Selama ini terkesan bahwa suara
sastrawan seakan lenyap apabila dihadapkan dengan perkara politik di Indonesia.
Hampir tak ada dari mereka yang bersuara lantang di televisi atau sekadar melalui
gelombang radio dalam memberikan pandangan-pandangan tentang dunia pemerintahan
kini dan yang akan datang. Tapi sebenarnya, banyak juga kalangan sastrawan yang
bersuara keras mengkritik pemerintahan lewat karya-karya berkualitas mereka.
Di bawah ini ada contoh puisi-puisi
bertema politik.
Aku Tulis
Pamflet Ini Karya W.S. Rendra
AKU TULIS PAMFLET INI
Aku tulis pamflet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an
Apa yang terpegang hari
ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
Aku tulis pamflet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi
tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah
mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata
yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamflet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !
Pejambon Jakarta 27 April 1978
Bunga dan
Tembok Karya Wiji Thukul
BUNGA DAN TEMBOK
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!
Di manapun – tirani harus tumbang!
Para Pemimpin
dari Negeri Bukan Dongeng karya Dorothea Rosa Herliany
PARA PEMIMPIN DARI NEGERI
BUKAN DONGENG
Bayi itu telah tumbuh
menjadi dewasa.
dan kini menjadi raksasa
hari ke hari ia tumbuh besar, lalu
menggelembung dalam dusta yang indah.
dan kini menjadi raksasa
hari ke hari ia tumbuh besar, lalu
menggelembung dalam dusta yang indah.
Ia tumbuh dan kuat.
Lalu seperti elang raksasa,
Menancapkan cakar tajamnya.
Lalu seperti elang raksasa,
Menancapkan cakar tajamnya.
Maka lihatlah!
Betapa kokoh kepalsuan.
Betapa kokoh kepalsuan.
Jakarta, 1998
Tahanan Ranjang Karya Joko Pinurbo
TAHANAN RANJANG
Akhirnya ia lari meninggalkan
ranjang.
Lari sebelum tangan-tangan malam merampas tubuhnya
Lari sebelum tangan-tangan malam merampas tubuhnya
dan menjebloskannya ke nganga
waktu yang lebih dalam.
“Selamat tinggal, negara.
Aku tak ingin lebih lama lagi
terpenjara.
Mungkin di luar ranjang waktu
bisa lebih luas dan lapang.”
Ranjang memang sering rusuh dan
rawan kekuasaan
Penuh horor dan teror. Di sana
ada psikopat gentayangan
sambil mengacung-acungkan
pistol dan berteriak:
“Tiarap. Kau akan kutembak.”
Kemudian ada yang balik mengancam sambil membentak:
Kemudian ada yang balik mengancam sambil membentak:
“Angkat tangan. Pistolmu tak
bisa lagi meledak.”
Ada yang lari meninggalkan
ranjang.
Ada yang ingin berumah kembali di ranjang.
Pada kelambu merah ia baca tulisan:
“Ini penjara masih menerima tahanan.
Dijamin puas dan jinak. Selamat malam.”
Ada yang ingin berumah kembali di ranjang.
Pada kelambu merah ia baca tulisan:
“Ini penjara masih menerima tahanan.
Dijamin puas dan jinak. Selamat malam.”
1999
0 comments:
Post a Comment