SEMENTARA itu
pelayan telah menyalakan obornya kembali,
tepat pada ketika makhluk itu menghempaskan Sersan ke lantai. Maka tampaklah tubuh makhluk berbulu,
bertubuh tinggi besar dan
hitam. Makhluk itu mengaum sambil berseru:
“Hai Sersan Harjo,
keluarlah dari kamar ini!”
Perlahan Sersan
bangkit lalu menjawab:
“Binatang macam
apa kau ini?”
“Aku bukan
binatang!” Aum makhluk itu sekeras-kerasnya.
“Aku hantu yang mendiami
kamar ini, tahu!”
“Nah, makhluk
biadab, engkaulah yang harus meninggalkan kamar ini. Mungkin
ini memang kamarmu, tetapi aku tidak peduli,
sekarang kamar ini milikku. Sekarang pergilah dari kamar ini dan jangan mendidihkan darahku!”
Hantu itu berpikir,
bahwa kata-kata itu adalah kata-kata yang
paling sombong yang pernah ia dengar. Tentu saja ia mengaum sekeras-kerasnya.
Tetapi kemudian ia sedikit panik, ketika dilihatnya
kedua manusia itu tenang saja. Malah setiap kali ia membuka mulutnya yang lebar itu, selalu Sersan
mengamat-amatinya dengan asyik. Sersan berpendapat, bahwa mulut yang luar biasa lebarnya itu sangat menarik. Hantu itu
mengaum lebih dahsyat lagi, hingga hal
itu menjengkelkan hati Sersan. Segera Sersan
memungut obor menyala dari tangan pelayan dan menyorongkannya ke muka makhluk
itu. Tiba-tiba makhluk itu lekas-lekas
berpaling dan berlari pontang-panting melalui jendela. Hal api obor itu sangat
dahsyat baginya. Ia merasa seolah-olah api neraka telah menyerbunya. Dan setiap
hantu takut pada neraka setengah mati.
Kemudian Sersan
dan pelayan menutupi jendela-jendela kamar, lalu berbaring di tempat tidur (Di
kamar itu ada dua buah tempat tidur kayu berukir
yang sudah tua). Karena lelah, mereka lekas
tertidur.
Tapi antara berapa
lama kemudian pelayan terbangun. Ia mendengar
langkah-langkah sepatu yang berat di luar, hilir-mudik di luar kamar itu. Ia
mengira ada orang bersepatu laras berjalan di luar
itu. Segera ia mengintip dari lubang kunci pintu. Maka dilihatnya seorang serdadu kompeni Belanda kuno berjalan hilir-mudik. Kemudian ia membuka pintu,
keluar, dan
menegur:
“Hallo…”
Serdadu Kompeni
Belanda itu tiba-tiba berpaling kepadanya, lalu menyeringai. Giginya
putih-putih dan hidungnya rusak. Pelayan
itu membentak:
“Anjing kulit
putih, jelek benar tampang kowe!”
Badan serdadu itu
bergetar sebentar, lalu lenyap. Hilang begitu
saja. Pelayan mengangkat bahu, lalu kembali ke tempat tidurnya, setelah mengunci pintu kembali sambil
menggerutu:
“Bodoh benar! Awak
sudah ngantuk, diajak main sulapan.”
Baru saja ia
membaringkan dirinya, dilihatnya di lantai muncul anak bayi, yang anehnya sudah
dapat berjalan dan berlari-lari. Sulapan lagi, pikir pelayan itu.
Bayi itu
bermain-main berlari-larian, sambil terkikik-kikik tertawa-tawa. Pelayan suka menontonnya. Tapi lama-lama
ia mengantuk lalu tertidur.
Malam itu Sersan
terjaga sebentar, karena merasa tempat tidurnya
digoyang-goyangkan orang. Tetapi ia sangat ngantuk. Jadi ia segan melayani kekuranganajaran itu. Ia tak
mempedulikan lagi hal-hal semacam itu. Dan kalau ia sudah tak mempedulikan
sesuatu, benar-benar ia tak mempedulikan, meskipun ada terasa sepasang tangan gaib yang memijiti seluruh
tubuhnya.
Akhirnya datanglah
pagi hari. Hantu-hantu sudah kehilangan kekuatannya, lalu kembalilah mereka meniduri
sarang labah-labah, pojok-pojok suram, celah-celah
tembok, dsb. Sersan dan pelayannya
mencuci muka (mereka jarang-jarang mandi), lalu pergi ke kota, akan menghadap walikota.
