HANTU-HANTU yang
malang itu sekarang mendapat Sersan
Harjo sebagai lawannya yang terkuat.
“Tidak ada hantu!”
Kata Sersan Harjo, setiap kali bila orang bercerita
kepadanya tentang hantu. Dan selamanya perkataannya selalu diiringi dengan tertawa besar.
Untuk membuktikan,
bahwa ia tak percaya betul-betul akan adanya
hantu-hantu itu, ia telah bertaruh dengan Walikota, dengan disaksikan oleh tuan
Notaris, bahwa ia akan sanggup mendiami Loji Kelabu yang terkenal angker di
luar kota.
Loji itu tak ada
pemiliknya. Dan segenap warga kota telah bersepakat,
bahwa kalau Sersan Harjo sanggup mendiami Loji Kelabu itu, ia boleh memilikinya ditambah uang hadiah
duapuluh lima ribu
rupiah.
Ia telah
menandatangani persetujuan itu sambil berkata:
“Tuan-tuan sangat
bermurah hati menghadiahkan harta itu kepadaku.”
“Tetapi lebih dulu
Tuan harus membuktikan keberanian Tuan.”
Kata Walikota.
“Oke, mudah sekali.”
Seluruh kota telah
mendengar hal itu. Sama sekali tak ada yang
menyesali perbuatan Sersan Harjo yang gila itu. Tak ada seorang pun yang akan menyesali seandainya mereka menjumpai Sersan
Harjo mati dicekik hantu. Sebab dengan begitu akan musnalah dari muka bumi ini seorang buaya yang paling
berbahaya bagi gadis-gadis di kota itu.
Keesokan harinya
Sersan Harjo pindah ke Loji Kelabu dengan seorang
bujangnya, yang juga tak pernah percaya akan adanya hantu-hantu. Mereka hanya membawa kopor dan beberapa
alatalat dapur saja. Sersan Harjo tak mempunyai lebih dari itu. Ia miskin dan tiada berpekerjaan. Meskipun namanya Sersan
Harjo, tetapi tak pernah jadi sersan sama sekali.
Nama itu didapatnya sejak mula pertama ia
lahir ke dunia ini.
Sersan Harjo
adalah orang yang tolol dan kebadutan-kebadutan. Ia tolol tetapi keras kepala.
Neneknya dulu pernah sakit ingatan, tetapi
penyakit itu sama sekali tak menurun kepada Sersan. Ia cuma
tolol dan keras kepala. Dan memang suka lekas mata gelap. Karena itu ia tampak sedikit gila. Cacat
satu-satunya ialah, ia seorang buaya
perempuan. Mengenai perempuan ia amat mudah
mata gelap dan berlaku gila-gilaan.
Loji Kelabu, yaitu
sebuah loji yang sangat angker, menurut kata
orang. Hantu-hantu banyak bersarang di situ. Kalau malam terdengar suara hantu-hantu itu bersendagurau dan
berpestapesta. Kadang-kadang terdengar mereka bermain musik. Tetapi yang kedengaran hanya suara-suara saja, ujudnya tak
nampak. Sebelum dijadikan loji, dulunya sebuah kuburan
orang-orang
Belanda, Arab, Tionghoa dan
bermacam-macam bangsa asing. Bangsa
Indonesia sendiri cuma satu yang berkubur di situ. Dan bangsa Indian Amerika juga satu. Seorang saudara
bangsa Jerman telah membeli kuburan itu dan
meratakannya, lalu di atasnya didirikanlah Loji
Kelabu tadi. Setelah orang Jerman itu mati,
rumah besar itu jadi didiami hantu-hantu. Itu sudah ada kurang lebih 90 tahun yang lalu.
Seluruh penduduk
kota mempercayai cerita itu. Nenek moyang mereka, dan mereka sendiri telah
mempersaksikan adanya hantu-hantu itu. Tetapi
Sersan Harjo dan pelayannya tak mempercayai omong kosong itu.
Adapun hantu-hantu
itu benar-benar ada dan istana dari segala
hantu-hantu itu ialah sebuah sumur tua yang terletak di pekarangan belakang loji itu. Hantu-hantu itu
mengetahui kedatangan Sersan Harjo. Dan rata-rata setiap hantu berdendam hati
terhadapnya.
