Urusan
kerja sering sekali dikaitkan dengan perkara perut. Bahkan, ada ungkapan bekerja
keras demi sesuap nasi. Itulah sebabnya, tak jarang pula ketika masih dalam
masa prakerja, banyak orang sudah berpikir tentang gaji yang memuaskan.
Dari
pemikiran yang berpusat pada materi itulah, sebagian orang rela meninggalkan
tanah kelahirannya menuju kota atau negara lain. Ada yang menjadi asisten rumah
tangga hingga pejabat penting dan terhormat. Tapi, apakah semua melulu materi?
Mungkin
ada alasan selain itu. Terlebih dalam hal prakerja. Ketika di desa tidak ada
perguruan tinggi, sangat wajar orang bermukin di kota atau luar negeri untuk
menuntut ilmu. Dan fokus sebagian dari mereka adalah belajar, bukan sekadar
gaji saat bekerja kelak. Kemudian setelah lulus kuliah, mereka membangun
desanya, tanah airnya.
Lantas,
mana yang lebih ideal, bekerja di dalam negeri atau mengabdi untuk negeri orang
lain?
Nah,
sebelum menjawab pertanyaan itu, di sini ada ulasan singkat tentang sebuah
novel berkaitan dengan perkara kerja ini. Judulnya Tengah Hari di
Spijkenisse. Di manakah Spijkenisse? Bisa dikatakan
Spijkenisse adalah
sebuah kotamadya yang berada di Provinsi Zuid Holland atau Holland
Selatan. Provinsi itu bisa juga disebut Holandia Selatan yang terletak di sebelah barat Belanda. Dengan kata lain berada di luar negeri bagi orang Indonesia.
Secara
singkat novel ini berisi sebuah kisah seorang pemuda Indonesia bernama Aryo
yang bekerja sebagai asisten seorang terapis senior, Mark, di kotamadya itu. Sebagai
terapis senior, Mark memberikan banyak ilmunya kepada Aryo dalam bidang
fisioterapi. Hari-harinya diisi dengan pekerjaan menerapi pasien demi pasien di
sana. Meski disibukkan dengan pekerjaan, rasa rindu kepada keluarga di Indonesia
tentu menggelayuti hatinya. Terkadang dia juga sedih saat menerapi pasien-pasien
itu karena teringat bapaknya yang juga sedang sakit tanpa dirinya di sana (baca:
di dekat ayahnya). Ini sebuah sayatan batin yang tak bisa diobati hanya sekadar
berbicara lewat saluran telepon atau telekomunikasi lainnya.
Untunglah
di Spijkenisse ia juga memiliki kenalan bernama
Frederica. Siapa dia? Adalah seorang perempuan yang membuat Aryo gugup dan salah
tingkah. Wajar saja demikian karena pemuda Indonesia itu belum pernah berhubungan
dekat dengan perempuan, apalagi berpacaran. Novel yang ditulis Redhite Kurniawan ini mengalir lancar dengan bahasa
yang mudah dimengerti. Pria kelahiran Lumajang, 18 Desember 1977 tersebut menyajikannya dengan apik. Mungkin
pengalaman menulisnya lah dan juga suntingan Nadya Andwiani sehingga novel berjumlah
halaman 300-an itu menarik untuk dibaca dan diapresiasi.
Khusus
mengenai pertanyaan yang menjadi judul di atas, agaknya kita kembalikan ke
individu masing-masing saja. Terpenting, tetap Indonesia dan terus memajukan
negeri ini dengan cara terhormat dan bermartabat.
0 comments:
Post a Comment