Di sepanjang jalan
mereka dielu-elukan orang banyak yang kagum
karena mereka masih hidup. Tetapi Sersan tak mempedulikan orang banyak selain
gadis-gadis. Setiba kedua orang itu di balai kota,
perkataan Sersan yang pertama-tama keluar ialah:
“Selamat pagi tuan-tuan! Dari rumah kami belum makan pagi.” Maka Walikota menjamunya makan pagi. Dan dalam
mereka makan itu Walikota berkata:
“Kami sangat
mengagumi tuan-tuan. Kami tahu, bahwa tuan-tuan betul-betul telah tinggal dalam
Loji Kelabu itu semalam suntuk. Detektif kami
telah menyaksikannya dari jauh, maksud saya,
mereka mengamat-amati sedemikian rupa hingga apabila tuan-tuan menyalahi janji, mereka akan tahu.”
“Terima kasih!”
kata Sersan, “Lebih-lebih untuk makan pagi yang lezat ini.” Lalu ia terus makan dengan lahap.
Caranya makan sangat rakus dan
memalukan sekali.
“Nah,” kata Walikota,
“Boleh memiliki Loji Kelabu dan menerima hadiah uang. Tinggal soalnya apakah
tuan akan bisa terus mendiami rumah itu.”
“Mengapa tidak!”
Kata Sersan sambil tertawa keras-keras dan
membuka mulutnya lebar-lebar, hingga pelayan merasa dibikin malu.
Sehabis makan
Sersan harus menghadapi wartawan-wartawan dulu “Nyamuk pers jahanam,” katanya,
“Saya tak akan ngomong banyak!” Lalu ia ngomong selama dua jam terus-menerus. Baru akhirnya pulang ke Loji Kelabu.
Ketika hari
menjelang malam, berhimpunlah segera hantu dan mambang peri di Loji Kelabu, bermusyawarah di dekat
sumur tua, di bawah pimpinan rajanya, yaitu penjelmaan arwah Arab. Tubuhnya berkulit hijau, dahinya berlubang,
matanya seperti mata kucing, kulit mukanya
berkerut-kerut dan senantiasa mengeluarkan keringat hitam yang kental seperti
getah. Hantu-hantu yang berhimpun itu bermacam-macam
rupanya, tetapi tak ada yang tidak mendirikan bulu
roma. Mereka yang telah mengalami gangguan
kedua manusia itu berganti-ganti mengadukan halnya kepada sang raja. Hantu
arwah orang Belanda mengatakan, bahwa ia tak bisa lagi makan angin di beranda muka loji itu, sebab ia selalu akan kawatir kepada
kedua orang
itu, karena ia yakin, bahwa
mereka pasti diutus oleh Sultan Aceh, yang
ditugaskan selalu mengejar orang Belanda dengan siasat gerilya mereka yang seram itu. Hantu-hantu yang lain
rata-rata
mengatakan, bahwa adanya kedua
manusia itu di loji itu sangat menyengsarakan
hantu-hantu. Manusia selamanya menjadikan udara
bertambah panas dan mata mereka sangat menyilaukan. Hantu berbulu yang seperti gorilla, memberi penegasan,
bahwa kata teman-temannya itu benar belaka, dan ia
lalu menceritakan tentang obor neraka
kemarin.
Raja Jin Hijau itu
insyaf, bahwa keadaan sangat genting sekali, sebab itu ia berkata dengan agak
berapi-api hingga ludah bersemburan dari
mulutnya:
“Rakyatku, kedua
orang itu harus kita pertakuti sejadi-jadinya!”
“Mustahil!” kata
hantu berbulu “Orang itu tak punya jantung, saya kira, jadi ia tak takut. Kita
bisa mempertakuti orang sehat, tapi terhadap
orang gila kita tak bisa berbuat apa-apa. Orang
itu sedemikian bodohnya hingga ia tak tahu apa takut itu. Orang berani tak akan berani menyerang hantu.
Tidak, lebih baik kita pindah saja ke
Kutub Utara.”
“Tetapi kita tak
bisa meninggalkan. Loji Kelabu begitu saja!” Teriak raja jin.
“Kami akan
mengusir mereka!” Lengking satu peri, yaitu hantu perempuan.