Meskipun siang
hari, Loji Kelabu itu memang nampak angker. Pekarangannya bersemak belukar dan
rumput-rumputnya sudah tinggi. Keadaan
rumah itu seram dan kekelabuannya mengandung misteri. Adapun dindingnya dan
gentingnya dirambati oleh tanaman menjalar. Sebagian dari Loji itu telah roboh oleh gempa bumi.
Ketika Sersan
Harjo memasuki rumah itu, gangguan pertama ialah sebuah pintu tua dari sebuah kamar luas yang
berciut-ciut terbuka sendiri, lalu
dari kamar itu terdengar suara besar:
“Selamat datang,
Sersan!” Mendengar ini Sersan tertawa besar,
katanya:
“Dengarlah, baru
saja kita masuk sudah ada orang yang mengganggu
kita. Jangan takut, itu cuma akal orang khianat belaka. Mari, kamar itu kita pakai.”
Keduanya lalu
masuk ke dalam kamar tadi. Mereka tidak tahu,
bahwa kamar itu didiami oleh suatu hantu berbulu yang bertubuh besar dan bermuka seperti gorilla. Hantu itu
duduk di kursi besar
dengan sedikit gusar melihat kedatangan kedua orang itu. Tetapi siang hari hantu-hantu tak mempunyai
kekuatan, sebab itu ia cuma dapat menggerutu saja.
Setiba di kamar,
Sersan Harjo melemparkan kopornya ke muka
kursi besar. Dengan tidak disadarinya ia telah mengenai kaki hantu berbulu itu. Kemudian ia menyepak kursi
besar, yang
dianggapnya sudah jelek itu, yang
sebenarnya diduduki oleh hantu
berbulu tadi. Ia menyepaknya kuat-kuat, sehingga hantu dan kursi itu tunggang langgang. Hantu itu marah
sekali. Ia
bermaksud membalas dendam nanti
malam. Kemudian pergilah ia dari
kamar, dengan berjalan pincang.
Ia tak kelihatan,
sebab ia hantu tapi kalau perlu ia menampakkan diri juga.
Akhirnya datanglah
malam yang mengerikan itu. Hantu-hantu mulai mendapat kekuatan kembali dan
mulai ngelambrang kian-kemari. Ketika
mereka keluar mereka sangat gusar melihat kehadiran
dua orang manusia di rumah itu. Di dalam setiap dada hantu-hantu itu terkandunglah maksud-maksud yang
jahat. Kedua manusia bernapas dengan tenang saja.
Sersan Harjo membuat tiga buah obor.
Satu ia pasang di tengah-tengah ruang tengah.
Satu lagi dijadikan alat penerangan memasak oleh pelayan di dapur (tentu saja
tak ada aliran listrik di Loji yang tua benar
itu). Dan satu lagi dibawa Sersan sendiri, untuk penerangan di sana-sini.
Sersan Harjo asyik
membaca buku di beranda muka. Sedang pelayan
asyik memasak di dapur. Hari malam dan rumah itu sungguh-sungguh kelihatan menakutkan bagi orang biasa.
Temboknya kelabu, pintunya sudah tua dan retak-retak, sebentar-sebentar
berciut-ciut terbuka dengan sendirinya, dibukakan oleh hantu berkaki panjang yang dengan tidak setahu Sersan
telah mengelilingi dirinya. Disegenap pojok terdapat
sarang laba-laba, tempat tidur hantu-hantu
arwah orang Tionghoa, di waktu siang hari.
Hantu-hantu bulat, berkepala gundul hanya berkucir dan bermata sipit. Hantu-hantu itu mulai mencoba
mengganggu
Sersan.
Ruang itu telah
dipenuhi dua jenis hantu. Hantu-hantu bundar, gundul dan berkucir, serta
hantu-hantu tinggi, berkaki panjang,
berkepala kecil dan semuanya memakai kalung ular. Hantu panjang itu
berseru dengan suara kecil:
“Hallo, Sersan,
buku apa yang sedang Tuan baca?”
Sersan menengok
kiri kanan tetapi tak ada sesuatupun yang nampak.
Ia yakin bahwa seorang manusia khianat, yang iri hati atas keberaniannya, sedang mencobanya.
“Hallo,” jawab
Sersan dengan suara mengejek. “Saya sedang membaca riwayat hidup detektif X.” Lalu diteruskannya
membaca buku yang menarik itu.
