengan beban sawah digadaikan.”
Marjo
ingat mereka berdua memang berteman akrab sejak SD. Sama tak bisa melanjutkan
kuliah karena miskin. Ia sempat bekerja di kota tetapi tak lama terkena PHK
karena kantor tempatnya bekerja bangkrut disebabkan usaha yang dijalankan tak
mampu bersaing dengan produk sejenis yang harganya jauh lebih murah. Ia
berusaha beralih menjadi kuli di pasar, tetapi tak lama pula pasar itu terbakar.
Ia sempat luntang-lantung, sebelum menjadi pedagang burung di kampung.
Akan
tetapi burung menjadi langka karena pestisida.
Karena
selalu rugi, ia pun melepaskan semua burungnya di Pasar Pagi, dan saat itulah
ia bertemu dengan Ratmini. Sungguh tak terkira, dalam kepapaan itu bisa jatuh
cinta. Tiga bulan yang lalu ia menikahi Ratmini di depan penghulu.
“Terima
kasihku padamu, Toiri. Sawahmu membantu aku untuk perjalanan kita ini. Tanpamu
aku mungkin akan terus keleleran.”
“Kuharap
kita mujur, Jo. Kontrak setahun bisa kita perpanjang jika memang menguntungkan.
Kau sudah punya pengalaman di kota. Aku ingin jualan bakso atau mie ayam di
Jakarta dari uang kita dapatkan dari kontrak setahun. Setelah mengganti uang
gadaian sawah, mungkin usaha jualan itu dapat mengubah nasib kita.”
“Aku
juga harap begitu,” Marjo memandang kepada temannya. “Tapi mengapa kita
berangkat sendiri? Aku belum pernah terbang, tapi kita rasanya seperti terbang
makin tinggi?”
Toiri
juga sebenarnya merasa aneh. Tapi ia ingat koran yang dibacanya tentang sukses
seorang penjual bakso asal Wonogiri. Belum begitu lama lelaki jebolan SD itu
menggeluti usaha bakso, ia sudah sukses menjadi konglomerat. Mungkin belum
konglomerat sebenarnya menurut ukuran kota, tetapi menurut ukuran desa? Betapa
kaya dan jayanya lelaki yang mulanya hanya bermodalkan kenekatan?
Ingin
Toiri mengikuti jejak lelaki Wonogiri. Tak usahlah jadi konglomerat, akan
tetapi ingin ia istrinya merasakan sedikit nyaman sebagai keluarga yang
berpunya. Tidak lagi menderita karena beban utang dan gadaian sawah.
“Mungkin
inilah kemujuran pertama,” Toiri agak kaget karena rasanya tubuhnya menjadi
ringan. “Orang jujur dikasihani Allah.”
“Tapi
kita tidak naik bendi, Toiri. Juga tak naik kereta api. Rasanya seperti
melayang di dalam kecepatan kapal terbang.”
“Kapal
terbang? Kau pernah naik kapal terbang?”
“Belum.”
“Aku
juga belum, Jo. TKI inilah pertama aku mencoba.”
“Tapi
kita ini melayang, Toiri. Kau merasakan?”
“Aku
merasakan. Tapi apa kita masih mabuk perjalanan?”
“Mabuk
apa? Aku sehat-sehat saja setiba di Jakarta. Toiri sendiri tak ada keluhan sama
sekali!”
Mereka
terus melayang.
Sementara
Marjo memikirkan Ratmini, Toiri juga memikirkan istrinya. Marjo bercita-cita
gaji pertamanya untuk membeli kalung, gelang, dan cincin Ratmini, Toiri akan
mengirimkan uangnya untuk biaya ternak ayam pedaging. Marjo akan menulis pada
Ratmini, “Logam mulia itu dapar diuangkan
jika terdesak, Mini,” sementara Toiri akan menulis pada Sri istrinya, “Sampai aku datang, kau bisa enam tujuh kali
menjual ayam peliharaanmu. Setelah selesai gadaian sawah, kita jualan
bakso di Jakarta. . . .”
Kedua
sahabat itu sama saling tersenyum.
Alangkah
bahagianya jika hidup berkecukupan. Tak
lagi memikirkan makan apa esok pagi? Adakah masih nasi? Atau gaplek? Tiwul?
Jagung atau bulgur? Rasanya belum mampu untuk menyeleweng menjadi maling bajing
loncat? Apa lagi membobol bank. Ikut menggarong dan menjadi pemerkosa?!