Lalu seketika itu
juga persidangan itu sunyi senyap. Kemudian raja jin menerangkan, bahwa akan
bijaksana sekali kalau peri-peri dibiarkan
menjelaskan hal itu. Sejarah telah membuktikan, bahwa
peri-peri itu dapat habis-habisan memperdayakan manusia. Baik untuk kali ini peri-peri dibiarkan
bertindak, baru kemudian kalau tidak
berhasil jin-jin dan hantu-hantu lelaki akan menolongnya.
Hari telah malam.
Untuk membiarkan peri-peri bertindak sendiri,
hantu-hantu lelaki meninggalkan rumah itu dan pindah ke atas pohon beringin tua yang rimbun, di belakang
rumah. Peri-peri bersama memasuki rumah itu dengan
menembang.
Suaranya melengking-lengking
bergetaran sangat ajaib.
Mula-mula Sersan
dan pelayan merasa aneh dan asing mendengar tempat mereka. Lebih-lebih setelah
lagu itu merayap-rayap memenuhi segenap ruang di rumah itu. Lama-lama Sersan jadi terharu (tidak takut) dan ia mengira, itulah lagu
percintaan
penduduk Polinesia. Ia sangat
mengagumi. Begitu pula pelayan. Tiba-tiba
Sersan bangkit dan merasai darah buaya wanitanya bangkit bergolak mendengar tembang itu.
“Malam ini nikmat
untuk bercinta,” katanya “Aku akan keluar
makan angin.”
Di halaman depan
Loji Kelabu, Sersan berjalan-jalan makan angin.
Karena gelap ia membawa lampu batere. Dari mulutnya terpancar lagu putri Solo. Darah buayanya bergolak dan
tiba-tiba ia sangat rindu pada wanita.
Adapun peri-peri
itu ada yang muda benar, ada yang tua benar.
Yang muda cantik-cantik benar, melebihi manusia. Yang tua jelek-jelek benar, melebihi manusia. Peri-peri
yang muda,
meskipun cantik luar biasa, dapat
berubah dalam bentuk yang mengerikan.
Semua peri berkeliaran di kamar-kamar mengatur rencana yang jahat.
Sersan ngelamun di
halaman yang gelap itu. Mendadak didengarnya suara perempuan terkikik-kikik. Ia
berpaling, lalu dilihatnya seorang
perempuan yang sangat cantik keluar dari beranda
muka rumah. Ia merasa heran mengapa tahu-tahu perempuan itu sudah berada di
beranda situ. Kehadiran perempuan itu sama sekali tidak disangkanya. Perempuan
itu menyapa:
“Apa kabar?”
Suaranya keras. Sebelum menjawab Sersan bersiut
dulu. Fuiiit-fuiiit!!
“Demi neraka, baik
sekali!” Katanya dengan sikap seorang buaya
“Siapa namamu?”
“Essy!”
Kemudian keduanya
beraksi. Sedikit demi sedikit omongan mereka
semakin hangat. Mereka omong tentang minyak wangi, sabun, kutang, kancing baju, sisir, kimono, dll.
Sersan senang sekali, sampai
pada saat ia menanyakan satu pertanyaan.
“He, kau datang dari
dalam rumah, padahal aku tak pernah melihatmu
di sini.”
“Di mana kau diam?”
“Di sumur”
“Di sumur! Bah!”
Tiba-tiba Sersan ingat, bahwa mungkin sekali gadis itu seorang khianat yang
mencoba merebut rumah itu.
“Sungguh, karena
aku....”
“Tutup mulut, betina!
Dengar, rumah ini rumahku, jadi semua orang
yang mendiami ini harus minta izin padaku, biar di sumur, apa di dapur, apa di kakus, apa....”
Belum sampai
habis, bibir perempuan itu tiba-tiba melekat di mulutnya, kemudian larutlah maki-makian di dadanya.
Dalam hati perempuan (yang sebenarnya peri) itu
menggerutu, bahwa Sersan memang tidak
berjantung dan perlu diberi jantung dengan sebuah ciuman. Sesudah itu keduanya
bersikap seolah-olah sudah lama bercintaan.
Kedua orang itu
lalu berjalan-jalan di sekitar rumah. Mereka melalui sisi rumah, pergi ke halaman belakang.