“Sukakah Tuan akan
cerita-cerita seram?” Suara hantu itu dengan
gaib.
“Tutup mulut.”
Bentak Sersan, karena ia merasa diganggu oleh
suara yang tidak kelihatan asalnya itu. Hantu-hantu itu tercengang mendengar bentakan itu. Rupanya manusia itu
tidak takut akan suara-suara yang ajaib. Mereka lalu
mencari akal lainnya.
Satu hantu bundar
yang berkucir mendekati Sersan dari belakang,
kemudian menghembusi tengkuknya. Sersan merasai geli di tengkuknya, lalu ia berpaling. Tetapi tak ada
sesuatu pun yang nampak. Ia
menggeliat-geliat karena tengkuknya terasa sangat geli. Hantu-hantu pada tertawa terkikik-kikik,
melihat kelakuan Sersan itu. Sersan mendengar tertawa
memenuhi ruang itu, malahan ada yang
terdengar dekat sekali dibelakangnya, tetapi
tak sesuatu pun yang dilihatnya.
Orang-orang di
pinggir kota semua ngeri mendengar bunyi tertawa
hantu-hantu itu, mereka mengira bahwa kedua orang itu telah mati ketakutan. Tetapi tidak, Sersan Harjo
tidak takut sama sekali. Dalam
hati ia berkata: Tak ada hantu. Yang ada cuma
orang-orang khianat.Lalu ia meneruskan membaca riwayat hidup detektif X. Tengkuknya yang geli tak
dipedulikannya lagi.
Berulang-ulang
hantu gundul itu menghembusi lagi tengkuk Sersan,
tetapi Sersan sudah tidak peduli, ia tak merasa geli lagi. Lalu satu hantu yang tinggi memperlihatkan tangannya
yang panjang, dengan jari-jari dan kuku-kuku yang
runcing dan sangat menjijikkan. Tangan itu
diletakkan dibahu Sersan. Kemudian tangan
yang mengerikan itu menggelitiki leher Sersan.
“Orang khianat itu
telah meliwati batasnya.” Pikir Sersan. Lalu
digigitnya kedua tangan yang mengerikan itu. Lekas-lekas hantu panjang itu menarik tangannya dan tangan itu
lenyap lagi
diiringi oleh sebuah raungan
melengking-lengking yang lalu disusul
oleh lengkingan-lengkingan lainnya. Riuh rendah dan mendirikan bulu roma orang biasa.
Hantu-hantu itu
sangat heran akan peristiwa itu. Biasanya orang
mati ketakutan setelah melihat tangan semacam itu. Satu hantu gundul yang bergigi ompong dan bermata ungu
melengking:
“Sersan Harjo,
betul-betul kau bangsat yang paling laknat.”
“Tutup mulutmu!
Kalau habis sabarku tentu kamu sekalian kubunuh.
Kau dengar?”
Mendengar ini
hantu itu marah, lalu menggigiti telinga Sersan dengan giginya yang ompong itu.
Kebetulan Sersan baru merasai gatal di
telinganya. Ia merasa enak digigiti begitu.
“Terima kasih,”
katanya pada apa yang dianggapnya tukang sulap
itu. Lalu dikeluarkannya sebuah rokok siong, yaitu rokok yang diberi bumbu kemenyan, Rokok itu diisapnya dan
asapnya dihembuskannya dengan nikmat. Oleh bau
kemenyan itu hantu-hantu jadi mabuk.
Begini, Tuan, bagi
hantu-hantu kemenyan itu adalah candu yang
sangat nikmat. Meskipun amat memabukkan, tetapi mereka menyukainya. Sebab itu kalau Tuan diganggu oleh hantu
jahat, berilah ia beberapa kemenyan, tentu ia akan
segera pergi dan bersiul-siul.
Hantu-hantu di
Loji Kelabu itu memang amat nakal-nakal. Pelayan
yang asyik memasak di dapur tidak luput dari gangguannya. Dapur itu sudah tua, banyak
sarang laba-laba dan temboknya sudah pada rengkah, rupanya kehitam-hitaman.
Waktu siang hari adalah hantu-hantu tua yang pendek
yang tidur ditungku-tungku dan dipojok-pojok dapur yang penuh abu. Hantu-hantu tua itu tingginya tak lebih dari setengah meter.