Toiri
jadi merasa aneh karena mereka makin jauh dari Jakarta. Tadi telah enam gerbang
dilewati, kini di depan mereka gerbang ketujuh.
“Apa
aku pusing, Jo? Rasanya kita tadi melewati enam gerbang. Panorama apa yang
kaulihat di masing-masing gerbang?”
“Aku
juga melihat, Toiri. Tak bisa kukatakan, terlalu aneh rasanya. Apa kita sudah
berada di luar dunia?”
“Di
luar dunia? Kita ‘kan pergi ke luar negeri sebagai TKI.”
“Tapi
pemandangan tadi? Mengerikan sekali! Apa kengerian itu berarti luar negeri?”
“Kaumaksudkan
di tiap tingkat gerbang itu?”
“Ya.
Manusia seperti disiksa?”
“Aku
juga ingin tahu, Jo. Tapi jalan kita terlalu cepat. Tak bisa kurem. Kau tak
bantu?”
“Aku
juga begitu, Toiri. Jika becak bisa kurem. Jika bendi bisa kukekang kudanya.
Tapi jalan kita?”
Kedua
sahabat itu makin merasa aneh. Ada apa pada gerbang ketujuh? Akankah dilewati
lagi? Atau di situ mereka akan istirahat? Mengapa tadi tak bisa barang sejenak
pun berhenti?
Saat
kedua sahabat itu melewati gerbang ketujuh, mereka jadi terpesona. Keindahan
kawasan di depan alangkah indahnya. Belum pernah mereka melihat panorama yang
begitu indah. Jalannya mampu tempat mereka mengaca diri.
“Jadi
ini negeri yang dituju TKI?” Marjo masih menggenggam jemari Toiri. “Sejuta
tahun pun aku betah di sini.”
Kedua
sahabat itu segera disongsong oleh orang-orang yang sangat sopan. “Kami
menyambut Anda berdua,” suara itu begitu merdu, lebih merdu dari bunyi musik
yang ke luar dari pita rekaman. “Sejak tadi Anda berdua ditunggu,” suara itu
sopan sekali.
Mata
kedua sahabat itu merasa silau. Pakaian para penyambut itu semuanya putih,
tanpa noda. Tiba-tiba kedua sobat itu merasa tubuh mereka seperti terbakar.
Gosong! Dari sosok yang hangus hitam legam itu tiba-tiba muncul sosok baru yang
putih seperti salju.
“Kok
kita berubah?” kedua sobat itu sama saling terpana.
Di
arah depan menggema kasidah dan marhaban. . . .Lagu-lagu pujian.
***
Kegemparan
di Teluk Gong menjalar ke seluruh penjuru. Api telah menghanguskan sejumlah
bangunan dan membakar segala isinya, termasuk dua lelaki yang sedang menanti
pemberangkatan di asrama TKI. Saat para petugas menemukan dua sosok mayat yang
hangus terbakar, pagi itu di rumah Ratmini dan di rumah istri Toiri di Desa
Jatitri terjadi hal yang ganjil.
“Aku
tadi malam bermimpi bulan jatuh menimpa gigiku hingga tanggal satu,” Ratmini
berkata kepada ibunya, sembari menahan rasa mual yang menyerang tenggorokannya
karena perutnya melilit-lilit. Saat itu istri Toiri juga mengisahkan hal yang
sama kepada mertuanya. Ia tak tahan untuk tidak muntah, seperti juga Ratmini.
Ibu
Ratmini dan ibu Toiri segera tahu apa yang akan terjadi.
“Kau
hamil,” kedua wanita itu menatap wajah wanita muda di depan masing-masing.
“Tapi.
. . ,” suara itu tertahan membayangkan kejadian lain yang mungkin datang karena
takhyul mimpi ketanggalan gigi.
. . .
“Hamil?
Tapi apa. . . ?” kedua wanita muda itu berkata berbarengan. “Akan ada
kecelakaan? Bencana?”
Toiri
dan Marjo masih terpesona oleh panorama yang gilang-gemilang. . . .
“Ini
surga apa negeri TKI?” Marjo berbisik di telinga Toiri. “Sayang istri kita tak
dibawa serta?”
Toiri
tak menjawab. Ia masih seperti mabuk oleh pesona indah panorama dan bunyi musik
yang belum pernah didengarnya selama ini.
Merduuuu.
. . sekali!
Jakarta, 31 Maret 1996
(Kenangan
persahabatan untuk Mas drg.Ircham Mahfoedz)
0 comments:
Post a Comment