Rumput-rumput yang sudah tinggi
menyapui kaki-kaki mereka. Peri itu sedikit jengkel karena Sersan terlalu kerap menciuminya.
Akhirnya sampailah
mereka ke sumur tua. Tiba-tiba muka peri
itu jadi berubah putih seperti kapur, mulutnya meringai jelek. Sersan terkejut, tapi segera ia tertawa.
“Hahaha, rupanya
kau termasuk salah satu di antara tukang-tukang sulap yang mau memperdayakan
saja! Tapi tak apa! Karena aku tahu kau cantik dan aku suka itu!”
Peri itu insyaf
bahwa sebagian rencananya telah gagal.
“Dengarkan,
gadis!” Kata Sersan lagi “Kita tak usah berlingkar-lingkar lagi. Nah, dengarkan....” Lalu ia membisikkan maksudnya yang
kotor kepada peri itu. Mendengar itu muka peri jadi merah padam. Matanya merah. Rambutnya merah,
mulutnya juga merah meringis, hingga tampak giginya yang juga merah seperti besi terbakar.
“Aku bukan
sundal,” jerit peri itu. Tetapi Sersan tertawa keras-keras. Lalu bertindak hendak memperkosa peri
itu. Peri
itu melengking-lengking. Kemudian
tiba-tiba tubuhnya berubah
jadi rangka
dipelukan Sersan. Darah Sersan tersirap sebentar, tapi kemudian ia tertawa sambil menyorot muka rangka
itu dengan lampu baterenya dan berkata:
“Ayo jangan
main-main! Aku tahu kau cantik!”
Setan, jin, dan
segala macam hantu tak ada yang tahan api atau
sinar lampu batere, demikian juga dengan peri itu. Pelan-pelan melelehlah
tengkorak yang disorot Sersan itu, akhirnya berubah kembali jadi peri yang cantik. Darah Sersan
menggelegak oleh nafsu. Ia mencoba hendak memperkosa peri itu. Ini adalah untuk pertama kalinya terjadi dalam sejarah
hantu.
Adapun peri-peri
yang lain; waktu itu sedang di dalam loji mengganggu
pelayan. Pelayan adalah satu-satunya lelaki yang paling membenci perempuan. Ia sangat jijik pada
perempuan
dan seandainya diizinkan, ia akan
menyiksa perempuan sekejam-kejamnya. Sebab itu waktu peri-peri yang cantik
mengganggu-nya, ia jijik sekali. Ia berpikir bahwa tukang sulap yang khianat dan iri hati itu, sekarang telah menjalankan akal yang
laknat
sekali: hal ini
melewati batas!
Demikianlah ketika
seorang peri menggoda dengan mencium pipinya, ia jadi mata gelap. Lekas-lekas
ia ambil obor dan ia bakar rambut peri itu.
Segala peri-peri tua pun datanglah menyerbu. Susu-susu mereka yang kering
terkulai itu sangat menjijikkan pelayan. Segera ia membakari mereka, hingga
terjadilah
semacam neraka di rumah itu dan
pekik mereka sangat menyayat-nyayat. Lalu peri-peri itu, dengan tubuh yang
meleleh, lari keluar beramai-ramai.
Pelayan mengejar mereka dengan obornya.
Peri-peri itu lari
kehalaman belakang, menuju pohon beringin tua.
Pelayan terus mengejar mereka. Tapi tiba-tiba ia terhenti. Dilihatnya di sumur tua Sersan sedang bergulat dengan
seorang peri. Ia berteriak: “Tuan Sersan, apa yang
sedang tuan kerjakan?”
Mendengar ini
Sersan terkejut, lalu melepaskan pelukannya. Peri memakai kesempatan untuk berlari, menuju beringin
tua. Sersan marah sekali.
“Koki!” Teriaknya,
“Jangan kau ulang perbuatan itu lagi!”
Segera Sersan
bergerak ke pohon beringin itu. Pelayan ikut dia diam-diam. Karena kemarahannya, kelakuan Sersan
tak ubahnya orang gila.
Raja Jin
memperintahkan segenap rakyatnya supaya menakuti mereka dengan menampakkan
wujud mereka. Mereka harus menyerbu
kedua manusia bangsat itu, sampai mati ketakutan. Lalu
hantu-hantu itu menampakkan dirinya yang menakutkan itu. Suara mereka bergalau seperti sekawan anjing
hutan.