Janggutnya
panjang, rambutnya panjang,
warnanya kelabu. Kulit di segala
bagian tubuhnya
sudah kerut-merut.
Ketika pelayan
menjadikan api untuk memasak, berbangunanlah hantu-hantu itu dengan terkejut
sekali. Beberapa di antaranya terbakar
rambutnya. Suaranya terdengar berciap-ciap seperti anak
burung. Mendengar gaduh ini pelayan terkejut. Tak suatu pun
dilihatnya. Lalu ia menggerutu: “Orang-orang khianat itu gila belaka.”
Dengan segera ia
meletakkan kuwali wajan dan penyerok. Mulai
memasak, menggoreng ikan. Setelah masak lalu diangkatnya. Tiba-tiba goreng ikan
itu lalu berubah jadi goreng ular. Pelayan itu
berpikir: Orang-orang khianat itu memang pandai bermain sulap. Tetapi biarlah goreng ular pun enak
dimakan malah mengandung banyak vitamin. Lalu goreng
ular itu dimasukkan kedalam panci. Kemudian ia menanak nasi.
Lama ia menunggui
nasi itu. Tiba-tiba dirasainya badannya dipanjati
oleh sesuatu yang tak kelihatan. Terasa kupingnya, hidungnya dan telinganya dipermainkan. Sebenarnya
hantu-hantu tua itulah yang memanjati tubuh pelayan dan mempermainkan hidung, telinga, dan tangannya. Satu di antaranya
menarik-narik rambutnya. Pelayan tidak
menjadi takut, tetapi marah. Ia meninjui dirinya dan kepalanya. Hantu-hantu itu
kembali memperdengarkan tertawanya yang menyiap-nyiap dan membisingkan telinga. Pelayan makin marah dan makin meninjui
dirinya. Ia
amat sehat dan kuat. Ia tidak
juga merasa lelah. Akhirnya nasi masak. Ia merasa
makanan sudah cukup. Lauk-pauk kaleng banyak ia bawa. Sebab itu ia lekas-lekas
meninggalkan dapur yang sangat tidak menyenangkan
itu.
Ia melalui koridor
yang gelap dan suram, menuju ke beranda depan,
dimana Sersan asyik membaca buku detektif. Sersan mengatakan, bahwa mereka akan
makan di beranda itu saja. Lalu pelayan
menyenduk nasi dan membuka kaleng lauk pauk. Akhirnya ia mengeluarkan goreng ular itu sambil
berkata:
“Tuan Sersan,
menyesal sekali, malam ini kita akan makan daging ular. Hal ini akibat dari kerja orang-orang
khianat yang biadab itu.”
Lalu
diceritakannya bagaimana orang-orang khianat itu bermain sulapan, dsb. Mendengar ini Sersan berkata:
“Koki rupanya
banyak orang khianat yang iri hati akan keberanian kita. Betul katamu, mereka
sangat pandai bermain sulap. Mereka mencoba menakut-nakuti kita. Tetapi mulai
sekarang kita berjanji akan tidak mempedulikan mereka.
Kita tidak akan berbuat gila dengan
melepaskan rumah loji yang indah ini dan sejumlah
uang duapuluh limaribu rupiah itu. Yang terpenting ingatlah: tak ada hantu di dunia ini!”
“Ya, Tuan Sersan.”
Lalu keduanya
berdoa dulu sebelum makan. Mereka orang yang
mencoba menjadi saleh dan selamanya berdoa mengucap terima kasih sebelum mulai makan makanan pemberian
Tuhan.
Maka terdengarlah
raungan-raungan yang mengerikan di seluruh
ruang itu. Hantu-hantu di rumah itu merasai dirinya panas, kalau ada orang berdoa di dekat mereka.
“Tutup mulut,
biadab!” Teriak Sersan Harjo. Lalu ia pun mulai
makan hidangan yang lezat itu, sambil menceritakan cerita detektif. Sementara itu hantu-hantu di beranda muka,
hantu-hantu tinggi dan hantu-hantu gundul itu, masih mabuk berkparan.
Setelah selesai
makan mereka bercakap-cakap sebentar. Dalam pada itu di kamar tidur terdengar
suara tempat tidur berderit-derit, seolah-olah ditimpa oleh sesuatu yang berat.
Sesudah sebentar mereka bercakap-cakap, lalu mereka
berniat akan tidur. Sebetulnya mereka belum
mengantuk benar, tetapi tak ada lagi yang
akan mereka kerjakan. Biasanya waktu begitu
mereka biasa berjalan-jalan di tengah
keramaian kota. Tetapi sekarang mereka tak
dapat berjalan di tempat itu lagi, sebab mereka harus membuktikan bahwa mereka
sanggup mendiami rumah itu semalam suntuk.
Jadi mereka menuju ke kamar tidur membawa obor.
Didapati pintu
kamar terkunci. Mereka betul-betul ingat, mereka telah meninggalkan kamar itu tidak berkunci. Jadi hal
itu tentu
perbuatan orang khianat. Sersan
tidak mungkin bersabar lagi. Lalu ia
menggasak pintu itu, hingga terbuka. Dan bersamaan dengan terbukanya pintu itu, terdengarlah suara
gemuruh. Semacam suara raksasa, diiringi oleh deru-deru angin yang mematikan
obor-obor mereka. Kedua orang itu terkejut. Sersan segera menyalakan kembali obornya. Tetapi belum apa-apa,
terasa olehnya dua buah tangan yang besar dan berbulu merangkulnya. Dalam sekejap ia telah bergumul dengan makhluk semacam
gorilla. Sersan mengamuk sejadi-jadinya. Ia marah sekali. Dan apabila sudah
marah sekali, ia menjadi mata gelap. Otaknya seolah-olah sudah lepas dari kepalanya. Dalam hal beginilah
biasanya orang menyangka ia sakit ingatan.
Minggu Pagi, No. 51, Th. VIII, 18 Maret 1956
Nama aslinya
Raden Mas Willibrordus Surendra Broto. Ia lahir
di Solo, tanggal 7 November 1935 dan merupakan anak tertua dari delapan bersaudara. Ibunya bernama Raden Ayu Chatarina Ismadillah. Ayahnya bernama Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo.
Rendra mengawali
pendidikannya di Taman Kanak-kanak Susteran. Kemudian melanjutkan di SD Kanisius Solo (lulus tahun
1942). Setelah
itu meneruskan ke SMP Kanisius, Missi Katolik (lulus tahun 1948). Tamat dari SMA St. Yosef Solo pada tahun 1952. Sempat kuliah di Fakultas
Sastra Barat, Universitas
Gajah Mada (UGM), tetapi karena waktunya tersita oleh kegiatan kesastraan sehingga tidak selesai. Meski demikian, tahun 1972, Rendra menjadi dosen ilmu dramaturgi di Fakultas Sastra Budaya, UGM.
Semenjak masa sekolah, ia mulai menulis cerpen. Dan cerpen yang pertama kali ditulisnya berjudul Drama
Pasar Pon (ditulis ketika ia masih
duduk di bangku sekolah menengah
pertama, kelas dua). Selain itu, menulis puisi berjudul Tari Srimpi dan Drama Pasar Pon. Dua puisi itu dimuat dalam
majalah Pembimbing Putra Nomor 1. Th I, 8 Maret 1950.
Penerbitan kedua karya itu mendorong
Rendra selalu berkarya.
Sepulang dari Amerika, dirinya mendirikan
Bengkel Teater sebagai tempat bekerja dan mengembangkan kreativitas.
Adapun
penghargaan yang pernah ia peroleh di antaranya: (1) pemenang Sayembara
Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta tahun 1954, (2) Penghargaan
Sastra Nasional BMKN tahun 1956, (3) Anugerah
Seni dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 1970,
(4) Penghargaan dari Akademi Jakarta tahun 1975,
(5) Hadiah Yayasan Buku Utama dari Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan tahun
1976), (6) Penghargaan Adam Malik tahun 1989, (7) The S.E.A. Write Award TAHUN 1996,
dan (8) Penghargaan Achmad Bakri tahun 2006. Di
dunia sastra, W.S. Redra mendapatkan julukan si Burung Merak karena saat ia membacakan
puisi-puisinya begitu memukau seperti burung merak yang mengagumkan. Dirinya
juga mendapatkan julukan lain, yakni si Panembahan Reso karena keberhasilannya dalam pementasan drama yang berjudul Panembahan Reso.
0 comments:
Post a Comment