Sersan mendengar
suara galau itu hatinya makin panas. Ia menyerbu
dengan obor di tangannya. Sekonyong-konyong bertiuplah angin besar yang
mematikan obor itu. Lalu dalam sekejap mata
Sersan ialah dikeroyok oleh hantu-hantu yang mengerikan.
Sersan melawan
sekuat tenaganya dengan bergada lampu batere yang menyala di tangan. Sinar batere itu seperti kilat
karena terayun-ayun. Itu sangat menggetarkan hati
hantu-hantu. Pelayan segera menghampiri tuannya.
Hantu-hantu itu
sangat sakti. Yang ditakuti cuma apa dari orang
gila. Mereka tak berhasil membunuh Sersan, sebab Sersan melawan untuk dibunuh. Manusia akan gampang mati oleh
takdir, tapi tak akan mudah mati oleh pembunuh macam makhluk apa pun
juga, asal ia berani melawannya.
Demikianlah Sersan
dan pelayan melawan hantu-hantu itu dengan
kenekatan orang gila. Mereka telah berhasil mendapatkan obor-obor mereka
kembali. Dan dengan obor itu mereka mengajar
hantu-hantu itu, yang menurut pendapatnya mereka tak lebih dari pada tukang-tukang sulap yang jahanam.
Akhirnya dalam
perkelahian itu hantu-hantu menderita kekalahan
yang besar. Tubuh mereka meleleh karena api. Mereka lenyap buyar menghilangkan
diri ke Kutub Utara. Perkelahian pun
selesailah.
Dan sampai
sekarang Loji Kelabu itu tetap berada di tangan Sersan yang tolol, keturunan orang yang gila itu....
Happy ending!
Minggu Pagi, No. 52, Th. VIII, 25 Maret 1956
Biodata W.S. Rendra
Nama aslinya
Raden Mas Willibrordus Surendra Broto. Ia lahir
di Solo, tanggal 7 November 1935 dan merupakan anak tertua dari delapan bersaudara. Ibunya bernama Raden Ayu Chatarina Ismadillah. Ayahnya bernama Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo.
Rendra mengawali
pendidikannya di Taman Kanak-kanak Susteran. Kemudian melanjutkan di SD Kanisius Solo (lulus tahun
1942). Setelah
itu meneruskan ke SMP Kanisius, Missi Katolik (lulus tahun 1948). Tamat dari SMA St. Yosef Solo pada tahun 1952. Sempat kuliah di Fakultas
Sastra Barat, Universitas
Gajah Mada (UGM), tetapi karena waktunya tersita oleh kegiatan kesastraan sehingga tidak selesai. Meski demikian, tahun 1972, Rendra menjadi dosen ilmu dramaturgi di Fakultas Sastra Budaya, UGM.
Semenjak masa sekolah, ia mulai menulis cerpen. Dan cerpen yang pertama kali ditulisnya berjudul Drama
Pasar Pon (ditulis ketika ia masih
duduk di bangku sekolah menengah pertama, kelas dua). Selain itu, menulis puisi berjudul Tari Srimpi dan Drama Pasar Pon. Dua puisi itu dimuat dalam
majalah Pembimbing Putra Nomor 1. Th I, 8 Maret 1950.
Penerbitan kedua karya itu mendorong
Rendra selalu berkarya.
Sepulang dari Amerika, dirinya mendirikan
Bengkel Teater sebagai tempat bekerja dan mengembangkan kreativitas.
Adapun
penghargaan yang pernah ia peroleh di antaranya: (1) pemenang Sayembara
Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta tahun 1954, (2) Penghargaan
Sastra Nasional BMKN tahun 1956, (3) Anugerah
Seni dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 1970,
(4) Penghargaan dari Akademi Jakarta tahun 1975,
(5) Hadiah Yayasan Buku Utama dari Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan tahun
1976), (6) Penghargaan Adam Malik tahun 1989, (7) The S.E.A. Write Award TAHUN 1996,
dan (8) Penghargaan Achmad Bakri tahun 2006. Di
dunia sastra, W.S. Redra mendapatkan julukan si Burung Merak karena saat ia membacakan
puisi-puisinya begitu memukau seperti burung merak yang mengagumkan. Dirinya
juga mendapatkan julukan lain, yakni si Panembahan Reso karena keberhasilannya dalam pementasan drama yang berjudul Panembahan Reso.